sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kaisar Jepang Akihito resmi turun takhta

Sebagai penutup pidatonya, Akihito mendoakan kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Jepang dan di dunia.

Valerie Dante
Valerie Dante Selasa, 30 Apr 2019 18:24 WIB
Kaisar Jepang Akihito resmi turun takhta

Pada hari terakhir dari 30 tahun masa pemerintahannya, Kaisar Akihito menyampaikan rasa terima kasihnya kepada rakyat Jepang.

"Hari ini saya menuntaskan tugas saya sebagai kaisar," katanya pada upacara pengunduran dirinya yang disiarkan di televisi nasional pada Selasa (30/4).

Dalam pidatonya, Akihito menyatakan bahwa sejak naik takhta pada Januari 1989, dia telah menjalankan tugasnya sebagai kaisar dengan rasa percaya dan hormat terhadap rakyatnya.

"Saya sangat beruntung dapat melakukan pekerjaan ini. Dengan tulus saya berterima kasih kepada orang-orang yang menerima dan mendukung saya dalam peran saya sebagai simbol negara," ujar dia.

Sebagai penutup pidatonya, Akihito mendoakan kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Jepang dan dunia.

Sebelum Akihito berpidato, Perdana Menteri Shinzo Abe lebih dulu mengumumkan pengunduran diri sang kaisar. Abe memuji Akihito yang selalu berbagi suka dan duka dengan masyarakat dan memberikan harapan di masa-masa sulit saat Jepang dilanda bencana alam.

"Dengan mengingat langkah-langkah yang diambil oleh Yang Mulia, kami akan berusaha lebih keras untuk melakukan yang terbaik untuk mengukir masa depan Jepang yang cerah, penuh kedamaian, dan berharap bahwa kami dapat dibanggakan," tutur Abe.

Pengunduran diri seorang Kaisar Jepang ini merupakan yang pertama terjadi sejak 1817.

Sponsored

Ketika waktu menunjukkan tengah malam, Jepang akan secara resmi memasuki era baru yang disebut Reiwa, membuka bab baru di bawah pemerintahan penerus Akihito.

Proses untuk turun takhta dimulai pada 2016 ketika Kaisar Akihito tampil lewat pesan video yang disiarkan secara nasional, mengisyaratkan keinginannya untuk mundur lebih awal.

Dia menyatakan kekhawatiran terkait usianya yang sudah tua yang mengganggu kemampuannya untuk memenuhi peran sebagai Kaisar Jepang.

Upacara pada Selasa berlangsung di ruangan paling bergengsi di Istana Kekaisaran, yang dikenal sebagai Pine Chamber. Upacara itu melibatkan dua dari tiga lambang keramat keluarga kekaisaran Jepang, pedang dan permata.

Ritual berdurasi 10 menit itu dihadiri oleh sekitar 300 tamu, termasuk anggota keluarga kekaisaran, kepala legislatif, pejabat pemerintah, serta perwakilan dari kota setempat.

Dalam upacara yang akan digelar pada Rabu (1/5) pagi waktu setempat, kaisar baru, Putra Mahkota Naruhito, akan mewarisi tanda-tanda kebesaran sebagai bukti kenaikannya.

Upacara tersebut terlarang bagi anggota keluarga kerajaan perempuan dan hanya boleh dihadiri oleh laki-laki.

Akan tetapi, pemerintah telah memutuskan untuk mengizinkan anggota kabinet menghadiri upacara sebagai pengamat tanpa memandang jenis kelamin.

Langkah itu membuka jalan bagi satu-satunya menteri perempuan, Satsuki Katayama, untuk menyaksikan momen bersejarah tersebut. 

Cerita cinta sang calon kaisar dan permaisuri

Dengan takhta yang akan segera didudukinya, Naruhito tentu memiliki banyak pikiran dalam benaknya. Namun, calon kaisar itu terus menjadikan kesehatan istrinya, Putri Masako, sebagai prioritas.

"Saya berharap bisa membantu Masako dan terus mendukungnya sejauh yang saya bisa," kata Naruhito kepada wartawan pada 21 Februari, dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-59. "Saya ingin warga Jepang bersama-sama mengawasi pemulihan kesehatannya."

Lebih dari seperempat abad yang lalu, pada 3 Oktober 1992, Naruhito melamar Masako di Cagar Bebek Kekaisaran Shinhama di Ichikawa, Prefektur Chiwa.

Pada 12 Desember 1992, Masako menerima lamaran Naruhito. Keduanya kemudian menikah pada Juni 1993.

Pasangan itu pertama kali bertemu di pesta teh yang diadakan untuk Putri Spanyol Elena di Istana Togu pada 1986. Setelah itu, teman-teman Naruhito dan Masako beberapa kali mempertemukan mereka kembali.

Namun, pada awalnya nama Masako dicoret dari daftar calon putri. Pasalnya, kakeknya dulu menjabat sebagai presiden Chisso Corp, dan hal itu dianggap bermasalah oleh keluarga kerajaan.

Limbah dari salah satu pabrik Chisso menyebabkan penyakit Minamata, salah satu insiden polusi pascaperang terburuk pada 1950-an.

Pabrik tersebut membuang limbah merkuri beracun ke Teluk Minamata di Prefektur Kumamoto, akibatnya warga sekitar yang mengonsumi makanan laut dari teluk itu terkena racun.

Meski begitu, Naruhito tidak menyerah dan dengan gigih berusaha meyakinkan orang-orang di sekitarnya untuk menerima Masako.

Ketertarikan Naruhito kepada Masako diduga bermula dari pengalamannya menempuh studi di Oxford University pada 1983 hingga 1985.

Selama belajar di Oxford, sang putra mahkota kerap menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan di kota atau minum bir di sebuah pub. Hal itu diungkapkan Kepala Lembaga Penelitian untuk Penyakit Mikroba di Osaka University Yashiharu Matsuura, yang belajar di Oxford di waktu yang sama dengan Naruhito.

Naruhito disebut terkesan dengan mahasiswi yang mampu berdebat dengan mahasiswa.

Pada saat itu, ketika ditanya oleh wartawan tentang tipe putri idealnya, Naruhito menjawab, "Seseorang yang memiliki pendapat pasti tentang dirinya sendiri."

"Dulu Naruhito mengatakan bahwa keluarga kekaisaran membutuhkan perspektif global," tutur salah seorang teman Naruhito. "Melalui studi di luar negeri, sepertinya Naruhito memutuskan bahwa seseorang yang bisa mengungkapkan pendapatnya sendiri cocok untuk menjadi pendampingnya."

Meskipun memenuhi kriteria ideal Naruhito, Masako menghadapi banyak kesulitan setelah pernikahannya. Orang-orang di sekitarnya menekannya untuk melahirkan anak laki-laki yang bisa menjadi penerus takhta.

Di lain sisi, Masako ingin menggunakan pengalamannya sebagai diplomat dalam kunjungan ke luar negeri, tetapi keluarga kekaisaran membatasi kunjungan-kunjungan seperti itu.

Menurut beberapa sumber, di bawah tekanan terus-menerus untuk melahirkan anak laki-laki, Masako merasa keberadaannya tidak diterima oleh keluarga kekaisaran.

Perempuan peraih Bachelor of Arts di bidang ekonomi yang lulus dengan gelar magna cum laude dari Harvard University itu pernah dirawat lebih dari satu dekade karena stres.

Semua bermulai pada 2003 ketika Masako mengalami gangguan penyesuaian dan mulai beristirahat lama di kediamannya. Selain kesulitan beradaptasi dengan tradisi kekaisaran Jepang yang dikenal masih kaku, salah satu penyebabnya adalah depresi pascamelahirkan.

Cukup lama mendapat tekanan dari berbagai pihak untuk melahirkan anak laki-laki, pada 2001 Masako dan Naruhito dikaruniai anak perempuan yang mereka beri nama Aiko.

Mereka yang menderita gangguan penyesuaian terkadang tidak mampu kembali ke tempat di mana mereka memiliki pengalaman pahit. Mungkin hal itu pula yang terjadi pada Masako. Dia tidak menghadiri acara-acara kekaisaran dan menjauh dari tugasnya sebagai anggota keluarga kekaisaran.

Dokter menyarankannya untuk melakukan sesuatu untuk mengubah suasana hatinya. Namun, ketika dia berjalan-jalan di sekitar pusat kota atau bermain ski bersama keluarganya, dia dikritik karena dianggap hanya bermain alih-alih melakukan pekerjaannya.

Naruhito menyembunyikan koran dan majalah dari hadapan istrinya untuk mencegahnya melihat kritik semacam itu.

Pada Mei 2004, Naruhito memicu kontroversi ketika dia membela kondisi dan perilaku istrinya. Pernyataannya dibuat atas keinginan untuk membuat masyarakat Jepang sadar akan latar belakang penyakit Masako.

Namun, pernyataan tersebut mengundang kecaman dari beberapa pihak karena dinilai sedikit provokatif.

Lima belas tahun telah berlalu sejak itu. Kini kondisi Masako membaik dan dia mulai melakukan sejumlah tugas sebagai anggota keluarga kekaisaran.

Pada November 2018, Masako menghadiri pesta kebun yang berlangsung setiap dua tahun sekali. Dalam gelaran tersebut, anggota keluarga kekaisaran menyambut sekitar 1.800 tamu, termasuk tokoh politik dan tokoh budaya di berbagai bidang.

Itu adalah kehadiran pertama Masako di acara tersebut sejak 2003, tepat sebelum dia memulai masa pemulihannya.

Selama pesta kebun itu, Masako begitu sibuk berbincang dengan sejumlah tamu sehingga Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko sudah berjalan jauh di depannya.

Namun, Naruhito yang mendampingi Masako tidak memburu-buru langkah istrinya. Sebaliknya, dengan hangat dia mengawasi istrinya.

Harapan bagi era Reiwa

Ketika Naruhito resmi menjadi kaisar pada 1 Mei, dia akan mengambil peran yang telah dipersiapkan sejak hari lahirnya 59 tahun lalu. 

Seperti ayahnya, kakeknya, dan kaisar-kaisar Jepang sebelumnya, Naruhito akan membawa harapan dan ekspektasi bangsa di pundaknya.

Calon kaisar itu akan sangat sadar bahwa Jepang dan dunia sudah sangat berbeda dari ketika ayahnya naik takhta pada 1989.

"Kaisar Akihito telah menerima dukungan besar dari warga Jepang pada era Heisei," kata Hideya Kawanishi, profesor dengan spesialisasi sistem kekaisaran Jepang di Nagoya University. "Kaisar baru juga diharapkan untuk mendengarkan pendapat masyarakat dan dia memiliki karakter yang serius, berarti dia akan bekerja keras untuk memenuhi harapan rakyatnya."

Akihito dikenal memiliki perhatiannya yang besar pada rakyatnya. Dia dan sang permaisuri berkali-kali mengunjungi wilayah Jepang yang dilanda bencana alam, termasuk daerah timur laut Jepang setelah gempa bumi dan tsunami pada Maret 2011.

Foto Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko yang berlutut di pusat-pusat evakuasi dan berbicara kepada sejumlah korban yang terdampak selamanya akan terukir pada memori bangsa.

"Tapi suasana ketika memasuki era Reiwa telah berubah, jadi saya percaya kaisar baru juga harus menyesuaikan diri," kata Kawanishi, penulis sejumlah buku tentang keluarga kekaisaran.

Jun Okumura, analis politik di Meiji Institute for Global Affairs, mengatakan Naruhito akan mempertahankan unsur-unsur pemerintahan yang membuat ayahnya dikagumi publik.

"Saya berharap Naruhito akan memiliki ketekunan dan kebajikan yang ditunjukkan oleh Kaisar Akihito," kata Jun.

Jun berpendapat bahwa Perdana Menteri Shinzo Abe pun akan sangat menghormati Naruhito.

"PM Abe memiliki rasa hormat yang tulus terhadap Rumah Tangga Kekaisaran, dan saya tidak melihat apa pun di kaisar baru yang akan menimbulkan perubahan dari hubungan Abe dengan keluarga kekaisaran," tambahnya.

Berbeda dengan Jun, menurut Kawanishi, PM Abe bisa mencoba memanfaatkan Naruhito.

"Di bawah konstitusi baru yang telah diusulkan oleh Partai Demokrat Liberal, sistem kekaisaran akan diperkuat," katanya.

Kawanishi merujuk pada peningkatan fungsi anggota keluarga kekaisaran sehingga dapat memberi suara dalam persoalan politik.

"Kaisar Akihito tidak mendukung hal itu dan meski saya percaya kaisar baru akan terlihat ramah terhadap PM, saya merasa dia juga menentang rencana Abe untuk memperkuat sistem kekaisaran," ujarnya.

Latar belakang internasional Naruhito juga cenderung memberi pengaruh pada tindakan dan pemikirannya. Usai menempuh studi di Oxford, Naruhito menulis buku "The Thames And I - A Memoir of Two Years at Oxford".

Buku itu berisi kisahnya yang menjelajahi sekitar 21 pub bersejarah di Inggris, pengalamannya sebagai anggota klub drama dan klub tenis, ceritanya menjajaki tiga puncak tertinggi di Inggris, serta pengalamannya sebagai ketua klub karate dan klub judo di universitas.

Terlepas dari semua kegiatan ekstrakurikuler dan kesibukannya, dia berhasil menyelesaikan tesisnya yang berjudul "A Study of Navigation and Traffic on the Upper Thames in the 18th Century".

Selama berada di Inggris, Naruhito menghabiskan waktu bersama keluarga kerajaan Inggris dan mengungkapkan ketakjubannya betapa budaya mereka lebih santai dibandingkan dengan pengalamannya sendiri hidup di istana. 

Dalam buku "Putri Masako: Tahanan Takhta Krisan" yang terbit pada 2006, sang penulis, Ben Hills mendeskripsikan kekaguman Naruhito terhadap keluarga kerajaan Inggris.

"Dia sangat terkejut ketika Ratu Elizabeth menuangkan tehnya sendiri dan bahkan menyajikan sandwich bagi tamunya," tulis Hills.

Putra mahkota juga bermain ski bersama Pangeran Lichtenstein Hans-Adam II, pergi berlibur ke Mallorca bersama raja Spanyol saat itu Juan Carlos I, berlayar bersama Raja Harald V dan Ratu Sonja dari Norwegia, serta menghabiskan waktu dengan Beatrix, yang adalah ratu Belanda pada saat itu.

"Waktu yang dihabiskan putra mahkota belajar di Inggris berpengaruh besar kepada cara berpikirnya," kata Kawanishi. "Dia percaya bahwa keluarga kerajaan perlu membangun relasi dengan publik, seperti halnya keluarga kerajaan Inggris. Dia juga percaya harus aktif mengambil bagian dalam pekerjaan amal, serta dia juga berpikir bahwa keluarga kekaisaran Jepang harus menjadi lebih internasional."

Di bawah kepemimpinan Naruhito, Kawanishi berharap Jepang dapat mempererat hubungan dengan keluarga kerajaan Eropa, khususnya dengan keluarga kerajaan Belanda.

Meski para analis percaya bahwa Kaisar Akihito siap membuka telinga jika Naruhito datang mencari nasihat, banyak yang berpendapat bahwa kaisar yang pensiun itu akan membiarkan putranya menempa jalannya sendiri di tahun-tahun mendatang.

"Setelah turun takhta, peran publik Akihito akan sangat terbatas. Menurut saya, Akihito tidak akan ikut campur persoalan yang dihadapi putranya," kata Jun. (South China Morning Post, Asahi, dan Japan Times)

Berita Lainnya
×
tekid