sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Harga cabai rawit anjlok, petani tercekik rugi Rp40 miliar

Petani menjerit karena harga jual cabai rawit lebih rendah daripada ongkos produksi.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 14 Jun 2019 17:26 WIB
Harga cabai rawit anjlok, petani tercekik rugi Rp40 miliar

Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) menyatakan petani cabai rawit menanggung rugi hingga Rp40 miliar di semester I-2019. Hal ini terjadi karena kelebihan produksi cabai rawit yang menyebabkan stok menumpuk dan tak terserap pasar.

Sekretaris Jenderal Agribisnis Cabe Indonesia (AACI) Abdul Hamid mengatakan, sejak harga cabai rawit di tahun 2016 mencapai harga penjualan tertinggi sebesar Rp180.000 per kilogram (kg), sebagian besar petani cabai merah keriting ataupun cabai merah besar beralih menanam cabai rawit.

“Alhasil sekarang banyak petani yang menanam cabai rawit yang menyebabkan ketersediaannya berlimpah, sementara permintaan tetap dan membuat harganya menjadi sangat murah,” katanya saat dihubungi Alinea.id, Jumat (14/6).

Ia melanjutkan, Magelang, Jawa Tengah, sebagai salah satu daerah penghasil cabai merah, kini separuhnya telah beralih menanam cabai rawit.

Menurut Abdul, saat ini di tingkat petani, cabai rawit hanya dijual seharga Rp3.000-Rp6.000 per kg, sedangkan biaya produksi atau ongkos tanamnya Rp3.000/kg. 

“Itu belum termasuk biaya angkut dan biaya operasional lainnya. Jadi bisa dibayangkan kerugian yang diidap oleh petani,” ujarnya.

Ia pun melanjutkan, jika sampai ke pasar tradisional di daerah harga jual cabai rawit adalah Rp10.000/kg, sedangkan di pasar tradisional di Jakarta harga jualnya dapat mencapai Rp 45.000/kg.


“Artinya kan petani tidak ikut menikmati harga jual cabai rawit yang mahal itu,” ucapnya.

Sponsored

Dia mengatakan saat ini ada 2.000 petani cabe rawit di Indonesia, masing-masing petani mengalami kerugian Rp20 juta selama. 

“Artinya petani cabai rawit per tahun rata-rata rugi Rp40 miliar,” katanya.

Ia menambahkan, dengan kondisi yang demikian, perlu ada campur tangan pemerintah untuk membantu petani agar tak mengalami kerugian terlalu besar.

“Pertama, harus ada lembaga di tingkatan petani yang mengatur soal budidaya cabai. Memang sudah ada lembaga di Kementerian Pertanian dan di Bulog, tapi kerjanya belum optimal dan ini harus dibenahi lagi,” ujarnya.

Ia pun melanjutkan, perlu ada efisiensi dengan mengaplikasian teknologi terkini. Dari produksi yang biasanya 100 juta hektare (ha) menghasilkan 7 ton, akan ditingkatkan 70 juta ha mampu menghasilkan 10 ton. 

“Ini yang harus dipikirkan bagaimana caranya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Abdul menuturkan, untuk mendistribusikan stok cabai rawit yang ada di petani saat ini, seharusnya pemerintah mendorong instansi-instansi untuk membeli cabai-cabai tersebut. Bukan dengan harga yang mahal tapi harga murah, agar barangnya tidak menumpuk. 

“Intinya adalah kita harus bantu petani lah ya, saya takut bunuh diri itu petani. Kalau mau untung sudah enggak mungkin untung. Paling tidak dia enggak rugi lah, ongkos produksinya kembali,” ucapnya.

Cabai merah

Di sisi lain, harga cabai merah besar di daerah pun masih sangat murah. Di Pare, Jawa Timur, katanya, harga cabai merah besar hanya dijual dengan harga Rp20.000/kg.

“Saya heran kenapa di Jakarta harganya bisa tinggi. Bahkan di tanggal 3-4 Juni harganya sampai Rp80.000/kg,” ujarnya.

Ia melanjutkan untuk ketersediaan barang, pasokannya mencukupi. Tidak ada kendala di tingkatan petani dalam proses produksinya. 

“Artinya ada yang tidak sinkron antara di pasar di daerah dengan di Jakarta. Saya menduga terjadi kendala di distribusi. Karena di daerah-daerah itu harganya relatif murah pasokannya tersedia. Angkutannya mungkin yang terkendala,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, Ketua Komite Tetap Hortikultura Kadin Karen Tambayong mengatakan dari informasi yang didapatkannya di Jawa Timur, petani tidak banyak lagi menanam cabai karena harganya yang jatuh. Bahkan, di Jawa Barat katanya, petani mulai mengeringkan cabai rawitnya.

“Artinya masalahnya ya ada di tata niaganya,” katanya.

Ia pun mengusulkan agar pemerintah membuat satu sistem komunikasi yang efektif dengan pemanfaatan teknologi.

“Usul saya dibuatkan satu sistem komunikasi yang efektif mau tidak mau sudah harus mulai beradaptasi dengan teknologi sehingga  petani mendapatkan akses yang tepat dan cepat untuk dapat menyesuaikan dengan permintaan pasar,” ucapnya.

Ia pun mengatakan, ke depan harga cabai mungkin saja lebih mahal karena proses tanam yang mengedepankan model pertanian organik.

“Kualitas juga sangat berperan kedepan mungkin harga cabe bisa saja mahal karena bebas pestisida misalnya,” ucap Karen.

Berita Lainnya
×
tekid