close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi. Foto Freepik.
Bisnis
Senin, 27 Mei 2024 20:19

Meramal arah obligasi di tengah ketidakpastian kebijakan suku bunga

Pasar obligasi mencatat pelemahan di bulan April.
swipe

Pasar obligasi mencatat pelemahan di bulan April. Laman Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) menunjukkan, Indeks Obligasi Komposit (Indonesia Composite Bond Index/ICBI) ditutup di level 373,3950 pada perdagangan Selasa (30/4). Angka tersebut merosot dibandingkan posisi 379,4176 pada Senin (1/4). 

Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Laras Febriany mengatakan lesunya pasar obligasi dipicu oleh data inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi dari ekspektasi. Diketahui, inflasi umum AS cenderung meningkat pada periode Januari hingga Maret 2024. Kondisi itu berimbas terhadap keputusan bank sentral AS, The Fed yang memberikan sinyal belum akan memangkas suku bunga acuannya. 

"The Fed mengindikasikan masih membutuhkan waktu lebih lama untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestiknya sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum melakukan pemangkasan," ujar Laras, baru-baru ini. Dus, volatilitas di pasar saham, obligasi, dan mata uang secara global, Asia, hingga Indonesia meningkat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dan sempat menyentuh Rp16.200 per dolar AS.

Tren suku bunga tinggi

Di Indonesia, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS direspons oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI rate menjadi 6,25% di bulan April. Laras mengatakan BI mengambil langkah tersebut guna menjaga stabilitas rupiah. Depresiasi rupiah yang signifikan dapat menyebabkan risiko imported inflation alias kenaikan harga barang dan bahan baku yang diimpor karena pelemahan rupiah. Hal itu disebut membebani dunia usaha dan daya beli masyarakat dalam jangka pendek.

Selain itu, ujarnya, stabilitas rupiah juga penting untuk menarik dana investor asing masuk ke pasar Indonesia. Analisisnya, pasar mengapresiasi keputusan BI, terlihat dari nilai tukar rupiah yang membaik dan stabil di kisaran Rp16.000 per dolar AS, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 10 tahun turun dari puncaknya di 7,25% ke level saat ini di bawah 7%.

"Investor asing mulai kembali masuk ke pasar obligasi di bulan Mei," kata Laras.

Dia memprediksi kebijakan BI akan bergantung pada kondisi pasar global yang dapat memengaruhi stabilitas rupiah. Tekanan penguatan dolar AS akan mereda apabila data ekonomi dan inflasi AS menunjukkan tren penurunan. Dengan demikian, BI tidak perlu menaikkan suku bunga.

"Selain dari tekanan rupiah, kami melihat tidak ada  faktor lain yang dapat memicu BI untuk menaikkan suku bunga, terutama karena inflasi domestik masih terjaga," tuturnya.

Diperkirakan, BI rate akan berada di kisaran 5,75% hingga 6,25% di akhir tahun. Ramalan itu mempertimbangkan pasar yang masih menduga ada potensi pemangkasan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Funds Rate satu hingga dua kali.

"Ketua The Fed mengatakan walaupun suku bunga belum akan turun secepat ekspektasi pasar sebelumnya, potensi kenaikan lebih lanjut pun sangat kecil, sehingga langkah berikutnya ke depan adalah pemotongan suku bunga," tuturnya.

Peluang pasar obligasi

Laras menyebut, ketidakpastian kebijakan suku bunga saat ini justru bisa menjadi peluang investasi berbasis obligasi. Pasar obligasi disebut masih menarik didukung oleh adanya potensi pemangkasan suku bunga.

Perubahan-perubahan ekspektasi di awal kuartal II-2024 yang kemudian diikuti dengan volatilitas tinggi dan sentimen pasar yang kurang kondusif, kini mulai mereda. Pasar melakukan penyesuaian dan sentimen mulai pulih.

Selain itu, perekonomian global tahun ini diperkirakan masih tumbuh. Demikian juga dengan data inflasi global yang berada dalam tren menurun. Di dalam negeri, fundamental ekonomi masih terjaga kuat. Katalis-katalis penopang dan potensi pasar finansial juga masih sangat cukup.

"Mari kita fokus pada peluang jangka menengah panjang, dan jadikan volatilitas jangka pendek sebagai peluang yang belum tentu datang kembali, terutama dengan pandangan pemangkasan suku bunga yang masih dapat terjadi," kata Laras. 

Meski demikian, investor perlu mencermati volatilitas yang masih dapat terjadi dalam jangka pendek karena faktor ketidakpastian suku bunga The Fed.  

"Oleh karena itu, kami selalu mengelola portofolio secara aktif, bergerak dinamis antara defensif dan agresif untuk membentuk portofolio yang optimal. Strategi portofolio akan disesuaikan berdasarkan tinjauan makroekonomi terkini serta fokus pada manajemen durasi, kas dan pemilihan efek untuk membentuk portofolio yang dapat bergerak dengan lincah," lanjutnya.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan