Penetapan batas atas suku bunga pinjaman daring (P2P lending) alias pinjol menjadi strategi regulator di berbagai negara untuk melindungi konsumen. Namun, praktik ini memicu dampak beragam, dari penurunan akses kredit hingga meningkatnya pinjaman ilegal.
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan batas bunga harian sejak 2024 akibat lonjakan kasus sosial pinjol, termasuk penipuan, bunuh diri, hingga perceraian. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nur Komaria menilai kebijakan ini perlu kajian mendalam agar tidak menghambat inklusi keuangan dan minat investor.
“Kebijakan batas bunga ini memang ditujukan untuk meredam dampak sosial negatif, seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tindakan kriminal yang disinyalir berkaitan dengan jeratan pinjol,” ujar Nur dalam laporannya, yang diterbitkan baru-baru ini.
Menurut Asisten Peneliti Indef Deva Zhalzha, dominasi pinjaman konsumtif sebesar 70% menunjukkan masih minimnya dorongan ke sektor produktif. Sepanjang 2024 hingga awal 2025, jumlah pinjaman dan akun aktif terus meningkat. Per Februari 2025, outstanding pinjaman mencapai Rp80 triliun dengan lebih dari 23 juta akun aktif. Meski tingkat wanprestasi (TWP 90) relatif terkendali, tren peningkatan terjadi usai momen Lebaran karena lonjakan kebutuhan konsumtif masyarakat.
“Dalam konteks ini, kebijakan suku bunga perlu dirancang dengan cermat, mempertimbangkan insentif bagi investor, kelayakan usaha pinjol, serta perlindungan bagi peminjam,” ucap Deva.
Penerapan di luar negeri
Studi global mengungkap sederet dampak negatif pemberlakuan kebijakan ini di berbagai negara, seperti di Amerika Serikat (AS), Jepang, Kenya, dan Zambia—mulai dari beralihnya peminjam ke pinjaman ilegal hingga stagnasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sementara itu, negara-negara Eropa yang menerapkan batas bunga berbasis risiko cenderung mengalami dampak yang lebih terkendali.
Secara rinci, di Amerika Serikat, beberapa negara bagian yang menerapkan batas bunga ketat menyebabkan keluarnya investor dari pasar dan meningkatnya pinjaman ilegal. Adapun di Eropa, beberapa negara menerapkan batas bunga berbasis risiko sehingga dampaknya terhadap pasar kredit lebih terkendali.
Pengalaman di Afrika seperti Kenya dan Zambia bahkan menunjukkan kebijakan ini justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan UMKM dan stabilitas perbankan. Semantara di Jepang, yang menerapkan batas bunga sejak 2006, juga mengalami peningkatan pinjaman ilegal akibat penurunan drastis pasokan kredit.