Anggota Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Kholid, menegaskan pentingnya pembaruan Undang-Undang Statistik guna menciptakan keseragaman dan integritas data nasional. Kholid menyoroti persoalan klasik perbedaan data antarlembaga pemerintah yang kerap kali menghambat konsistensi kebijakan publik. Salah satu contoh krusial adalah polemik mengenai data produksi dan kebutuhan beras nasional.
“Kementerian Pertanian menyatakan produksi beras cukup, Bulog menyatakan stok aman, tapi Kementerian Perdagangan menyebut kita perlu impor. Ketika dikonfirmasi ke BPS (Badan Pusat Statistik), ternyata memang dibutuhkan impor," katanya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, di Kompleks Parlemen, Selasa (22/4).
Kondisi tersebut, menurutnya, menunjukkan adanya kerancuan dan perbedaan pengetahuan antarlembaga yang bersumber dari ketidakterpaduan data statistik.
Kholid bilang, problem semacam ini menciptakan ketidakpastian di tengah masyarakat sekaligus melemahkan kepercayaan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ia menekankan revisi UU Statistik harus menjadi momentum untuk menyatukan metodologi dan basis data antarlembaga, dengan BPS sebagai otoritas utama statistik nasional.
Tak hanya soal harmonisasi dalam negeri, Kholid juga menyinggung pentingnya kesesuaian data nasional dengan standar internasional. Ia menyoroti perbedaan signifikan dalam metodologi penghitungan garis kemiskinan antara BPS dan lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia.
“Diskursus panjang soal standar kemiskinan sering terjadi. BPS menyebut angka kemiskinan 9%, tetapi World Bank bisa dua kali lipat. Perbedaan metodologi seperti ini perlu diselesaikan secara terbuka dan ilmiah. Kita butuh kejelasan tentang mana yang menjadi acuan dalam menyusun kebijakan,” ungkap politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Lebih lanjut, Kholid mendorong BPS untuk memberi masukan substantif dalam proses penyusunan RUU ini, termasuk langkah-langkah strategis untuk memastikan akurasi, transparansi, dan akuntabilitas data.
“RUU ini harus menjawab tantangan zaman. Kita ingin kebijakan publik yang presisi, bukan berbasis asumsi. Rakyat berhak atas data yang kredibel, dan negara wajib menghadirkannya,” pungkasnya.