Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan ketetapan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) atas tarif batas bawah (TBB) untuk penerbangan sebesar 35% dari batas atas tidak mendukung persaingan usaha yang sehat. Komisioner KPPU Chandra Setiawan menilai ketetapan ini bisa membatasi ruang gerak maskapai dalam memberikan harga yang menarik untuk konsumen.
Menurut dia, KPPU tidak setuju dengan ketetapan yang tertuang dalam PM 20/2019 tersebut. "KPPU memang tidak pernah setuju penetapan TBB ini, karena akan menutup perusahaan lain yang efisien untuk bersaing secara sehat," kata dia.
Chandra juga mengkritik Kemenhub yang tidak mengetahui secara detil biaya operasional maskapai penerbangan. Padahal, biaya operasional tersebut yang menjadi komponen penentu tarif pesawat.
Chandra mengungkapkan pemerintah seharusnya melakukan pengawasan ketat terhadap keselamatan, pemeliharan, dan kualitas pelayanan. Pasalnya, apabila semua hal itu dilakukan, maskapai dipastikan tidak akan menjual di bawah biaya rata-ratanya.
"Artinya, maskapai akan bersaing dengan layanan dan kualitas. Tidak mungkin dia memberikan pelayanan di bawah rata-rata, karena pasti akan rugi dan melanggar UU tentang pricing," ujarnya.
Hal lain yang perlu dilakukan Kementerian Perhubungan adalah pemberian rute secara adil terhadap semua maskapai. Dengan begitu, mereka bisa mendapatkan untung dari rute-rute yang ramai. Keuntungan itulah yang bisa menjadi subsidi silang dalam perputaran bisnis ini.
Meski tak setuju dengan adanya TBB, Chandra menegaskan tarif batas atas (TBA) tetap harus diberlakukan. Alasannya, agar maskapai tidak seenaknya untuk menaikkan harga tinggi. Dengan begitu, masyarakat diharapkan mampu membeli tiket pesawat.
Praktik kartel
Sementara itu, Chandra mengatakan pihaknya masih terus melakukan penyidikan atas adanya dugaan kartel harga tiket pesawat. Sampai saat ini, pihaknya belum mendapatkan laporan dari investigator, pascapemanggilan maskapai nasional ke kantornya.
Seperti diketahui, pada Januari lalu KPPU telah memanggil badan angkutan udara nasional, yakni Garuda Indonesia Group, Lion Air Group, dan AirAsia Indonesia. Ketiga badan usaha maskapai penerbangan tersebut datang untuk dimintai keterangan atas adanya dugaan kartel harga tiket pesawat.
"Tim (investigator) untuk menyelediki kasus ini sepertinya masih belum menyelesaikan penulusuran mereka, karena masih kurangnya alat bukti. Kalau sudah capai dua alat bukti yang cukup, barulah lapor ke komisi,” kata dia.
Apabila berdasarkan bukti ada pihak maskapai penerbangan yang melakukan kartel, maka selanjutnya bukti tersebut akan dibawa kepada sidang peradilan.
"Kalau jadi perkara, bakal ada sidang terbuka. Kemudian, jika di dalam sidang itu, terbukti adanya praktek kartel, maka para maskapai yang bersangkutan bisa dikenai denda Rp1 miliar sampai Rp25 miliar," ujar Chandra.