sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Di balik viralnya tumbler "Stanley" dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca

Tumbler Stanley seharga US$45 menjadi alternatif yang populer menggantikan botol air plastik.

Valesca Saputra
Valesca Saputra Jumat, 09 Feb 2024 06:24 WIB
 Di balik viralnya tumbler

Holli, ibu enam anak berusia 33 tahun yang merupakan bagian dari klub penggemar kecil, mulai mengoleksi tumbler “Stanley” dari tahun 2019. Produk yang terus merilis warna baru itu menarik minatnya. Holli bergabung melalui grup Facebook untuk bertukar pikiran dengan sesama penggemar.

Hingga suatu saat, rumah Holli di Arizona berisikan lebih dari 200 tumbler. Video yang menunjukkan koleksinya tersebut menjadi hit dan menyita perhatian jutaan pengguna TikTok.

Empat tahun setelahnya, minat Holli terhadap tumbler Stanley mulai surut. Produk yang dirilis semakin terbatas dan desainnya tak lagi menarik. Grup Facebook yang awalnya penuh anggota dan pasar penjualan kembali (resale) kian jenuh. Holli akhirnya mendonasikan sejumlah tumbler Stanley yang tidak terpakai kepada teman, keluarga, dan gerejanya sehingga koleksinya kini tersisa 112 buah.

"Ketika orang berbicara tentang konsumsi berlebihan...bisnis yang mendorong hal ini. Ini harus dimulai dari mereka untuk memperlambatnya," ujar Holli yang enggan menyebutkan nama belakangnya.

Mereka yang dimaksud adalah Stanley. Perusahaan di balik Quencher H20 Flowstate Tumbler, sebuah gelas logam berukuran 45 ons (1,3 liter) yang akhirnya lebih dikenal sebagai “Stanley”.

Gelas seharga U$45 ini dapat digunakan kembali. Ada produk dengan warna terbatas, testimoni dari influencer, dan berkolaborasi dengan merek-merek besar. Yang sempat ramai adalah kerja sama Stanley dan Starbucks. Kedua perusahaan merilis tumbler berwarna merah muda untuk merayakan hari Valentine. Konsumen bahkan rela berkemah dan mengantre demi mendapatkan tumbler tersebut.

Tumbler itu sekarang dijual dengan harga lebih dari US$300 di eBay. Kegilaan penggemar tumbler Stanley menjadi jawaban atas permasalahan yang menjengkelkan. Yaitu, botol air yang tidak dapat digunakan kembali dan menghasilkan 200 juta ton sampah setara dengan karbon dioksida per tahun, ditambah banyaknya sampah plastik.

Sebagian besar tumbler Stanley dibuat agar tahan lama. Bahkan belum lama ini menjadi viral setelah seorang wanita mengunggah sebuah video yang menunjukkan tumbler miliknya selamat dari kebakaran mobil dan es di dalamnya belum mencair. Rekaman gambar tersebut mendapatkan lebih dari 95 juta penayangan di TikTok.

Sponsored

Dalam praktiknya, Stanley menjadi ikon konsumsi yang berlebihan di masyarakat. Gelas logam, tas jinjing, sedotan besi, dan barang-barang lain yang dapat digunakan kembali sering dipasarkan sebagai cara untuk menggantikan produk sekali pakai dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, hal itu hanya berjalan jika produk yang dapat digunakan kembali dipakai sesuai dengan fungsinya. Juga, tidak akan berfungsi jika produk tersebut tidak pernah digunakan lagi sama sekali.

"Perusahaan-perusahaan yang menjual botol air dan termos bukan berbahan plastik dapat memanfaatkan pola pikir, tumbler merupakan produk sehat jika Anda menggunakannya kembali tanpa henti, dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat akan jauh lebih kecil," kata Manajer Komunikasi Kelompok Advokasi Koalisi Polusi Plastik, Erica Cirino.

“Anda menjual sebuah solusi, namun itu tidak menjadi solusi jika Anda menjual jutaan solusi yang tidak akan pernah habis,” lanjutnya.

Hampir berhenti produksi

Merek Stanley telah menjadi bagian dari masyarakat selama 110 tahun. Cerita modern Stanley dimulai pada tahun 2017 ketika sebuah blog populer yang dikenal sebagai The Buy Guide pertama kali memosting tentang produk tumbler mereka. Awalnya produk ini dipasarkan sebagai perlengkapan berkemah untuk pria. Quencher mulai mendapatkan popularitas melalui dukungan influencer media sosial dan rekomendasi dari ibu-ibu yang menyebarkannya dari mulut ke mulut.

Meskipun mendapat perhatian dari berbagai kalangan, hal itu tidak cukup bagi Stanley. Pada tahun 2019, beredar rumor perusahaan akan menghentikan produksi tumbler mereka. Mendengar kabar tersebut, pendiri The Buy Guide mengambil langkah untuk membeli 10.000 tumbler dan menjualnya kembali. Dalam waktu singkat hanya lima hari, setengah dari stok tumbler tersebut habis terjual. Keberhasilan ini menginspirasi mereka untuk menjual kembali 5.000 tumbler lainnya dalam postingan kedua, yang juga terjual habis dalam waktu singkat.

Kesuksesan ini menarik minat Stanley, dan The Buy Guide membantu meyakinkan perusahaan untuk tetap mempertahankan produknya serta mulai mengarahkan penjualan kepada wanita. Pada tahun 2020, tumbler tersebut makin beken.

Para influencer media sosial memperlihatkan koleksi mereka secara daring, dengan banyak unggahan yang memamerkan berbagai macam tumbler. Aksesori seperti penutup jerami, tas jinjing, jimat, dan bahkan nampan makanan ringan mulai bermunculan mengelilingi tumbler. Tagar Stanley cup di TikTok dipenuhi oleh pengguna yang memamerkan tumbler belum pernah digunakan. Dampaknya, pendapatan perusahaan melonjak dari US$70 juta pada tahun 2019 menjadi lebih dari US$750 juta pada tahun berikutnya.

Salah satu pendiri The Buy Guide, Ashlee LeSueur, menyatakan saat ini Stanley dan situsnya menjalin kemitraan yang saling menguntungkan secara finansial dan profesional, dengan fasilitas yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak. The Buy Guide akan menerima produk tumbler terbaru dari Stanley, lengkap dengan seluruh varian warnanya.

Sebelum bekerja sama dengan Stanley, LeSueur menggunakan botol air plastik sekali pakai. Namun, kini dia beralih menggunakan tiga koleksi tumbler Stanley-nya. Keluarganya juga tidak lagi menggunakan kemasan plastik. LeSueur merasa dia telah berkontribusi positif terhadap lingkungan dengan perubahan gaya hidup yang dilakukan.

"Ini benar-benar mengubah pola hidup di rumah saya," ujar LeSueur, yang tinggal di Carlsbad, California.

Seorang penduduk Houston, Amina Malikova, telah beralih dari penggunaan botol air sekali pakai ke tumbler Stanley sejak bulan Mei 2023. Saat ini, pria berusia 24 tahun tersebut memiliki 13 tumbler Stanley. Dia menyukai versi Flamingo Pink dan telah diposting di TikTok dengan jumlah penayangan mencapai hampir 5 juta kali.

Amina memiliki kebiasaan mencocokkan tumbler dengan pakaian yang dikenakannya. Dia juga sering membagikan koleksinya kepada anggota keluarga yang tinggal bersamanya.

"Kami melihat konsumen selalu mencari tumbler Quencher yang sesuai dengan berbagai aspek seperti ukuran tubuh, warna cat kuku, mobil, suasana hati, bahkan tema dapurnya. Stanley bertekad untuk memenuhi kebutuhan konsumen di mana pun mereka ingin menggunakan produk tersebut," ujar Presiden Stanley, Terence Reilly kepada CNBC pada Desember lalu.

Upaya mengurangi emisi

Stanley dan beberapa pesaingnya yang juga memproduksi botol dan gelas yang dapat digunakan kembali, seperti Hydro Flask, YETI, S’well, dan CamelBak, dianggap sebagai salah satu solusi terhadap penggunaan botol air sekali pakai. Data menunjukkan dunia telah memproduksi lebih dari 450 juta ton plastik setiap tahunnya, dan tidak satupun dari angka tersebut benar-benar hilang.

Hanya sekitar 1% dari sampah plastik yang didaur ulang, sedangkan paparan plastik telah dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan seperti kanker, cacat lahir, dan penyakit paru-paru. Sebuah penelitian menemukan rata-rata botol air berukuran 1 liter mengandung sekitar 240.000 nanoplastik yang cukup kecil untuk masuk ke dalam tubuh manusia.

Greg Keoleian, Direktur Pusat Sistem Berkelanjutan Universitas Michigan mengatakan menggerakkan masyarakat untuk beralih dari penggunaan air kemasan sekali pakai ke botol air yang dapat digunakan kembali akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi lingkungan.

"Tapi saya rasa tidak semua orang memiliki koleksi yang banyak," ujarnya.

Namun di sisi lain, proses produksi gelas logam yang dapat digunakan kembali memiliki jejak karbon tersendiri. Misalnya, produksi baja bertanggung jawab atas lebih dari 7% emisi gas rumah kaca secara global. Oleh karena itu, penting bagi wadah yang dapat digunakan kembali untuk dipakai berulang kali agar berdampak positif terhadap lingkungan. Selain itu, idealnya terbuat dari bahan daur ulang.

Sebuah laporan pada tahun 2010 yang disusun oleh Nestlé menemukan botol yang dapat digunakan kembali perlu digunakan setidaknya 10 hingga 20 kali, tergantung pada ukuran dan bahan, untuk mengimbangi komponen dan energi yang dibutuhkan saat proses pembuatannya.

Meskipun demikian, sebagai merek yang berbasis di Seattle di bawah naungan The HAVI Group, Stanley sadar akan peringatan tersebut. Meskipun tidak mampu menghilangkan sepenuhnya jejak karbon dari produknya, Stanley telah membuat langkah signifikan. Contohnya, produk Quencher diproduksi menggunakan 90% baja tahan karat daur ulang.

Tahun lalu, Stanley telah berkomitmen untuk setidaknya 50% dari produk-produknya bakal diproduksi menggunakan baja tahan karat daur ulang pada tahun 2025. Mereka berharap target ini dapat dicapai lebih awal.

Menurut laporan dampak terbaru dari Stanley pada tahun 2023, sekitar 23% dari produk-produknya saat ini dibuat menggunakan baja tahan karat daur ulang. Perusahaan ini juga sedang bekerja sama dengan pemasoknya untuk memperluas penggunaan bahan daur ulang lainnya dan mencari sumber energi terbarukan.

Namun, Stanley belum menawarkan program pembelian kembali atau daur ulang produk. Sementara kompetitornya, Hydro Flask telah meluncurkan program tukar tambah botol bekas serta memisahkan bahan-bahan untuk didaur ulang. Perusahaan lain, YETI menawarkan program daur ulang, meskipun terbatas pada gelas Rambler dan hanya tersedia di dalam toko. 

Sumber : Reuters

Berita Lainnya
×
tekid