Ribuan pengunjuk rasa berbaris di Paris pada Minggu (27/1) untuk mengecam kekerasan gerakan rompi kuning yang telah mengguncang Prancis selama berminggu-minggu dengan protes penuh amarah terhadap pemerintah Presiden Emmanuel Macron.
Sekitar 10.000 orang bergabung dalam demonstrasi tandingan itu.
Para demonstran berbaris dengan memegang slogan-slogan berbunyi "hentikan kekerasan" dan "jangan ganggu Republik saya". Beberapa dari mereka, meniru ciri khas rompi kuning, mendeklarasikan diri sebagai foulards rouges atau syal merah.
Unjuk rasa itu digelar satu hari setelah 11 pekan berturut-turut demonstran rompi kuning beraksi di seluruh Prancis. Protes mereka kerap diwarnai bentrokan dengan polisi.
Demonstrasi syal merah pada Minggu sore di timur Paris berlangsung damai dan berakhir di Place de la Bastille.
Adapun unjuk rasa rompi kuning di ibu kota pada Sabtu (26/1) juga berakhir di Bastille, di mana kelompok-kelompok kecil bentrok dengan polisi dan seorang demonstran menderita cedera pada matanya. Cedera itu memicu perdebatan tentang pihak berwenang yang dinilai menggunakan kekuatan berlebihan.
Para pemrotes rompi kuning, yang mengenakan rompi neon yang wajib dimiliki oleh pengendara Prancis, turun ke jalan sejak November 2018 untuk menentang kenaikan pajak BBM. Gerakan mereka kemudian berkembang menjadi pemberontakan yang lebih luas terhadap pemerintah.
Sekitar 69.000 orang tergabung dalam unjuk rasa pada Sabtu, termasuk 4.000 di Paris. Menurut Kementerian Dalam Negeri Prancis, angka tersebut lebih rendah dari jumlah demonstran pada akhir pekan sebelumnya.
Tetapi cedera mata yang diderita oleh aktivis terkemuka, Jerome Rodrigues, menarik lebih banyak sorotan media pada Minggu ketimbang pawai syal merah. Cedera yang diderita Rodrigues meningkatkan perdebatan tentang penggunaan granat dispersi dan senjata flash ball pellet oleh polisi.
Untuk membantu meredakan protes, bulan ini Macron meluncurkan serangkaian debat publik yang dia janjikan akan menghasilkan perubahan. (The New York Times)