sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Apakah dana desa efektif kurangi angka kemiskinan?

Sepanjang empat tahun pemerintahan Jokowi-JK, dana desa telah digelontorkan sebanyak Rp187 triliun. Apa dampaknya pada angka kemiskinan?

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Sabtu, 27 Okt 2018 13:22 WIB
Apakah dana desa efektif kurangi angka kemiskinan?

Sepanjang empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dana desa telah digelontorkan sebanyak Rp187 triliun. Apakah hal itu berdampak langsung terhadap menurunnya angka kemiskinan?

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo menjelaskan, dana itu dipakai untuk membangun infrastruktur di desa, pengembangan sumber daya manusia, serta pengembangan desa lainnya.

Pada 2018 sendiri, Kemenkeu mengalokasikan dana desa sebesar Rp60 triliun, dengan 41% atau sebesar Rp14,31 triliun di antaranya dialokasikan untuk desa terdepan dan terluar.

"Agar desa bisa mengejar ketertinggalan di desa yang lebih maju," ujar Eko saat ditemui beberapa waktu lalu di Kementerian Sekretariat Negera.

Hasilnya, lanjut Eko, daerah terluar mampu membangun 9.000 km jalan dan 130 km jembatan. Di samping itu, ia mengklaim dana juga dipakai untuk pembangunan drainase dan posyandu.

Dana desa pun dari tahun ketahun, sejak 2015 selalu mengalami kenaikan. Berdasarkan data Kemendes PDTT, dana desa pada 2015 sebesar Rp20,67 triliun, dengan penyerapan 82,72%.

Pada 2016, dana desa menjadi R46,98 triliun dengan penyerapan 97,65%. Setahun berikutnya, penyerapan dana desa naik sebesar Rp60 triliun.

"Jadi tahun-tahun berikutnya, penyerapan dana desa naik jadi 97% dan 98%, Insya Allah, tahun ini bisa di atas 99%. Kenaikan penyerapan menunjukkan tata kelola lebih baik," harap Eko.

Sponsored

Berdasarkan data Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018, angka kemiskinan menurun menjadi 9,82% dari tahun sebelumnya yang sebesar 11,2%.

Masyarakat miskin berdasarkan BPS dan World Bank

Garis kemiskinan sendiri menurut Kepala BPS, Suharyanto jenisnya berebeda-beda. Ada yang namanya kemiskinan relatif, yang diambil dari rata-rata pendapatan per kapita,lalu dipatok di bawah rerata umum pendapatan per kapita.

"Namun, kalau itu dipilih, berarti persentase kemiskinan selalu ada. Jadi itu relatif, bahwa negara ini maju (karena) pendapatan per kapitanya naik, penduduk miskinnya akan mengikuti ke sana," ujar pria yang kerap disapa Kecuk pada Detik.

Warga beraktivitas di sebuah pemukiman di Bandung, Jawa Barat, Senin (17/9)./Antarafoto

Ada juga, lanjut Kecuk, multi dimentional proverty index, yakni pengukuran kemiskinan dari tiga sisi, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak.

"Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan," jelas Kecuk.

Sementara World Bank menggunakan metode purchasing power parity (PPP) atau dihitung berdasarkan varitas daya beli.

World Bank membagi penduduk jadi tiga lapisan, yakni 40% lapisan bawah, 40% lapisan menengah, dan 20% lapisan atas. Untuk 40% lapisan ke bawah itu, kata World Bank, harus menjadi perhatian pemerintah, siapa saja negaranya.

Dalam laporannya, ekonom World Bank Dunia Vivi Alatas menyebutkan, masih ada beberapa hambatan yang bakal dilalui Indonesia dalam menurunkan angka kemiskinan ke depan. Mulai dari persolan konektivitas, sampai dengan masalah-masalah yang memang tidak diprediksi oleh regulator.

"Belum lagi, masalah harga beras yang selama ini terbukti menjadi penyumbang kemiskinan terbesar. Pengendalian inflasi menjadi sangat penting, terutama dalam menekan angka kemiskinan di Indonesia," jelasnya.

Dana desa pada RAPBN 2019 dipangkas Rp3 triliun

Kementerian Keuangan, bersama Badan Anggaran DPR RI, menyepakati transfer dana desa yang tadinya dianggarkan sebesar Rp73 triliun, menjadi Rp70 triliun.

"Dana desa dari sebelumnya Rp73 triliun menjadi Rp70 triliun, karna Rp3 triliun dialokasikan untuk Dana Kelurahan," jelas Sri Mulyani saat rapat bersama Banggar di DPR, Kamis (25/10).

Kesepakatan ini merupakan hasil dari rapat Panitia Kerja (Panja) dalam Banggar. Setelah ini, pembahasan akan dilanjutkan dengan rapat kerja pemerintah bersama Banggar dan kementerian dan lembaga terkait, yang sekaligus merampungkan RAPBN 2019 yang ditargetkan rampung akhir bulan ini.

Meskipun demikian, Menteri Kemendes PDTT Eko Putro Sandjojo menilai, pemangkasan tersebut tidak akan menganggu alokasi penganggaran untuk dana desa.

"(Jumlah alokasi ke dana kelurahan) ya kecil. Terlepas dari situ, sekarang lagi baru mulai, RAPBDes lagi dibahas, jadi mudah-mudahan nanti setiap desa bulan Januari sudah bisa mulai," ujarnya.

Eko optimis, pemerintah desa sudah mendapat penghasilan mumpuni dari sektor pajak. Ia sendiri belum mengetahui secara pasti, metode pengawasan dan pelaksanaan dana kelurahan.

Kata pengamat soal dana kelurahan

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, saat ini sudah ada 8.485 kelurahan yang terdata di Kemendagri untuk menerima dana kelurahan. Perkembangan soal mekanisme penyaluran dana, msih dibahas Sri Mulyani bersama Banggar DPR.

Penyaluran dana kelurahan, kata Tjahjo, difokuskan untuk kelurahan yang berada di pulau Jawa. Hal itu karena banyaknya kelurahan di luar Pulau Jawa yang beberapa kali meminta adanya dana kelurahan untuk berbagai keperluan di wilayah mereka.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, usulan dana kelurahan dinilai berkelindan dengan momen politik di 2019.

Ia mengungkapkan, dana kelurahan akan memunculkan problem pengawasan dan efektivitas pada program, lantaran masih dijumpai kendala di lapangan.

“Dana desa saja masih banyak menemui kendala di lapangan karena perilaku koruptif beberapa oknum kepala desa,” jelasnya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (26/10).

Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga terlambat untuk masuk mengawasi dana desa. Itu disebabkan oleh keterbatasan di Sumber Daya Manusia (SDM). Apabila pengawasannya saat ini lemah, maka dikhawatirkan dana kelurahan justru akan memicu penyimpangan yang lebih besar.

“Kedua dana desa dan dana kelurahan jangan sampai tumpang tindih, karena anggaran jadi mubazir kalau kelurahan disuruh membuat program yang sama seperti dana desa” pungkas Bhima.

Berita Lainnya
×
tekid