sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Krisis Kampung Bayam, contoh buruk kelanjutan program di bawah rezim pj kepala daerah

Masalah terjadi kala proses serah terima unit belum berlangsung usai kepemimpinan Anies Baswedan dilanjutkan Pj. Gubernur Heru Budi Hartono.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 19 Jan 2024 20:54 WIB
Krisis Kampung Bayam, contoh buruk kelanjutan program di bawah rezim pj kepala daerah

"Pak, nasib kami gimana? Belum ada kepastian tempat tinggal," ucap Muhammad Furqon, warga Kampung Bayam, Jakarta Utara, yang tiba-tiba memeluk calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan, di lokasi acara "Desak Anies" di Jakarta, pada Kamis (18/1), sembari terisak-isak.

Anies lantas mencium dahi bapak paruh baya itu seraya berkata, "Ya, sudah, nanti kita beresin bersama. Bismillah, ya. Sabar dulu, ya. Beberapa bulan lagi."

Bukan tanpa asap Furqon berkeluh demikian. Sebab, kala menjabat Gubernur DKI Jakarta, Anies sempat menjanjikan tempat tinggal layak kepada warga Kampung Bayam, yang terdampak megaproyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).

Setidaknya ada 642 kepala keluarga (KK) yang terdampak pembangunan JIS. Mereka juga sempat menerima ganti rugi (resettlement action plan/RAP) dari PT Jakarta Propertindo (Perseroda) atau Jakpro.

Pada 12 Oktober 2022, Anies akhirnya menepati janjinya melalui peresmian rumah susun (rusun) Kampung Susun Bayam. Pembangunannya berlangsung sejak 5 Mei 2022.

Hunian vertikal tersebut berdiri di atas lahan seluas 17.354 m2 dan terdiri dari 3 menara, masing-masing setinggi 4 lantai, dengan total 138 unit. Setiap unit terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, ruang keluarga, balkon, dan ruang cuci pakaian.

"Tujuan kita jelas, misinya jelas, bahwa kita ingin membangun sambil memberikan kesempatan pada yang ada di situ untuk bisa ikut tumbuh," tutur Anies saat peresmian Kampung Susun Bayam, yang berada di dalam Kompleks JIS.

Sponsored

Anies memastikan warga Kampung Bayam dapat menempati rusun tersebut setelat-telatnya pada November 2022. Sialnya, masa jabatan Anies sebagai DKI-1 berakhir 4 hari setelah meresmikan Kampung Susun Bayam.

Masalah kian pelik

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Kepastian warga Kampung Bayam menempati rusun tersebut tidak juga terwujud hingga kini.

Kebijakan Penjabat (Pj.) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono, pun bertolak belakang dengan Anies. Misalnya, menerapkan biaya sewa bulanan hingga menyodorkan tempat relokasi lain di Rusun Muara Angke dan Nagrak, Jakarta Utara, yang berjarak sekitar 13-18 km dengan lokasi semula, mengingat Kampung Susun Bayam akan diubah fungsinya menjadi hunian pekerja pendukung operasional (HPPO).

"Sudah diberikan waktu, disampaikan, disuruh pilih mau [tinggal] di mana," kata Heru, 20 Desember 2023, menukil Antara. "Di [Rusun] Nagrak itu, kan, bagus: kamarnya dua, ruang tamu, dapur, terus air bersih ada, listrik ada."

Pernyataan tersebut dilontarkan Heru usai beberapa warga atas nama, Kelompok Tani Kampung Bayam Madani (KTKBM), yang dipimpin Fuqron, memaksa masuk Kampung Susun Bayam sejak November. Langkah itu terpaksa dilakukan lantaran belum ada kepastian dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI maupun Jakpro tentang kepastian tempat tinggal mereka.

"Alur birokrasi sudah dipenuhi, lantas mengapa warga tak kunjung kantongi kunci?" isi salah satu spanduk yang terbentang di area Kampung Susun Bayam. Spanduk lainnya berbunyi, "Stop intimidasi! Kami warga binaan, Kelompok Tani Kampung Bayam Madani. Jangan rampas ruang hidup kami."

Nahas, mereka lantas dipolisikan Pemprov DKI dan Jakpro, 7 Desember lalu, dengan dalih melakukan penyerobotan lahan secara legal. Bahkan, kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan.

Jakpro berkilah, pelaporan kepada polisi dilakukan karena Kampung Susun Bayam telah beralih fungsi menjadi HPPO sesuai hasil penataan kawasan olahraga terpadu. Perusahaan Pemprov DKI itu juga sudah memberikan ganti rugi sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2018.

"Yakni, seluruh masyarakat Kampung Bayam sejumlah 642 kepala keluarga (KK) ini sudah mendapatkan biaya kompensasi atas penggantian hunian mereka di Kampung Bayam, biaya permukiman kembali melalui program resettlement action plan, yang berlangsung cukup panjang tahapan prosesnya, yaitu dimulai pada akhir tahun 2019 hingga pertengahan tahun 2021," urai Jakpro dalam keterangannya, ditulis Jumat (19/1).

"Program RAP ini merupakan hasil musyawarah secara berkelanjutan dengan kelompok-kelompok warga eks Kampung Bayam. Program penataan ini merupakan langkah peremajaan wilayah Jakarta Utara untuk mendukung pertumbuhan kota yang sehat dan berkelanjutan," imbuhnya.

Sentralistis wewenang eksekutif

Terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Krisnadwipayana (FIA Unkris), Ade Reza Hariyadi, berpendapat, berpolemiknya kasus Kampung Bayan merupakan konsekuensi dari munculnya rezim penjabat (pj.) kepala daerah hanya difokuskan pada kedudukan eksekutif yang sentralistis. Namun, mengabaikan peran DPRD untuk pelaksanaan prinsip periksa dan timbang (check and balance).

Sekitar 170 daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi, dipimpin pj kepala daerah sejak buntut habisnya masa bakti kepala daerah definitif hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017-2018. Posisi tersebut diisi pejabat tinggi madya dan tinggi pratama, tergantung level daerahnya.

Merujuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 4 Tahun 2023, masa jabatan pj. kepala daerah selama setahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya. Mereka pun dievaluasi menteri dalam negeri (mendagri).

Selain itu, menyerahkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) per 3 bulan, yang terdiri dari pengendalian inflasi, penanganan kemiskinan ekstrem, penurunan stunting, peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN), serta realisasi APBD. Lalu, dilarang memutasi ASN, membatalkan dan/atau menerbitkan perizinan yang bertentangan dengan yang diteken pejabat sebelumnya, membuat kebijakan pemekaran daerah, dan menyusun kebijakan yang bertolak belakang dengan penyelenggaraan pemerintahan dan program sebelumnya kecuali sudah mendapat persetujuan tertulis dari mendagri.

"Kewenangan [pj. kepala daerah] hampir bersifat absolut, jadi publik tidak punya kewenangan kontribusi partisipatif yang efektif. Apalagi, sebagian besar anggota DPRD, yang seharusnya melakukan pengawasan, juga tidak bisa efektif karena sibuk kampanye untuk periode berikutnya," ujarnya kepada Alinea.id.

"Semestinya Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) menempatkan kesinambungan pembangunan daerah yang harus dijalankan pj. ketika ditunjuk menjadi kepala daerah sebagai salah satu instrumen evaluasi. Tidak hanya penganan inflasi, stunting, penciptaaan stabilitas sosial politik daerah, tapi kontinuitas program agar terjadi estafet antara kepala daerah yang habis masa jabatan dengan pj," sambungnya.

Reza melanjutkan, mestinya pj. kepala daerah meneruskan kebijakan-kebijakan strategis yang diwariskan pemerintahan era sebelumnya. Apalagi, jika kebijakan-kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan atas visi misi dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). 

Ia pun mengingatkan, kepala daerah definitif memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Sementara itu, pj. kepala daerah diusulkan segelintir elite, seperti gubernur, DPRD, dan mendagri.

"Kalau tanpa beban melanjutkan program kepala daerah sebelumnya, maka banyak pj. yang seolah-olah punya legitimasi yang sama kuat dengan kepala daerah yang berkuasa melalui pilkada. Padahal, dia tidak sama legitimasi politiknya," tegas Direktur Eksekutif Demos Institute itu. "Dan ini memang dalam sejumlah hal, [program kepala daerah pendahulu] tidak terealisasi efektif di lapangan terkait peran pj."

Menurutnya, perlu kemauan politik (political will) yang kuat dalam melaksanakan kesinambungan program sehingga pembangunan daerah dapat berlanjut. Namun, faktanya justru terlalu sentralistisnya peran eksekutif, khususnya pemerintah pusat, termasuk dalam penunjukkan pj. kepala daerah.

Hal ini, sambungnya, pada akhirnya memicu kecurigaan karena dapat dimanfaatkan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. "[Kuatnya peran pusat dalam menentuan pj. kepala daerah] memunculkan kecurigaan dilakukan secara sengaja dalam rngka mengendalikan birokrasi dan kontrol politik agar birokrasi ditempatkan bekerja untuk kepentingan politik tertentu," jelasnya. Imbasnya, bertentangan dengan semangat otonomi daerah (otda) selain mencederai prinsip pemilu.

Berita Lainnya
×
tekid