sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kenaikan cukai 12% diragukan kurangi konsumsi rokok

Kenaikan cukai ini justru diyakini bakal memperparah kemampuan masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan lainnya.

 Ratih Widihastuti Ayu Hanifah
Ratih Widihastuti Ayu Hanifah Rabu, 22 Des 2021 15:51 WIB
Kenaikan cukai 12% diragukan kurangi konsumsi rokok

Keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan pajak cukai rokok hingga 12% pada 2022 diperkirakan bakal berdampak terhadap komoditas masyarakat miskin, yang mempunyai daya konsumsi tinggi terhadap produk turunan tembakau itu.

Research Director at Center of Refrom on Economic (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan, permasalahannya bukan hanya pada tarif cukai 12%, melainkan patokan penentuan tarif yang tidak jelas. Baginya, tarif tersebut tidak dapat ditentukan menjadi patokan dan tak bisa perkirakan dengan pelaku usaha.

"Formulanya tidak jelas dan ditetapkanya baru menjelang akhir tahun, jadi menyulitkan pelaku bisnis," katanya saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Menurut Faisal, kebijakan tersebut cenderung bertujuan menggenjot penerimaan pemerintah pada tahun depan. "Dan untuk mengejar defisit lebih rendah."

Oleh karena itu, pemerintah diprediksi bakal menaikkan berbagai macam pos pendapatan lainnya guna menekan defisit. Padahal, cukai sebagai alat kendali barang yang memiliki eksternalitas negatif bagi masyarakat, terutama kesehatan.

Sayangnya, dia memperkirakan, kenaikan cukai rokok ini takkan memengaruhi tingkat konsumsi rokok oleh masyarakat. Dengan demikian, takkan berdampak signfikan.

"Dikawatirkan mereka akan tetap mengorbankan pengeluaran yang lain. Jadi malah justru mendorong kemiskinan bagi warganya," ujarnya.

"Mestinya ada formula yang jelas tidak menyulitkan pelaku usaha, tetapi juga pada waktu yang sama jika ingin betul mengendalikan konsumsi rokok dengan alasan kesehatan selain tarif cukai, perlu ada upaya-upaya lain untuk masyarakat mengurangi mengonsumsi rokok masyarakat. Salah satunya alternatif, mungkin dengan pembatasan ruang untuk merokok dan campaign pemerintah," tutur Faisal.

Sponsored

Researcher at CORE, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan, pemerintah harus mempertimbangkan seberapa jauh dampak kenaikan cukai rokok. Disarankannya dengan mengeluarkan kebijakan lain yang menyasar masyarakat miskin khususnya pada inflasi.

"Kalau saya lihat, bukan retribusi kembali juga selain orang miskin, cukai ini juga untuk mengalokasikan anggaran ke bidang kesehatan. Jadi betul ada kebijakan pemerintah untuk perluasan peraturan pemerintah ketika menetapkan tarif cukai lebih tinggi," paparnya.

Katanya, instrumen kenaikan cukai bukan menjadi acuan pertama untuk kesehatan. Lebih pada negatifnya, misalnya dari alkohol dan rokok. 

“Tentu dengan asumsi demikian, saya kira, memang kita tidak bisa mengatakan ketika cukai rokok tarifnya meningkat ditetapkan 12% ini kemudian akan membantu penerimaan negara, konteksnya agak berbeda karena tujuan dari peningkatan cukai rokok itu adalah untuk mengontrol dampak dari konsumsi rokok di dalam negeri," urainya.

Dia menilai, kenaikan cukai rokok sebaliknya akan memberikan peningkatan pada pengonsumsi merokok karena pasti meskipun harga cukup mahal, tetapi masyarakat bakal tetap membelinya.

“Sebaliknya, justru pada penerima cukai naik itu mengalami peningkatan justru itu menjadi tanda tanya alasannya. Kenapa tanda tanya? Berarti memang kebijakan untuk pengendalian konsumsi suatu barang rokok belum optimal karena idealnya cukai itu tidak meningkat. Jika meningkat berarti orang tetap membeli produk tersebut meskipun tarif cukai meningkat begitu," tuturnya.

Jika dilihat peningkatan kenaikan cukai, maka harus ditinjau kembali, terutama dari tujuannya antara lain mengurangi konsumsi barang-barang yang berdampak negatif bukan justru bagaimana mendorong penerimaan negara. 

"Betul bahwa lima tahun terakhir ini kontribusi cukai pada penerimaan negara mengalami peningkatan, tapi ditegaskan, itu bukan maksud yang utamanya. Sekali lagi, cukai itu untuk mengurangi prevalensi konsumsi yang dikategorikan memberikan dampak negatif ke manusia dan masyarakat," tegasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, juga berpendapat sama. Menurutnya, seharusnya pemerintah turut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap kesehatan, tenaga kerja dalam industri, petani tembakau, dan penerimaan negara dari cukai rokok. Selain itu, ada resiko signifikan dari produksi tembakau.

Dirinya pun berpendapat, kenaikan cukai rokok hingga 12% tersebut terlalu tinggi mengingat masih berlangsung pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Efek selanjutnya, industri akan menurunkan produksinya.

"Meskipun secara nominal target penerimaan negara itu meningkat, tetapi jika dilihat, masih di bawah perkiraan pemerintah Rp193 triliun," ujarnya,

Adapun dampak dari kenaikan cukai ini adalah harga rokok golongan tertentu menjadi mahal. Kemudian, pabrik mengurangi produksinya karena pengaturan dibandingkan tahun sebelumnya dan pada golongan 2B bakal berdampak cukup besar.

"Harus diperhatikan pada kelompok surat ketetapan pajak [SKP] yang beberapa tahun ini tidak naik tetapi tahun ini naik karena masyarakat bawah yang konsumsi. Mereka, kan, biasa beli per batang Rp10rb satu bungkus atau per batang. Di SKP akan cenderung turun tahun ini diantara golongan lainnya," ucapnya.

Taufik melanjutkan, semestinya Kemenkeu melihat data realisasi, yang terjadi penurunan signifikan, sebelum memutuskan besaran kenaikan cukai rokok. Dengan demikian, persentase kenaikan lebih moderat.

"Mungkin benar kenaikan rokok yang besar akan menaikan dampak inflansi di awal tahun 2022, tetapi perusahaan akan melakukan kenaikan secara bertahap agar tidak terasa langsung naik. Tentu saja menaikkan garis kemiskinan bagi pekonsumsi rokok tinggi. Kemudian, dari dampak untuk buruh rokok akan ada pengurangan karyawan itu sangat kecil," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid