Di balik kilau gemerlap kuliner Singapura, terselip realita pahit yang tengah mencengkeram industri makanan dan minuman (F&B). Lonjakan biaya sewa, krisis tenaga kerja, dan regulasi ketat membuat banyak pemilik restoran angkat tangan. Kini, arah kompas bisnis pun mulai bergeser ke seberang tambak—menuju Johor Bahru, Malaysia.
Govinda Rajan, koki asal Hyderabad sekaligus pendiri Mr Biryani, merasakan langsung tekanan itu. Setelah bertahun-tahun berjuang mempertahankan eksistensi restorannya di Singapura, ia membuka cabang pertamanya di Malaysia tiga bulan lalu. Baginya, langkah ini bukan sekadar ekspansi—tapi sebuah penyelamatan.
“Gerai-gerai saya di Singapura bertahan nyaris tanpa harapan. Johor memberi saya udara segar,” ujar Rajan, dikutip South China Morning Post.
Fenomena ini bukan cerita tunggal. Tahun 2024 tercatat sebagai masa suram bagi F&B Singapura, dengan 3.047 usaha gulung tikar—angka tertinggi dalam hampir dua dekade. Hanya dalam enam bulan pertama, sebanyak 1.404 restoran tutup. Beberapa bahkan datang dari nama-nama besar, seperti Crystal Jade di Holland Village dan restoran bintang Michelin, Poise.
Namun di sisi lain Tambak Johor, cerita berbeda tengah tumbuh. Para pengusaha kuliner mulai melihat Malaysia, khususnya Johor dan Kuala Lumpur, sebagai panggung baru yang lebih ramah dari segi biaya. Meski harga bahan baku bisa lebih tinggi, total operasional—termasuk sewa tempat dan upah pekerja—jauh lebih terkendali.
Keith Koh, pemilik Lad & Dad, menemukan kembali semangatnya saat membuka cabang di Kuala Lumpur pada bulan Mei. "Di sini, saya bisa fokus lagi pada rasa dan pengalaman pelanggan, bukan terus dihantui angka sewa," katanya.
Kebijakan ketat Singapura terhadap pekerja asing dan minimnya minat tenaga lokal dalam pekerjaan jasa turut memperparah keadaan. Banyak restoran kewalahan, tidak hanya karena beban finansial, tapi juga karena kekosongan tenaga kerja yang tak kunjung terisi.
Geoffrey Tai, pengamat dari Temasek Polytechnic, menyebut bahwa ekspansi ke Malaysia bukan semata strategi penghematan. “Ini langkah untuk menjangkau pasar kelas menengah yang berkembang, sambil menjaga kelangsungan bisnis,” ujarnya.
Namun, bukan berarti Singapura kehilangan gairah kulinernya sepenuhnya. Tahun lalu, tercatat 3.790 restoran baru berdiri, dan hampir 2.000 lainnya menyusul hingga pertengahan 2025. Meski demikian, para pelaku industri memberi peringatan: tak sedikit dari mereka yang melangkah tanpa kesiapan matang, dan akhirnya tumbang sebelum genap dua tahun beroperasi.
Bjorn Shen, chef eksentrik yang telah berekspansi ke Penang dan Bali, membandingkan margin keuntungan antara dalam dan luar negeri. “Di luar Singapura, kami bisa mencapai laba 20 hingga 30 persen. Di rumah sendiri? Paling banter 7 persen—kalau beruntung,” katanya.
Di tengah tantangan yang terus menekan, para pengusaha F&B Singapura kini dihadapkan pada pilihan sulit: tetap bertahan di negeri sendiri dengan risiko tinggi, atau menata ulang mimpi mereka di negeri tetangga. Bagi sebagian, Johor bukan hanya sekadar pasar baru—ia menjadi perpanjangan napas dari semangat yang nyaris padam.