close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi. Alinea.id/Oky Diaz
Sosial dan Gaya Hidup - Pinjaman Online
Rabu, 07 Mei 2025 16:10

Rentan perempuan terjerat utang pinjol

Fenomena perempuan tulang punggung keluarga yang terjerat utang pinjol sudah menjadi perhatian Komnas Perempuan.
swipe

Suryani, 34 tahun, menyesal berutang dari aplikasi pinjaman online (pinjol) untuk keperluan pemasangan air conditioner (AC) atau pengondisi udara di rumahnya. Sebenarnya, Suryani yang menjadi tulang punggung keluarga itu, sudah berusaha mengumpulkan uang untuk membeli satu unit AC seharga Rp3,5 juta. Namun, keluarganya keburu mendesak meminta AC.

“Waktu itu uang yang saya pegang cuma Rp1,5 juta. Pusing saya. Akhirnya, saya pinjam pinjol Rp2 juta biar cepat kebeli,” kata Suryani kepada Alinea.id, Selasa (29/4).

Semula, Suryani mengira membayar utang pinjol sebesar Rp2 juta, tidak begitu sulit. Akan tetapi, begitu ingin membayar utang pada akhir bulan, ternyata utangnya sudah mencapai Rp3 juta. Dia pun urung membayar karena merasa bunga utangnya kelewat besar dan tak seperti perjanjian awal.

“Kalau sebulan dari Rp2 juta menjadi Rp2,5 juta wajar. Ini tidak wajar,” ucap perempuan yang bekerja di perusahaan bus itu.

Karena belum mampu membayar, Suryani terus menerus diteror lewat telepon oleh penagih utang pinjol, dengan sedikit memaksa disertai kata-kata kasar.

“Tiap 30 menit ditanya ‘udah ada uangnya belum?’” kata Suryani.

Dia pun sempat stres karena terus ditagih, sementara uang yang dia punya hanya cukup untuk menyambung hidup.

“Saya tulang punggung keluarga, orang tua sudah tidak kerja. Adik saya masih ada yang kuliah. Fatal banget minjam ke pinjol memang,” ujar Suryani.

Demi memutus utang pinjol, dia akhirnya meminjam uang kepada dua orang rekan kerjanya, dengan total Rp4 juta. Suryani merasa tidak punya pilihan lain.

“Kalau minjam sama teman, jadi ringan bayarnya,” tutur Suryani.

Fenomena perempuan tulang punggung keluarga yang terjerat utang pinjol sudah menjadi perhatian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan dalam beberapa bulan terakhir.

Komisioner Komnas Perempuan, Sundari, mengatakan pinjol yang menyasar perempuan sudah terpantau sejak 2019. Penyebab perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga terjerat pinjol, kata dia, punya banyak faktor. Namun, banyak pihak, termasuk institusi negara cenderung menyalahkan korban dengan alasan mudah terkena tipu daya.

“Ada penderitaan hebat dan berlapis yang dialami korban, hingga bunuh diri. Dalam kultur patriarkis, perempuan korban pinjol menjadi the rejected victim yang dipersalahkan oleh keluarga, rekan-rekan kerja, dan lingkungan sekitar karena (dinilai) melalaikan kewajiban sebagai perempuan atau sebagai ibu yang berperan menjaga kecukupan keuangan,” kata Sundari, Senin (5/5).

Padahal, tekanan yang dialami perempuan tulang punggung keluarga sudah sangat berat. Ditambah ketiadaan sistem dukungan dari orang terdekat.

“Penderitaan psikis perempuan korban pinjol semakin mendalam,” tutur Sundari.

Sundari menilai, penderitaan psikis yang disebabkan dari teror dan ancaman, telah banyak membuat perempuan stres dan berniat mengakhiri hidup.

“Tindakan debt collector (DC) melanggar HAM, bahkan mengarah pada tindak pidana. Dalih yang biasanya dinyatakan adalah mereka, para DC, tidak bekerja di bawah perintah korporasi,” ucap Sundari.

Menurut Sundari, minimnya kebijakan yang melindungi para korban pinjol ikut memperburuk nasib mereka yang sudah kadung terjerat utang. Aparat penegak hukum pun tidak melakukan penanganan yang tepat terhadap pelaku penagih utang pinjol yang melakukan ancaman dan teror. Bahkan, setelah korban melaporkan.

Pemerintah, lanjut Sundari, juga terkesan lamban dalam menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan pinjol yang nakal, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

“Faktanya, karena lemahnya perlindungan negara, pinjol justru lebih sering menjadi jebakan jerat utang, eksploitasi, tipu daya dengan memanfaatkan kerentanan kelompok miskin dan perempuan,” kata Sundari.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan