sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekonom: Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 belum signifikan

"Secara riil, Indonesia hanya tumbuh 0,01% pada triwulan III-2022. Sangat kecil sekali."

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Rabu, 09 Nov 2022 09:41 WIB
Ekonom: Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 belum signifikan

Potensi dan ancaman pertumbuhan ekonomi Indonesia

Ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,72% secara tahunan (yoy) pada triwulan III-2022 masih terlalu rendah dari potensinya. Alasannya, selisih pertumbuhan ekonomi dan inflasi berbeda tipis.

"Harus kita bandingkan angka pertumbuhan ekonomi 5,72% dengan tingkat inflasi 5,71%. Artinya, pertumbuhan ekonomi saat ini belum begitu signifikan. Secara riil, Indonesia hanya tumbuh 0,01% pada triwulan III-2022. Sangat kecil sekali," tegasnya dalam keterangannya, Selasa (8/11).

Menurutnya, Indonesia harusnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi jika mengoptimalisasi pengembangan hilirisasi pertambangan. Sebagai negara penghasil nikel terbesar, baginya, negara mestinya memperoleh kontribusi besar dari sektor industri pertambangan. Sayangnya, sektor ini hanya mampu menyumbang 3,22% (yoy) terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sektor pertanian juga disebut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai salah satu sektor utama dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 1,65% (yoy). Namun, bagi Achmad, capaian itu belum ideal mengingat angka impor masih dominan dibanding ekspor.

"Penilaian ini berdasarkan angka penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang paling tinggi sebesar 29,96% dari total 135,61 juta penduduk bekerja, berdasarkan laporan BPS untuk periode Februari 2022. Angka impor masih lebih besar daripada ekspor," jelasnya.

Daya beli masyarakat pun dinilai harusnya bisa lebih tinggi. Achmad menerangkan, Indonesia memiliki bonus demografi yang besar dan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat, apalagi mobilisasi masyarakat sudah tak dibatasi sehingga sektor transportasi dan pergudangan memberi kontribusi tinggi.

Meskipun demikian, adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar 30% dan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2022 dari 10% menjadi 11% membuat daya beli masyarakat masih lemah dibandingkan Vietnam.

Sponsored

Achmad berpendapat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 turut ditopang efek windfall yang membuat harga-harga komoditas dunia, seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara tinggi. Itu menambah nilai pertumbuhan dan membuat penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus.

Di sisi lain, dirinya mengingatkan agar Indonesia tak terlena dengan ekonomi yang terus tumbuh. Pangkalnya, efek windfall diprediksi takkan berlanjut pada 2023 yang ditambah adanya ancaman resesi ekonomi global.

"Penurunan harga komoditas akan menjadi ancaman besar bagi APBN Indonesia di masa resesi yang akan datang dan tidak bisa diprediksi akan separah apa," katanya.

Achmad berpandangan, ekonomi negara maju tumbuh melambat dan akan melemahkan daya beli mereka. Padahal, negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Eropa, menjadi mitra dagang utama Indonesia.

"Sebagai contoh, saat permintaan produk tekstil negara maju menurun pada 2022 ini, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sektor tekstil di Indonesia yang jumlah mencapai 64.000 orang," ungkapnya.

Mengacu pada potensi dan ancaman bagi pertumbuhan ekonomi tersebut, Achmad berpendapat, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh pemerintah agar ekonomi tumbuh lebih tinggi. Misalnya, belanja pemerintah mendukung peningkatan konsumsi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor.

"Indonesia harus mencari pasar-pasar baru untuk ekspor komoditas. Caranya dengan berdayakan para duta besar, khususnya di kawasan Afrika dan lain-lain, untuk menawarkan komoditas-komoditas yang dimiliki Indonesia," pungkasnya. 

Berita Lainnya
×
tekid