close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) didesak segera membereskan utang rafaksi atau selisih harga minyak goreng (migor) sebesar Rp344 M. Foto Antara/Jessica Helena Wuysang
icon caption
Kementerian Perdagangan (Kemendag) didesak segera membereskan utang rafaksi atau selisih harga minyak goreng (migor) sebesar Rp344 M. Foto Antara/Jessica Helena Wuysang
Bisnis
Senin, 17 April 2023 16:13

Kemendag didesak segera bereskan masalah utang rafaksi migor Rp344 M

Aprindo mengancam berhenti menjual minyak goreng jika Kemendag tidak juga membayar utang selisih harga tersebut.
swipe

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) berencana berhenti menjual minyak goreng (migor) lantaran Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum membayar utang rafaksi senilai Rp344 miliar. Jika kejadian, maka stok migor premium di ritel terancam langka.

Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, berpendapat, belum dibayarnya utang rafaksi atau selisih harga migor ini merupakan cermin atas ketidakcermatan pemerintah dalam mengeluarkan sebuah kebijakan. Demikian disampaikannya dalam keterangannya, Senin (17/4).

"Kebijakan pemerintah sering tidak cermat, sembrono, grusa-grusu, dan plin-plan. Hal ini terjadi bukan hanya pada komoditas minyak goreng sawit, tetapi juga batu bara, nikel, tembaga, timah, dan lain-lain," katanya.

Menurut Mulyanto, pemerintah harus merespons tuntutan Aprindo sesuai ketentuan berlaku. Pun bertanggung jawab atas dampak kebijakan yang dibuatnya agar ancaman pengusahan ritel tak berdampak signifikan.

"Apa yang disampaikan oleh Aprindo itu merupakan masalah yang serius. Mereka sudah berperan turut membantu menyukseskan program satu harga penjualan migor yang diluncurkan pemerintah tahun 2022. Jadi, sebisa mungkin pemerintah menyikapi masalah itu secara konsekuen," tuturnya.

"Menteri perdagangan jangan buang badan menghadapi masalah itu. Dia harus tampil di depan mencarikan solusi atas keluhan yang disampaikan Aprindo. Jangan malah mencari-cari alasan untuk menghindar dari tanggung jawab," imbuhnya.

Mulyanto melanjutkan, Indonesia sebagai negara besar, termasuk potensi sumber daya alamnya (SDA), hraus dikelola dengan cemat dan memperhitungkan aspirasi publik. Dia lalu menganggap RI sebagai truk gandeng bukan bajaj.

Ketika truk gandeng berbelok, sambungnya, sopir harus dapat melihat dengan cermat ujung gerbong gandengannya dari kaca spion. Dengan begitu, tidak terjadi benturan dengan kendaraan lain atau objek di sekitarnya. Adapun bajaj dapat bermanuver kapan dan di mana saja.

"Artinya, pemimpin Indonesia itu perlu SIM truk bukan SIM Bajaj agar Indonesia dikelola secara good governance bukan sradak-sruduk, tabrak sana-tabrak sini karena bersifat sporadis," ujar Mulyanto.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan