

BYD dan persaingan pasar mobil listrik

Build Your Dreams (BYD)—produsen mobil listrik asal China—berencana membangun pabriknya di Subang Smartpolitan, Subang, Jawa Barat. Tak hanya pabrik, BYD bakal membangun ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV), termasuk pusat penelitian, pengembangan, serta fasilitas pelatihan.
Dikabarkan, BYD menggelontorkan investasi hingga Rp11,7 triliun. Dikutip dari Antara, saat ini luas lahan pabrik BYD 108 hektare, dan sudah memutuskan pengembangan dan penambahan baru menjadi 126 hektare.
Rencananya, BYD bakal menambah kapasitas produksi dari yang awalnya 150.000 unit per tahun. Lalu, mengembangkan fasilitas baterai dan kendaraan jenis plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) premium awal tahun depan. Pembangunan pabrik sendiri ditargetkan akan memulai produksi komersialnya pada awal 2026.
Dilansir dari Antara, pada Maret lalu BYD berhasil menjual 377.420 kendaraan listrik secara global. Hal ini menjadikan jumlah penjualan kuartal pertama 2025 nyaris satu juta unit.
Perusahaan tersebut juga mengekspor 206.084 kendaraan listrik yang memecahkan rekor, naik 111% dibandingkan kuartal pertama 2024.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menyebut, langkah BYD membangun fasilitas produksi di Indonesia sebagai strategi ekspansi yang cerdas.
“BYD memiliki kekuatan signifikan dalam hal inovasi teknologi baterai dan EV, serta kapasitas produksi besar-besaran yang memungkinkan mereka menjadi pemimpin global,” kata Yannes kepada Alinea.id, Selasa (22/4).
“Mengingat tahun 2023, BYD menjadi produsen EV terbesar di dunia, mengalahkan Tesla.”
Apalagi, kata Yannes, posisi Subang sangat strategis. Terutama didukung infrastruktur, seperti Pelabuhan Patimban dan Bandara Internasional Kertajati di dekat lokasi pabrik.
“Ini dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok global perusahaan tersebut,” ucap Yannes.
Menurut Yannes, membangun pabrik di Subang mencerminkan upaya BYD mengurangi ketergantungan pada pasar China sekaligus memanfaatkan pertumbuhan Asia Tenggara dan Australia.
Keuntungan jangka panjang dari hadirnya pabrik BYD di Indonesia bagi industri otomotif dalam negeri, kata dia, sangat signifikan. Terutama dalam hal mempercepat transformasi menuju ekosistem EV.
“Selain itu, keberadaan pabrik BYD di Subang diyakini akan memperkuat industri pendukung, seperti pengembangan teknologi baterai untuk EV dan PHEV, serta memberikan peluang transfer pengetahuan dan keterampilan teknis bagi tenaga kerja Indonesia,” kata Yannes.
Persaingan dan risiko terbakar
Meski begitu, produksi mobil listrik BYD bukan tanpa risiko. Pada September tahun lalu, BYD menarik kembali nyaris 100.000 EV karena risiko kebakaran. Kendaraan listrik yang ditarik adalah Dolphin dan Yuan Plus, dengan total 96.714 unit.
Sebabnya, proses pembuatan pengontrol column-assist electric power steering (CEPS), kapasitor pada papan sirkuit pengontrol di beberapa kendaraan tersebut dapat mengalami retakan mikro.
Selama penggunaan kendaraan, retakan mikro kapasitor bisa mengembang dan memicu korsleting, yang dapat menyebabkan kapasitor menjadi terlalu panas dan terbakar. Sebelumnya, pada akhir April 2024, BYD juga menarik 16.666 Seagull EV di China karena masalah perangkat lunak yang dapat menyebabkan kamera mundur tak bisa ditampilkan.
Menanggapi hal itu, Yannes mengatakan, risiko sebetulnya tak hanya terbatas pada mobil listrik saja. Kendaraan berbahan bakar fosil pun punya potensi bahaya, seperti terbakar akibat kecelakaan atau kegagalan mekanis.
“Di sini jelas insiden pada EV sering kali mendapat sorotan lebih besar karena teknologi ini masih relatif baru dan publik cenderung lebih kritis terhadap inovasi,” tutur Yannes.
BYD, lanjut Yannes, juga menjanjikan melakukan rakitan lokal di Indonesia. Bukan sekadar mengimpor dari China. Maka, produksi masif BYD di Indonesia, katanya, diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan pasar lokal yang terus meningkat. Bahkan, melonjak hingga 15 kali lipat dalam beberapa bulan terakhir.
“Harapannya, tentu kelak harus ada transfer of technology dan peningkatan kemampuan produsen dalam negeri sebagai supplier parts untuk BYD,” ujar Yannes.
“Jadi, jangan lagi hanya sekadar relokasi industrinya.”
Kehadiran BYD, menurut Yannes, membuat industri mobil Jepang dan Korea Selatan yang sudah mapan di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Persaingan ketat dari pemain baru ini bakal terjadi, seiring dengan perubahan tren global.
Salah satu tantangan signifikan, kata Yannes, adalah meningkatnya kompetisi dari merek-merek China yang menawarkan kendaraan listrik dengan harga lebih kompetitif, desain lebih maju, dan teknologi canggih.
Hal ini menciptakan tekanan besar bagi produsen mobil Korea Selatan dan Jepang, yang selama ini mendominasi pasar otomotif internal combustion engine (ICE) atau mesin pembakaran dalam konvensional, tetapi relatif tertinggal dalam pengembangan EV dibandingkan China.
“Jelas dominasi mobil Jepang di pasar Indonesia mulai diuji oleh perubahan preferensi konsumen yang semakin mengutamakan teknologi ramah lingkungan dan efisiensi biaya,” kata Yannes.
“Jika produsen Jepang dan Korea gagal merespons tantangan ini dengan cepat, mereka berisiko kehilangan pangsa pasar yang selama ini mereka kuasai.”


Berita Terkait
Jalan terjal kendaraan listrik Indonesia
Proyek litium Ghana goyah hadapi penurunan penjualan kendaraan listrik
Solusi tersendatnya transformasi kendaraan listrik
Mobil listrik murah menjamur, pasar tumbuh subur

