sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Opsi childfree dan realita ongkos membesarkan anak

Mempunyai anak adalah keputusan besar yang melibatkan konsekuensi materiil dan imateriil.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Sabtu, 25 Sep 2021 08:21 WIB
Opsi childfree dan realita ongkos membesarkan anak

Nama Gita Savitri menjadi trending topic di Twitter beberapa waktu lalu. Youtuber yang menetap di Jerman ini menimbulkan pro kontra setelah menyebut dirinya dan pasangan memutuskan childfree alias tidak mempunyai anak. Meski kontroversial, opsi childfree yang menyeruak kini tak lepas dari isu biaya yang dibutuhkan untuk membesarkan anak.

Dena misalnya. Ia baru saja melahirkan anak pertamanya 8 bulan lalu. Meski tinggal jauh dari ibu kota, tepatnya di Purwokerto, Jawa Tengah, dia mengaku harus merogoh kocek tidak sedikit sejak awal kehamilan hingga persalinan. 

Dia bilang, untuk biaya persalinan yang harus dikeluarkannya sebenarnya relatif terjangkau. Hanya sekitar Rp1,4 juta untuk biaya kelahiran dengan operasi caesar. Pasalnya, ia menggunakan BPJS Kesehatan Kelas 1 di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak di kotanya.

"Itu sudah termasuk biaya perawatan bayi, kecuali kalau bayi masuk NICU, rapid test, dan swab test," ungkapnya saat dihubungi Alinea.id, Senin (20/9).

Namun, biaya yang dikeluarkannya tersebut masih belum digabungkan dengan biaya kontrol kehamilan, vitamin, susu hamil, serta biaya tambahan atau biaya tak terduga lainnya. Perempuan 26 tahun itu merinci meski menggunakan BPJS Kesehatan, namun tetap ada biaya yang harus ditanggung karena tidak dicover BPJS.

Dena merangkum, ada biaya untuk vitamin kehamilan, penguat kandungan, dan susu ibu hamil yang mencapai Rp1 juta untuk trimester awal. Belum lagi, ia juga sempat memeriksakan kehamilan tanpa menggunakan BPJS yang mencapai Rp2 juta lebih.

"Biaya itu semua belum termasuk buat keperluan bayinya lho, ya. Buat keperluan bayi itu aku habis sekitar Rp5 juta. Cukup banyak ya?," tanyanya sambil terkekeh.

Wanita yang menjalankan bisnis online ini juga harus menyiapkan biaya lain setelah sang bayi lahir. Sebut saja biaya vaksinasi atau imunisasi, makanan bayi, susu formula hingga diapers. 

Sponsored

Ilustrasi Pixabay.com.

Hal senada juga diceritakan Andri Abbas. Setidaknya, saat putra keduanya berumur 0-4 bulan, dia harus mengeluarkan biaya Rp700.000 setiap bulan. Biaya tersebut dikeluarkannya untuk membeli keperluan inti sang buah hati, seperti susu formula, set botol bayi, imunisasi, perlengkapan mandi, dan baju bayi. Sedangkan untuk set perlengkapan tidur, dia menganggarkan sendiri sekitar Rp800.000.

Saat putranya berusia 5-6 bulan, Andri mengaku harus mengeluarkan biaya sekitar Rp1 juta setiap bulannya.  "Untuk imunisasi saya di Puskesmas, jadi gratis," bebernya, Jumat (24/9).

Kebutuhan tersebut, kata laki-laki yang bekerja sebagai konsultan sumber daya air di salah satu perusahaan swasta di Bandung itu, kian membengkak ketika sang anak menginjak usia satu tahun ke atas. 

"Sekarang sudah umur 2 tahun 3 bulan, buat susu sebulan Rp600.000, diapers saya budget-in Rp300.000, sama keperluan mandi sekitar Rp100.000. Imunisasi masih dari Puskesmas," imbuhnya.

Menurut pria 33 tahun itu, uang yang dikeluarkannya tiap bulan belum termasuk biaya tak terduga yang dianggarkannya sebesar Rp500.000 per bulan. "Waktu anakku usia 8 bulan, kena DBD dan dirawat di RS, habisnya Rp500.000 untuk obat yang enggak ditanggung RS," kata Andri.

Butuh biaya besar

Terpisah, Peneliti Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lengga Pradipta mengatakan, di negara berkembang, termasuk Indonesia, biaya untuk merawat anak dari usia 0-3 tahun dibutuhkan biaya sekitar Rp100 juta. Dia bilang, perkiraannya itu didasarkan pada penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh China Council Research terhadap beberapa negara berkembang di seluruh dunia. 

Biaya tersebut dibutuhkan untuk keperluan seperti susu formula, popok atau diapers, biaya makan anak sehari-hari, serta imunisasi. Namun, dana itu belum termasuk biaya jika orang tua menggunakan jasa helper, babysitter, atau day care jika kedua orang tua harus bekerja dan tidak bisa mengasuh si anak penuh waktu. 

"Ini belum termasuk juga biaya persiapan kehamilan, biaya check up kandungan kalau ibu sudah hamil dan biaya persalinan," urainya, kepada Alinea.id, Selasa (21/9).

Namun demikian, biaya persalinan yang harus dikeluarkan oleh calon orang tua berbeda-beda, tergantung lokasi pasangan itu tinggal. Lengga bilang, jika orang itu tinggal di daerah urban, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bogor, Depok, Surabaya, Medan, dan kota besar lain, biaya pra-persalinan hingga melahirkan akan jauh lebih mahal. 

Pun begitu dengan proses melahirkan yang harus ditempuh oleh si calon ibu, apakah normal atau operasi caesar. Begitu juga dengan fasilitas kesehatan yang nantinya akan dipilih oleh sang orang tua, apakah akan melahirkan di bidan puskesmas, klinik, rumah sakit umum, ataukah rumah sakit khusus ibu dan anak.

"Apalagi kalau di rumah sakit. Itu normal aja tanpa BPJS bisa lebih dari Rp6 juta dan kalau harus operasi caesar bisa Rp15 juta-an," kata dia.

Biaya yang harus digelontorkan orang tua untuk anak-anak mereka masih harus berlanjut hingga anak tersebut masuk ke dunia pendidikan. Dia bilang, jika para orang tua di Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk membiayai anak mereka hingga usia 17-18 tahun, dengan biaya sekitar US$2 juta, para orang tua di Indonesia harus membiayai si anak setidaknya hingga usia 21-22 tahun atau sampai mendapat gelar sarjana.

"Karena kalau di Amerika dan negara-negara di Eropa kan anak setelah umur 18 tahun itu sudah lepas dari orang tuanya," jelasnya.

Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.

Bahkan, pada beberapa kasus, kata Perencana Keuangan Mike Rini orang tua masih memiliki kewajiban untuk membiayai pernikahan anak-anak mereka. Padahal, seharusnya biaya tersebut dapat ditanggung si anak dan pasangannya.

"Ini masih banyak banget kita temukan di Jawa," tutur Pendiri Mitra Rencana Edukasi (MRE) ini melalui sambungan telepon kepada Alinea.id, Kamis (23/9).

Dengan besarnya biaya merawat anak, tak heran jika kemudian banyak anak muda, utamanya generasi milenial dan generasi Z yang memutuskan untuk childfree. Bahkan, Mike dan Lengga sepakat jika besarnya biaya merawat anak menjadi salah satu alasan kuat, baik pasangan muda yang sudah menikah atau orang-orang yang belum menikah untuk childfree.

Hal ini pun lantas diamini oleh pasangan suami istri, David (36) dan Verda (32). David, yang juga merupakan seorang arsitek di Jakarta bilang, keputusan untuk childfree bukanlah hal mudah. Meski sudah mendeklarasi keputusan itu, tak jarang  mereka masih ditanyai soal momongan.

Pasangan yang sudah menikah hampir 3 tahun itu mengaku childfree menjadi opsi karena kian mahalnya biaya hidup dan pendidikan di Jakarta. Hal itu membuatnya berpikir, mempunyai anak dirasa menjadi keputusan egois yang memang tidak seharusnya ia ambil. Belum lagi, dengan memiliki anak, dia dan sang istri merasa telah mampu memberikan sedikit konstribusi kepada dunia yang saat ini sudah mengalami overpopulation.

"Meskipun biaya pendidikan mahal, saya enggak tega kalau pada akhirnya saya harus menyekolahkan anak saya di sekolah gratisan karena kemampuan finansial saya yang mungkin belum cukup," lanjutnya.

Bukan hanya materiil

Pada saat yang sama, dia dan Verda juga berpikir bahwa untuk merawat anak, selain kemampuan finansial yang memadai, orang tua diharuskan pula untuk memiliki mental kuat. Jangan sampai ketika anak hadir di dalam pernikahan sepasang suami istri, baik ayah maupun ibu masih memiliki permasalahan dengan mental mereka sendiri. 

"Makanya sekarang banyak banget orang tua yang sebenarnya masih punya beban mental, pada akhirnya, si anak ini malah terlantar. Saya enggak pingin jadi seperti itu," tegas dia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, penulis buku 'Childfree & Happy' Victoria Tunggono mengungkapkan, untuk menjadi ibu dan orang tua memang dibutuhkan kesiapan mental dan skill khusus. Karena menjadi ibu atau orang tua, bukan hanya perkara melahirkan dan memberi makan anak saja, melainkan juga mendidik anak sampai dia dewasa dan bisa hidup mandiri.

Menurutnya, itulah yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi perempuan maupun pasangan yang memilih untuk childfree. Di samping juga faktor lain seperti tidak siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor lingkungan bahkan faktor fisik diri sendiri maupun fisik pasangan. 

"Di balik keputusan untuk childfree ini, sebenarnya ada yang lebih penting, yaitu childcare (kemampuan merawat anak)," bebernya, kepada Alinea.id, Minggu (5/9).

Sementara itu, Mike Rini menambahkan bagi pasangan yang ingin memiliki anak, ada baiknya membicarakan keputusan ini dengan matang jauh-jauh hari sebelum pernikahan. Apakah nantinya pasangan tersebut akan memiliki anak atau tidak, hingga berapa jumlah anak yang ingin dimiliki. 

Jika pasangan tersebut ingin memiliki anak, dia sangat menyarankan bagi mereka untuk membagi pos-pos anggaran tersendiri dalam merawat dan membesarkan anak. Dia bilang, pos-pos anggaran yang harus dipersiapkan antara lain, biaya persalinan dan pra-persalinan, biaya pendidikan, biaya tambahan, dan asuransi kesehatan baik untuk orang tua maupun anak.

"Uangnya ini harus dipersiapkan kalau bisa jauh sebelum menikah dan punya anak. Jangan pas punya anak nanti mereka kelabakan harus cari biaya lahiran dari mana, nanti belum kalau sudah besar anak harus sekolah, sekolahnya mahal, dan lain sebagainya," urainya.

Alih-alih childfree, untuk pasangan dengan kemampuan finansial terbatas, dia menyarankan untuk lebih memilih childless atau membatasi jumlah anak. Selain bisa lebih mengontrol pengeluaran untuk merawat anak, pasangan suami istri juga tak perlu lagi khawatir tentang stigma negatif atau kontroversi di masyarakat terkait fenomena childfree ini.

Namun, jika pun pasangan suami istri memilih untuk childfree, menurutnya juga merupakan hal lumrah. "Karena keputusan ini memang ada di tangan masing-masing pasangan," kata Mike.

Hal ini pun diamini pula oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Namun, menurutnya penyebab seseorang atau suatu pasangan tidak ingin memiliki anak, dapat digolongkan dalam dua kluster besar. Pertama, adalah pilihan atau keinginan sendiri. Kedua, karena suatu akibat, misalnya karena faktor kesehatan atau faktor lain yang tidak diketahui sehingga tidak dapat memiliki anak.

"Kedua penyebab ini, meliputi berbagai aspek, mulai dari kondisi fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya," katanya, Minggu (5/9) lalu.

Selain itu, ketakutan akan proses kehamilan ataupun melahirkan, dapat juga mendorong orang untuk mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. Meski begitu, keputusan childfree kata dia, akan berpengaruh pada struktur penduduk di suatu negara. 

Ilustrasi Pixabay.com

Kondisi tersebut juga akan berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio). Angka itu menggambarkan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif (penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk usia produktif (penduduk usia 15-64 tahun).

Semakin tinggi dependency ratio, menggambarkan semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif. Karena harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan penduduk usia non produktif, dan sebaliknya.

"Keadaan ini tentu saja dapat menjadi indikator maju atau tidaknya ekonomi suatu negara," imbuh dia.

Selain itu, apabila banyak pasangan memutuskan untuk childfree, maka akan berpengaruh pada jumlah penduduk usia non produktif yang meningkat beberapa tahun kemudian dan menyebabkan tingginya rasio ketergantungan. Tingginya rasio ketergantungan dapat menjadi faktor penghambat pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Lantaran sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari golongan produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang belum dan sudah tidak produktif.

"Kemudian juga faktor yang menjadi penyebab perceraian juga utamanya adalah karena tidak memiliki anak," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid