close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi emas batangan. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi emas batangan. /Foto Unsplash
Bisnis
Kamis, 16 Oktober 2025 15:00

Apakah harga emas akan terus meroket?

Harga emas di pasar global memecahkan rekor setelah menyentuh Rp66 juta per ons. Mungkinkah harganya bakal turun?
swipe

Harga emas dunia kembali memecahkan rekor. Untuk pertama kalinya, logam mulia itu menembus angka US$4.100 (sekitar Rp66 juta) per ons, setelah melesat lebih dari 50% hanya dalam setahun terakhir. Jika dihitung sejak awal reli pada 2024, kenaikannya nyaris menyentuh 100%.

Di Indonesia, harga emas produksi PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. atau yang dikenal dengan emas Antam juga pecah rekor selama tiga hari berturut-turut. Pada perdagangan, Rabu (15/10), harga 1 gram emas dibanderol Rp 2.383.000 per batang atau terbang Rp23.000 jika dibandingkan sehari sebelumnya. 

Ada sejumlah alasan yang dikemukakan para analis untuk menjelaskan rekor kenaikan harga emas saat ini, termasuk di antaranya ketidakpastian ekonomi akibat utang pemerintah yang membengkak serta penutupan pemerintahan Amerika Serikat (US government shutdown).

Selain itu, ada kekhawatiran yang meningkat soal independensi bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). Jika tekanan politik membuat The Fed menurunkan suku bunga, hal itu bisa memicu kembalinya inflasi. 

"Dalam kondisi seperti itu, emas secara tradisional dianggap sebagai lindung nilai (hedge) terhadap inflasi," jelas Luke Hartigan, pakar ekonomi dari University of Sydney, dalam sebuah analisis di The Converstation, Kamis (16/10). 

Namun, Hartigan berpendapat faktor-faktor itu bukan penyebab utama dari kenaikan harga emas yang begitu cepat. Pertama, harga emas sebenarnya sudah mengalami tren kenaikan berkelanjutan selama beberapa tahun terakhir, jauh sebelum isu-isu seperti utang pemerintah atau intervensi politik terhadap The Fed muncul.

"Penjelasan yang lebih mungkin untuk reli harga emas saat ini adalah meningkatnya permintaan terhadap produk investasi bernama gold exchange-traded funds (ETF)," jelas Hartigan. 

ETF adalah dana yang mengikuti pergerakan harga aset tertentu—bisa emas, saham, atau obligasi—dan diperdagangkan di bursa layaknya saham. Dengan kata lain, ETF membuat komoditas seperti emas jauh lebih mudah diakses oleh investor biasa.

Sebelum ETF emas pertama diluncurkan pada tahun 2003, investasi emas dianggap terlalu sulit bagi investor individu. Kini, ETF emas tersebar luas dan bisa diperdagangkan layaknya aset keuangan lainnya. 

"Ini mengubah cara pandang investor terhadap emas—bukan lagi semata sebagai aset “pelindung nilai” saat krisis politik atau keuangan, melainkan sebagai instrumen investasi aktif dan likuid," kata dia. 

Selain permintaan dari investor ritel, negara-negara berkembang seperti China dan Rusia juga ikut menambah permintaan emas dengan mengalihkan cadangan devisa resmi mereka dari mata uang seperti dolar AS ke emas.

Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), kepemilikan emas oleh bank sentral di negara-negara berkembang melonjak 161 persen sejak tahun 2006, dan kini mencapai sekitar 10.300 ton. "Sebagai perbandingan, selama 50 tahun antara 1955 hingga 2005, kepemilikan emas hanya naik sekitar 50 persen," imbuh Hartigan. 

Aksi pencurian toko emas terekam CCTV dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam di Jalan Raya Serang Km 24 Tangerang./Antara Foto

Mengapa China dan Rusia beralih ke emas? 

Penelitian menunjukkan bahwa alasan utama peralihan cadangan ke emas adalah meningkatnya penggunaan sanksi finansial oleh AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menggunakan mata uang utama dunia, semisal US$, Euro, Yen, dan Poundsterling.

Rusia, misalnya, mulai menjadi pembeli emas bersih pada tahun 2006 dan mempercepat pembeliannya setelah mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina pada 2014. Kini, Rusia memiliki salah satu cadangan emas terbesar di dunia.

Sementara itu, China telah menjual sebagian besar obligasi pemerintah AS dan menggantinya dengan pembelian emas—langkah yang dikenal sebagai proses de-dollarisation, atau pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS.

Bank sentral negara-negara berkembang juga meningkatkan cadangan emas mereka setelah Rusia dikeluarkan dari sistem pembayaran internasional SWIFT, serta muncul usulan dari pemerintah Barat untuk menyita cadangan devisa Rusia guna mendanai bantuan ke Ukraina.

"Upaya de-dolarisasi ini diperkirakan akan terus berlanjut. Banyak negara berkembang kini menilai bahwa mata uang Barat utama membawa risiko sanksi keuangan, sesuatu yang tidak berlaku pada emas," kata Hartigan 

Apakah harga emas masih akan terus naik?

Permintaan yang terus berlanjut dari Rusia, Cina, dan investor ETF kemungkinan akan mendorong harga emas lebih jauh lagi.

Menurut Hartigan, kedua faktor ini menciptakan peningkatan permintaan yang berkelanjutan, di luar kebutuhan industri seperti perhiasan dan elektronik.

Kenaikan harga juga bisa memicu efek “takut ketinggalan” (fear of missing out / FOMO) di kalangan investor, yang berpotensi menarik lebih banyak dana masuk ke ETF emas.

Sebagai gambaran, World Gold Council baru-baru ini melaporkan rekor arus dana masuk (inflow) pada September lalu. Selama kuartal September, total inflow ETF mencapai US$26 miliar. Untuk sembilan bulan pertama pada 2024, totalnya sudah mencapai US$64 miliar.

"Permintaan emas dari bank sentral negara berkembang cenderung tidak terpengaruh oleh harga pasar, melainkan oleh faktor geopolitik—yang justru membuat permintaan tetap kuat," jelas Hartigan. 

Berdasarkan dua faktor pendorong besar itu, para analis di Goldman Sachs telah menaikkan proyeksi harga emas menjadi US$4.900 per ons pada akhir 2026. Artinya, harga emas kemungkinan masih akan terus naik. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan