Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan pembatasan suku bunga harian pada industri pinjaman daring (pinjol) di Indonesia sebagai langkah strategis untuk merespons dampak sosial ekonomi yang kian mengkhawatirkan. Maraknya kasus tragis seperti bunuh diri, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga tindak kriminal, disinyalir memiliki keterkaitan dengan beban bunga tinggi dari pinjaman online, baik legal maupun ilegal.
Kepala Center Digital Economy and SMEs Indef, Izzudin Al Farras Adha, menjelaskan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan batas atas suku bunga harian bertujuan melindungi masyarakat dari jeratan utang yang berlebihan, sembari menjaga ekosistem pinjol tetap sehat dan berkelanjutan.
“Batas maksimum suku bunga harian diatur agar tidak melebihi kemampuan bayar peminjam, sekaligus menekan dampak sosial dari kredit konsumtif yang berlebihan,” ujar Farras, baru-baru ini.
OJK melalui Surat Edaran Nomor 19/SEOJK.05/2023 telah menetapkan skema penurunan bertahap batas bunga harian, dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. Misalnya, pinjaman konsumtif dibatasi maksimal 0,3% per hari pada 2024, diturunkan menjadi 0,2% pada 2025, dan 0,1% pada 2026. Untuk pinjaman produktif, batasannya adalah 0,1% per hari pada 2024–2025 dan 0,067% mulai 2026.
Namun, mulai 31 Desember 2024, OJK memperbarui ketentuan tersebut dengan lebih rinci, termasuk membedakan batas bunga berdasarkan skala usaha (mikro, kecil, menengah) dan tenor pinjaman di bawah atau di atas enam bulan.
“Perubahan ini mencerminkan fleksibilitas OJK dalam menyesuaikan kebijakan terhadap dinamika industri. Namun, di sisi lain, dibutuhkan kepastian regulasi agar akses pembiayaan bagi UMKM tetap terjaga,” tambah Farras.
Perlindungan konsumen
Sementara itu, peneliti Indef lainnya, Fadhila Maulida, mengusulkan tiga pendekatan utama agar kebijakan bunga pinjol tidak menghambat inovasi dan tetap melindungi konsumen. Pertama, dimulai dari "transparansi biaya”, karena OJK perlu memastikan setiap penyedia pinjol transparan soal rincian biaya pinjaman, mulai dari pokok, bunga, denda, hingga biaya layanan lainnya, agar calon peminjam dapat mengambil keputusan yang rasional.
Kemudian, “pengendalian risiko kredit” karena penggunaan sistem penilaian kredit berbasis teknologi (innovative credit scoring) dapat membantu menekan risiko gagal bayar dan mendorong penurunan bunga pinjaman. Terakhir, “penguatan pengawasan dan penindakan”. Pada hal ini, OJK diminta bertindak tegas terhadap penyedia pinjol yang melanggar aturan, khususnya dalam penetapan bunga tidak wajar dan praktik penagihan yang merugikan konsumen.
Perlu kajian
Lebih lanjut Fadhila menegaskan, tanpa kajian menyeluruh, pembatasan suku bunga justru berisiko menurunkan akses pendanaan bagi kelompok rentan. Oleh karena itu, ia mendorong evaluasi berkala atas kebijakan ini agar tetap seimbang antara perlindungan konsumen dan pertumbuhan industri teknologi finansial atau fintech yang inovatif.
“Negara hadir tidak hanya sebagai pengatur, tapi juga pelindung. Maka regulasi yang dibuat harus adil, adaptif, dan berpihak kepada masyarakat,” tuturnya.