sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Memutus belenggu generasi sandwich

Kehidupan masa tua perlu dipersiapkan sejak masa produktif untuk memotong generasi sandwich.

Nurul Nur Azizah
Nurul Nur Azizah Kamis, 22 Apr 2021 14:25 WIB
Memutus belenggu generasi sandwich

Anita (25) telah mencapai tahap karier yang cukup menjanjian. Sebagai seorang sales di perusahaan teknologi, penghasilannya telah menyentuh angka dua digit. Sebulan, ia bisa mengantongi pendapatan antara Rp12 juta sampai Rp16 juta.

Jumlah itu sangat cukup, jika hanya digunakan untuk dirinya sendiri dan menata kehidupannya ke depan setelah menikah. Namun, karyawan swasta di Jakarta ini mesti menanggung biaya hidup bahkan utang yang membelit orang tuanya. Meski bukan anak pertama, ia juga menjadi penopang biaya pendidikan saudaranya. 

"Selain survive di Jakarta sendiri, juga biayai orang tua yang sudah sepuh tidak kerja, satu lagi ada ponakan yang aku tanggung biaya kuliahnya," ujar Anita saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (21/4). 

Kondisi itu membuatnya tertekan secara finansial. Bagaimana tidak, ia harus mengalokasikan uang untuk tunggakan utang orang tuanya yang mencapai Rp300 juta. Belum lagi tanggungan biaya kuliah jutaan rupiah per semester hingga biaya hidup rutin yang ia sisihkan demi keluarga. 

"Aku Rp3 juta udah cukup buat sendiri. Tapi, buat nyicil utang Rp7 juta. Belum semesteran Rp2 juta-an dan uang pangkal Rp15 juta," terangnya. 

Jadi, meski sudah bekerja sejak tahun 2018, Anita merasa tidak sempat mengalokasikan tabungan pribadi. Seluruh pendapatannya sudah habis untuk menanggung pengeluaran utang dan biaya-biaya keluarga. 

Perempuan asal Jawa Barat itu menceritakan, utang orang tuanya memang sudah menumpuk bertahun-tahun. Sebabnya, mulai dari dampak kegagalan usaha hingga pengaturan keuangan yang dia nilai memang tidak baik. Terlebih, utang-utang tersebut ditarik dari rentenir. Bunganya yang terus berkembang akhirnya menjadi bumerang.

Kondisi serupa juga dialami oleh Aris (28). Meski tak sampai menanggung utang, ia telah menjadi 'tulang punggung' bagi keluarga besarnya di kampung halaman. 
   
Setiap bulan, paling tidak dia harus mengirim biaya hidup untuk nenek yang mengasuhnya, ayah, paman hingga adik-adik sepupunya. Jumlahnya pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Belum termasuk kebutuhan-kebutuhan insidental keluarga yang tak jarang juga dilimpahkan padanya. 

Sponsored

"Pokoknya yang wajib dikirim itu 3 orang di rumah, biasanya yang lain bergilir atau pas ada kebutuhan mendesak di keluarga," kata Aris kepada Alinea.id, Rabu (21/4). 

Perantau di Jakarta ini mengaku, selain memang untuk membantu keluarganya, kondisinya tersebut diperparah dengan kebiasaan di keluarganya. Orang dewasa apalagi belum menikah bisa menjadi sandaran secara finansial.

"Biasanya ada satu lagi sepupu yang kerja buat berbagi yang ngasih, tapi barusan dia nikah dan enggak kerja, jadi ya semuanya jadi kayak ke aku," ujarnya. 

Kondisi tersebut memang cukup memberatkan bagi Aris. Sebagai pekerja swasta, gajinya yang hanya sebesar Rp5 juta-an, mesti dibagi-bagi untuk banyak alokasi demi menopang biaya hidup keluarga besar. Alhasil, ia harus berhemat di tempat rantau.  

"Kadang juga pusing dan stres, tapi ya kalau enggak dikasih mereka juga butuh," katanya.

Di situasi yang menjepit itu, dirinya memang harus pintar-pintar mengatur keuangan. Setidaknya, kata dia, harus mempunyai asuransi jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Tak kalah penting, alokasi dana darurat paling tidak 6 kali gaji dan tabungan meski tak banyak.  

Seperti halnya Anita dan Aris, seorang karyawan di Jakarta lainnya, Sekar (26) juga bernasib sama. Dia juga dituntut membiayai hidup orang tua dan pendidikan adiknya di kampung halaman.

Menurutnya, penghasilan orang tuanya sebagai petani yang masih menyewa sawah seringkali tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Selain risiko gagal panen, dia juga mesti mengeluarkan ongkos produksi sendiri sampai membayar uang sewa yang tak murah. 
 
Sebagai anak sulung, ia mesti membiayai adiknya yang kini di bangku SMA dan bersiap untuk kuliah. Bahkan terkadang, ia juga mengeluarkan uang untuk biaya pendidikan adik sepupunya di bangku kuliah. 

"Lumayan juga sih, makanya enggak bisa enggak kerja, karena kayak jadi tumpuan keluarga gitu," kata Sekar. 

Anita, Aris, dan Sekar adalah potret milenial yang tengah terhimpit. Tak hanya menanggung biaya hidupnya sendiri, mereka juga menopang biaya hidup dua generasi yang berada di atas dan bawahnya. Inilah yang populer disebut sandwich generation atau generasi sandwich

Ilustrasi Pexels.com.

Sekilas, fenomena ini memang seolah tampak lazim di tengah masyarakat. Orang dewasa sudah selayaknya memberikan bantuan bagi orang tua, sekaligus menyiapkan masa depannya sendiri bersama keluarga. Namun, ini juga bisa jadi belenggu: tekanan yang mengancam keuangan hingga mental. 

Lingkaran setan generasi sandwich

Istilah generasi sandwich pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller, pada 1981. Profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS), itu memperkenalkan istilah itu dalam jurnal berjudul "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the Aging."

Dalam jurnal tersebut, Dorothy menjelaskan generasi sandwich ini sebagai generasi orang dewasa yang mendapat tuntutan untuk menanggung biaya hidup orang tua dan anak-anak mereka. Imbasnya, generasi sandwich bisa rentan mengalami banyak tekanan karena menyokong hidup orang banyak. 

Dalam sejarahnya, generasi sandwich ini awalnya merujuk pada kaum perempuan di umur 30-40 tahunan. Selain harus merawat anak-anak, mereka juga mesti memenuhi kebutuhan orang tua hingga keluarga di sekitarnya. 

Seiring perkembangan jaman, fenomena ini tak hanya merujuk ke perempuan namun juga laki-laki yang cakupannya pun semakin meluas. Mulai dari usia 20-an tahun hingga 60-an tahun. Konsepnya serupa yaitu generasi yang terjebak di tengah dan harus menyokong generasi di atas dan bawahnya. 

Seorang peneliti isu Demografi di Amerika Serikat, Carol Abaya kemudian mengkategorikan beberapa skenario berbeda yang mungkin dialami oleh generasi sandwich ini. Mulai dari Traditional Sandwich Generation yaitu mereka yang berada di tengah orang tua yang menua dan butuh bantuan. Namun, di bawahnya ada anak-anak mereka yang belum bisa mandiri.

Ada pula Club Sandwich, merujuk pada mereka yang berumur 40-60 tahunan yang berada di tengah orangtua mereka yang berusia senja, anak-anak yang sudah dewasa, dan cucu mereka. Istilah ini juga bisa dipakai bagi orang usia 20-40 tahunan yang bertanggung jawab pada anak-anak mereka, orang tua dan kakek nenek. 

Selanjutnya, Open-faced Sandwich yaitu siapapun yang ikut terlibat dalam mengurus orang lanjut usia. Sehingga, ini bisa terjadi pada lajang usia produktif yang menanggung orang tua dan keluarga besar.

Lalu, apa penyebab generasi sandwich masih tetap ada? 

Salah satunya, tak lepas dari literasi keuangan yang masih minim. Masih menurut jurnal Dorothy, munculnya generasi sandwich bisa disebabkan karena orang tua atau generasi tua yang tidak menyiapkan masa tuanya dengan baik. Dalam hal ini, bukan saja perencanaan keuangan namun juga mitigasi dari risiko-risiko kesehatan. 

Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE) Mike Rini mengatakan generasi sandwich seringkali terjadi akibat orang tua yang mewarisi kebiasaan pengaturan keuangan yang kurang baik. Jika tidak segera diputus, maka bukannya tidak mungkin akan semakin merembet ke generasi selanjutnya. 

“Maka akan terjadi (lingkaran setan) generasi sandwich, di mana biaya hidup orang tua akan terus-terusan bergantung pada anak,” ujar Mike kepada Alinea.id, Rabu (21/4). 
 
Potret ini akan lebih mencemaskan, jika terjadi pada kalangan milenial (1981-1994). Kelompok ini banyak menjadi generasi sandwich dari baby boomers (1946-1960) atau generasi X (1961-1980).

Seperti terlihat pada Riset dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru di 2019 menunjukkan, kalangan milenial usia 18-25 tahun hanya memiliki tingkat literasi sebesar 32,1%, sedangkan usia 25-35 tahun memiliki tingkat literasi sebesar 33,5%. 

Bahkan, hasil survei literasi keuangan OJK tahun 2019 juga mengungkapkan bahwa hanya 6% masyarakat yang memiliki dana pensiun, selebihnya menggantungkan kepada ahli waris. Jumlah milenial saat ini yakni 24% dari total penduduk Indonesia atau setara dengan 64 juta. 

Pentingnya kemandirian finansial 

Mike Rini menekankan, kemandirian finansial menjadi hal penting yang harus dimiliki tiap orang. Terlebih, orang tua atau calon orang tua yang nantinya tidak akan membebankan finansial kepada anak-anaknya. 

"Tidak hanya mencukupi hari ini saja, tapi juga mempersiapkan masa depan menjadi sangat penting agar generasi sandwich tidak terulang," ujarnya. 

Ilustrasi Pixabay.com.

Lebih lanjut, Mike merinci berbagai strategi agar kemandirian finansial bisa diterapkan. Hal pertama yaitu pengelolaan keuangan yang matang. Selain mempunyai jaminan kesehatan dan pensiun, dana darurat serta tabungan pun sudah semestinya dialokasikan tiap orang. 

"Begitu terima gaji pertama itu idealnya, sudah harus memikirkan untuk diinvestasikan," ujarnya. 

Bagi generasi sandwich, Mike bilang, perlu juga untuk tegas dalam menentukan batasan yang disesuaikan dengan kemampuan. Maka dari itu, perlu adanya komunikasi terbuka kepada keluarga yang ditanggung biaya hidupnya. Mulai dari jumlah biaya untuk keperluan hingga pembagian tugas untuk meminimalisir pengeluaran. 

Caranya bisa dengan membagi peran dengan saudara yang produktif untuk bahu-membahu menyokong keluarga. Bisa pula, mengoptimalkan aset hingga sumber daya yang ada. Misalnya, memanfaatkan rumah orang tua yang telah ditinggal anak-anaknya untuk disewakan atau untuk usaha dan hasilnya bisa digunakan untuk menambah biaya hidup mereka. 

"Orang tua juga perlu diberikan pemahaman, bahwa kita membantu kebutuhan hidupnya bukan keinginan hidup. Jadi, saling pengertian," kata dia. 

Jika memungkinkan, menurutnya kemandirian finansial juga akan lebih mudah tercapai dengan tidak hanya mengandalkan gaji pokok saja. Mike mengatakan, perlu juga menyiapkan pendapatan pasif yang ke depan bisa digunakan untuk tabungan finansial agar tak harus bergantung pada siapapun. Sehingga, generasi sandwich pun bisa diputus. 

"Dari sekarang, anak-anak muda yang masih produktif kerja perlu paham ini. Dan juga penting untuk berteman dengan lingkungan positif agar bisa terpacu mandiri finansial," pungkasnya. 

Berita Lainnya
×
tekid