sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menimbang keuntungan Indonesia bergabung dalam CPTPP

Presiden Joko Widodo pun pernah memberikan isyarat, Indonesia akan bergabung dalam beberapa blok dagang dunia, termasuk TPP.

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Kamis, 22 Nov 2018 14:59 WIB
Menimbang keuntungan Indonesia bergabung dalam CPTPP

Pada Maret 2018, sebelas negara menandatangani kerja sama antarnegara Asia-Pasifik. Sebelas negara tersebut membentuk perjanjian baru, yakni The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership/CPTPP (Perjanjian Komprehensif dan Progresif bagi Kemitraan Trans-Pasifik).

Sebelas negara itu, antara lain Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.

Tanpa Amerika Serikat

Perjanjian internasional terkait ekonomi ini dibentuk sekaligus untuk menangkal kebijakan Amerika Serikat yang makin proteksionis. Tahun lalu, Amerika Serikat keluar dari Trans Pacific Partnership/TPP (Kemitraan Trans-Pasifik).

Awalnya, TPP terdiri dari 12 negara. Namun, awal tahun lalu goyah setelah Trump menyatakan negaranya menarik diri dari perjanjian. Alasannya, untuk melindungi lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.

Setelah itu, dipimpin Jepang dan Kanada, sebelas negara tersisa menuntaskan pakta dagang yang telah direvisi pada Januari 2018.

Meski tanpa Amerika Serikat, kesepakatan itu bisa menjangkau pasar dengan populasi hampir 500 juta orang—yang membuatnya menjadi perjanjian dagang terbesar nomor tiga di dunia, menurut statistik perdagangan Chile dan Kanada.

Dilansir dari Reuters, acara penandatanganan diadakan sehari usai Eropa dan Internasional Monetary Fund/IMF (Dana Moneter Internasional), mendesak Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mundur dari perang dagang, yang dipicu rencana penerapan bea masuk baja dan aluminium impor.

Sponsored

Penandatanganan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) di Santiago, Chile. (twitter.com/MYEmbSantiago).

Diharapkan, kerja sama ini akan mengurangi tarif di negara-negara anggota dengan perekonomian, yang bila digabungkan nilainya lebih dari 13% ekonomi global, yakni US$10 triliun (ekuivalen Rp137.785 triliun).

CNBC Indonesia, 8 Maret 2018, melaporkan, kesepakatan yang sudah direvisi tersebut mengeliminasi sejumlah syarat dalam perjanjian TPP, di antaranya aturan peningkatan perlindungan hak atas kekayaan intelektual untuk obat-obatan, yang membuat pemerintah serta aktivis negara anggota lainnya khawatir akan kenaikan harga obat. Versi final dari perjanjian ini dirilis di Selandia Baru pada 21 Februari 2018.

Sementara itu, dilansir dari Republika, 12 Desember 2015, TPP melingkupi standar ketenagakerjaan tertinggi sepanjang sejarah, mulai dari kewajiban upah minimum, regulasi keselamatan kerja, hingga pelarangan pekerja anak.

Kesepakatan itu pun mencakup komitmen lingkungan yang kuat, termasuk menghentikan perdagangan satwa liar, pembalakan liar, dan penangkapan ikan ilegal. Standar-standar tadi merupakan jantung TPP dan bisa diberlakukan.

Di dalam tulisannya berjudul “Review Trans Pacific Partnership”, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor yang juga anggota tim ahli Satgas G-33 WTO Muhammad Firdaus mengatakan, TPP dirancang dengan standar tinggi, komprehensif, seimbang, sekaligus ambisius.

Diharapkan, kerja sama ini menjadi integrasi ekonomi antarnegara. Misi utamanya, liberasi perdagangan dan investasi untuk meningkatkan perekonomian, lapangan kerja, peningkatan standar hidup, pengentasan kemiskinan, dan capaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Di dalam tulisannya itu, Firdaus mengatakan, liberasi ekonomi ini bukan hanya bisa menghapus hambatan tarif dan nontarif. Dia menuturkan, pedagangan bebas bisa dilakukan layaknya daging sapi dari Australia dikirim ke Singapura.

Daging tersebut akan dicampur dengan daging sapi di Kanada. Setelah itu, ditaburi bumbu dari Peru, yang diproses di Singapura. Maka, jadilah daging sapi berbumbu yang siap dimakan dan diekspor ke TPP.

"Bagi konsumen, manfaat dari produk dengan jaminan kualitas tentu menguntungkan," tulisnya.

Hitung-hitungan bergabung

Medio April 2018, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia ingin bergabung dalam TPP. Meski begitu, Sri mengakui, Indonesia belum sepenuhnya siap. Pada 2017, Presiden Joko Widodo pun pernah memberikan isyarat, Indonesia akan bergabung dalam beberapa blok dagang dunia, termasuk TPP.

Pada 2015, ketika TPP masih beranggotakan 12 negara, Firdaus melakukan kajian terhadap dampak ekonomi bagi Indonesia, bila bergabung dalam kesepakatan itu. Menurutnya, dampak keikutsertaan Indonesia ke dalam TPP pertama kali bisa dilihat seberapa pentingnya anggota TPP sebagai tujuan ekspor Indonesia.

Sejumlah alternatif tujuan pasar lain diambil sebagai perbandingan. Apakah negara tunggal, seperti India dan Cina, atau kesepakatan plurilateral, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional dan Uni Eropa).

Untuk mengetahui dampak ekonomi jika Indonesia menjadi anggota TPP, tim studi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Tanti Novianti dan Dian Panjaitan melakukan simulasi tarif sesama impor, seluruh komoditas, termasuk Indonesia. Jika menilik dampak terhadap output nasional (PDB), ternyata PDB India, Cina, dan Uni Eropa turun masing-masing 0,16%, 0,21%, dan 0,08%. Namun, PDB TPP naik 0,07%.

Dua negara anggota TPP, yang memiliki kemiripan struktur ekspor pertanian dengan Indonesia, yakni PDB Malaysia turun 0,03% dan Vietnam naik 5,31%. Untuk Indonesia, keikutsertaan anggota TPP menyebabkan PDB total naik 0,7%.

Presiden Joko Widodo bertemu Presiden Donald Trump di Hamburg, Jerman, tahun lalu. (Setpres/www.kemlu.go.id).

Dilihat dari sektor pertanian, keanggotaan ini menyebabkan PDB sektor tanaman Indonesia turun 0,39%, PDB sektor hewan turun 0,6%, dan PDB sektor industri agro turun 0,88%. Meski demikian, ada peningkatan PDB sektor tekstil 26,07%. PDB industri agro Vietnam turun, tapi Malaysia naik.

Dampak ekonomi juga bisa dilihat dari perubahan kesejahteraan, yakni surplus produsen dan konsumen. Keanggotaan Indonesia dalam TPP akan menyebabkan kesejahteraan Cina dan India turun US$2.755,35 dan US$496,08. Kesejahteraan TPP Malaysia dan Vietnam naik, masing-masing US$3.054,05, US$849,96, dan US$1.968,59.

Sedangkan kesejahteraan Indonesia naik US$824,16. Hal ini berarti, keanggotaan TPP menyebabkan kesejahteraan naik, tapi tak begitu signifikan.

Liberalisasi tarif meningkatkan ekspor Indonesia, dan impor yang akan menguntungkan konsumen dalam negeri. Namun, hal ini menurunkan harga di dalam negeri yang akan mengurangi surplus produsen (petani).

Dengan bergabungnya Indonesia ke dalam TPP, nilai ekspor tujuh komoditas perkebunan dan pertanian turun 0,24%. Sementara, nilai ekspor pertanian Vietnam turun 1,54% dan Malaysia naik 1,17%.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, bila Indonesia bergabung dalam pakta dagang internasional seperti TPP, maka keuntungan ekonomi barangkali saja didapatkan. Meski demikian, perlu dilihat kesiapan di dalam negeri sendiri.

“Yang jadi masalah, bagaimana Indonesia mempersiapkan diri menghadapi globalisasi dan liberalisasi dagang,” kata Sinta di Jakarta, Rabu (21/11).

Lebih lanjut, Shinta menuturkan, negosiasi di forum, seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Uni Eropa-Indonesia) saja berlangsung sangat alot.

Kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa sulit dicapai, karena masih banyak isu yang dibahas. Terutama masalah investasi dan tarif perdagangan.

“Sekarang pertanyaannya, bagaimana sikap pemerintah terhadap TPP, mau tidak untuk masuk (bergabung)? Kalau mau, harus dipersiapkan segala kemungkinannya, karena itu berarti kita akan membuka diri terhadap persaingan usaha global,” ujar Shinta.

Berita Lainnya
×
tekid