sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pertarungan media konvensional di era serba media sosial

Media konvensional seperti televisi, radio, koran, dan portal online mengalami penurunan pendapatan karena pandemi dan konvergensi digital.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Senin, 10 Jan 2022 17:40 WIB
Pertarungan media konvensional di era serba media sosial

Kalau bukan karena urusan pekerjaan, Dilli Rochmawati kemungkinan besar tidak akan bersentuhan dengan koran. Kebutuhan media monitoring membuatnya harus menguprek beberapa surat kabar nasional untuk dokumentasi. Ya, Dilli menjadi satu dari jutaan milenial yang tak lagi menggantungkan kebutuhan informasinya dari media massa konvensional yakni televisi, koran, radio, atau bahkan portal berita.

“TV setahun belakang udah enggak pernah (nonton). Karena bisa streaming lewat aplikasi or website. Kadang mereka juga upload program mereka di Youtube, radio enggak sama sekali,” ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (10/1).

Untuk bisa up to date dengan perkembangan informasi, Dilli bergantung pada aplikasi media sosial Twitter. Dari cuitan di aplikasi berlambang burung itulah Dilli kerap mendapat berita-berita viral, termasuk dari akun media massa.

“Kalau jadi anak Twitter berasa selangkah lebih maju dari yang lain,” seloroh wanita 37 tahun ini. 

Namun, lulusan Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman ini mengaku prihatin dengan kondisi media-media konvensional saat ini. Terlebih lagi untuk media cetak yang sudah beberapa tahun terakhir menemui senja kalanya. Pun begitu dengan televisi yang makin ditinggalkan penontonnya, serta radio yang makin sempit segmentasi konsumennya.

“Aku pilih online aja,” ujarnya.

Ilustrasi surat kabar. Unsplash.com.

Memasuki era digital, kekuatan media cetak dan media online memang kian pudar. Seiring dengan meningkatnya penetrasi internet, masyarakat lebih bebas memilih dari mana mereka mendapatkan informasi. Jika sebelumnya masyarakat harus menunggu media cetak terbit, kini mereka bisa mengakses berita kapan saja dan di mana saja. 

Sponsored

Media online yang menjamur pun ternyata tak menjadi primadona satu-satunya di era digital. Ini tak lepas dari kehadiran platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, dan Youtube yang dapat menghadirkan informasi apapun dengan cepat dan berantai.

Riset ‘Memetakan Lanskap Industri Media Kontemporer di Indonesia’ yang disusun Yanuar Nugroho, Dinita Andriani Putri, dan Shita Laksmi menyebutkan kemajuan dalam teknologi media dan komunikasi telah mengubah lingkungan industri media. Ini sekaligus membuka ruang yang lebih luas bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam media melalui internet dan media sosial. 

Internet tampaknya telah menjadi ruang utama di mana warga negara dapat berkomunikasi tanpa batasan. Ruang-ruang seperti blog, situs-situs jejaring sosial dan microblogging telah memungkinkan warga negara untuk menciptakan ranah publik sendiri dan terlibat satu sama lain secara bebas (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012).

Media-media jenis ‘baru’ yang kian subur ini sangat dipengaruhi oleh jumlah pengguna internet yang mempunyai akun media sosial.  Riset ini mencatat penyebaran informasi melalui media sosial sangat luar biasa hingga kemudian dirujuk oleh media mainstream. 

“Internet telah menjadi sebuah infrastruktur penting ketika industri media harus menghadapi tantangan baru dalam teknologi media: konvergensi dan digitalisasi,” demikian bunyi laporan tersebut.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dalam Survei 2020 melansir jumlah pengguna internet mencapai 202,6 juta jiwa atau 73,7% dari total penduduk Indonesia sebesar 274,9 juta jiwa. Angka ini mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun 2019 yang sebanyak 196,71 juta jiwa.

Ilustrasi Unsplash.com.

Sementara, Lanskap Digital Indonesia yang dirilis We Are Social and Hootsuite mencatat durasi rata-rata akses harian pengguna internet berdasarkan media. Posisi terbanyak berupa mengakses internet dari semua perangkat dengan durasi 8 jam 52 menit. Kemudian, durasi bermedia sosial 3 jam 14 menit, menonton TV (reguler dan streaming) 2 jam 50 menit, dan membaca berita (online dan cetak) 1 jam 38 menit.

Disusul kemudian dengan aktivitas mendengar layanan musik 1 jam 30 menit, main video games 1 jam 16 menit, mendengar podcast 44 menit, dan mendengar siaran radio 33 menit. Laporan tersebut menunjukkan tren penggunaan internet didominasi aktivitas bermedia sosial dan menonton acara streaming.

Bisnis lesu

Popularitas internet yang tinggi dan lesunya bisnis media cetak ini menjadi penanda dimulainya era konvergensi media. Perusahaan media besar mengembangkan sayap untuk menjangkau lebih banyak pengguna. Namun, di masa pandemi, bisnis beberapa konglomerasi media pun lesu ditandai dengan turunnya pendapatan.

Dalam public expose yang didapatkan Alinea.id, PT Global Mediacom Tbk. misalnya mengalami penurunan pendapatan full year tahun 2020 sebesar 7% dari Rp12,93 triliun pada 2019 jadi Rp12,04 triliun. Tercatat pendapatan iklan dan konten turun 5% dari Rp8,35 triliun jadi Rp7,95 triliun. Meski demikian, pendapatan dari layanan berlangganan (subscriber based media) mengalami lonjakan 5% dari Rp3,52 triliun menjadi Rp3,68 triliun.

Artinya, jejaring media massa berupa stasiun TV free-to-air (FTA), koran, media siber hingga radio dan platform streaming ini menunjukkan adanya kompensasi penurunan pendapatan ke sumber pendapatan baru.

Begitupun dengan Grup VIVA yang terdiri dari dua stasiun TV FTA dan media online. Dalam public expose VIVA, tercatat pendapatan turun hingga 21,8% dari Rp1,1 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp874,1 miliar pada 2020. Perusahaan juga tercatat mengalami kerugian yang kian parah dari semula Rp233 miliar pada 2019 menjadi Rp674,2 miliar pada 2020.

Ilustrasi pekerja media TV. Unsplash.com.

Sementara PT Mahaka Media Tbk, yang menaungi surat kabar, radio, TV, dan majalah ini mengalami penurunan pendapatan usaha dari Rp251 miliar pada 2019 menjadi Rp159 miliar pada 2020.

Namun, bagi konglomerasi media yakni PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (Emtek) pandemi tidak menggerus laba perusahan. Grup yang membawahi dua stasiun TV FTA besar serta media cetak dan online mengalami pertumbuhan pendapatan 7% untuk divisi media yakni dari Rp1,3 triliun pada 3 bulan tahun 2020 menjadi Rp1,4 triliun pada 3 bulan tahun 2021.

Media menjadi kontributor pendapatan Grup Emtek dengan persentase 45%. Disusul kemudian divisi solution dengan porsi 42%, dan lainnya 13%. Pendapatan Grup Emtek secara total naik 20% yakni dari Rp2,6 triliun menjadi Rp3,1 triliun.

Era transisi

Managing Partner Inventure Yuswohady mengakui saat ini semua bisnis media mau tak mau masuk ke dalam jaringan internet. Hal ini memungkinkan masyarakat menikmati informasi dari rumah atau di manapun mereka berada.

Ia menceritakan media konvensional seperti TV akan bergeser menjadi layanan streaming dan radio akan menjadi podcast atau live streaming. Dengan kata lain, TV dan radio tidak benar-benar mati tapi hanya berganti ‘baju’. Namun, yang terpenting adalah penggunaan perangkat ponsel untuk mengakses media-media terbaru tersebut.

“Artinya radio dan TV enggak bisa diakses melalui HP, dia akan ditinggalkan customer,” katanya kepada Alinea.id, Senin (10/1).

Ia meyakini media konvensional tidak akan benar-benar punah. Asalkan, akses internet yang menjadi kunci bagaimana media bisa diakses dapat menyebar dengan luas ke seluruh Indonesia. Saat ini, kata dia, TV di Jakarta dan Jawa memang kurang diminati karena masyarakat lebih memilih layanan streaming. Namun, beda halnya dengan di Papua, NTT, atau daerah-daerah tertinggal lainnya. TV masih ditonton oleh masyarakat karena akses internet disana masih minim.

Ilustrasi layanan streaming. Unsplash.com.

“Jadi masa depan media massa ini ditentukan network internet tersedia bagus atau enggak,” tambah pakar pemasaran ini.

Di sisi lain, turunnya pendapatan beberapa perusahaan media massa besar juga diperkirakan tidak akan berlangsung selamanya. Saat ini, terutama di masa pandemi, bisnis media tengah berada di masa transisi. Dari semula mengandalkan media konvensional menjadi beralih ke multi platform yang menggunakan internet.

Dus, meski perolehan cuan dari iklan kian menyusut namun ada peluang pendapatan baru yakni dari subscription atau layanan berlangganan. Selain itu, di era streaming iklan pun berganti wajah dengan masuk ke dalam cerita drama yang ditayangkan layanan streaming.

“Ini masa transisi dua tahun, karena pandemi orang mulai bergeser ke platform digital secara cepat, makanya media yang pakai pola-pola lama geser ke digital. Jadi kehilangan pendapatan akan terkompensasi ketika dia fully masuk ke digital,” bebernya.

Pangsa pengeluaran iklan untuk berbagai medium (global). Dari berbagai sumber.
Medium 2009 2020
Internet 0,7% 54,29%
TV 63,3% 27,45%
Surat kabar 22,1% 5,45%
Luar ruangan 3,9% 4,97%
Radio 4,1% 4,49%
Majalah 5,3% 3,31%
Film 0,6% 0,23%

Karenanya, bisnis media masih akan menjanjikan ke depannya. Pasalnya, selama pandemi jumlah media baru tumbuh bak cendawan di musim penghujan. Jika dulu membangun televisi membutuhkan modal besar, kini cukup dengan membuat akun di kanal Youtube, kontren kreator bisa mendapatkan penghasilan dari view yang lumayan.

Namun, bertambahnya pemain media baru ini tentu akan membuat persaingan kue iklan kian ketat. “Market medianya membesar tapi pemain makin banyak jadi kuenya terbagi-bagi jadi kecil tapi secara agregat market media membengkak luar biasa sekali,” imbuhnya.

Bisnis media pun, kata dia, tak perlu khawatir kehilangan pembaca. Pasalnya, saat ini masyarakat mulai jengah dengan sumber berita yang tidak kredibel dan cenderung hoax. Alih-alin mendapatkan informasi yang benar, pembaca kerap disesatkan oleh ‘berita’ yang tercipta dari media sosial.

Karenanya, Yuswohady meyakini bisnis media siber juga akan mengarah ke subscription atau berlangganan. Ini didasari oleh semakin tingginya tuntutan masyarakat atas berita atau konten yang berkualitas.

“Ada masanya euforia ada masanya juga konsumen mulai smart. Sekarang sudah mulai indikatornya subscription laku,” tutupnya.
 

Berita Lainnya
×
tekid