sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Seberapa dekat Palestina menuju kemerdekaan sejati? 

Pertemuan faksi Hamas dan Fatah dianggap punya makna penting bagi situasi politik di Timur Tengah.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 30 Apr 2024 19:07 WIB
Seberapa dekat Palestina menuju kemerdekaan sejati? 

Di tengah panasnya tensi di Timur Tengah setelah perang di Gaza dan saling serang antara Iran dan Israel, perwakilan Hamas dan Fatah menggelar pertemuan tertutup di China. Kedua faksi politik terbesar di Palestina itu dilaporkan sedang berunding untuk merumuskan pemerintahan baru Palestina. 

Seiring itu, Israel telah mengirimkan proposal gencatan senjata kepada Hamas. Dengan syarat semua tawanan perang dibebaskan, Israel bersedia memberikan waktu 40 hari untuk Hamas merampungkan perundingan dengan Fatah. 

Setelah masa gencatan senjata usai, Gaza bisa kembali membara. Namun, tak tertutup kemungkinan perang di Gaza mereda dan Hamas berdamai dengan Israel. 

Sebelumnya, Hamas Khalil al-Hayya, anggota biro politik Hamas, menyatakan Hamas siap membentuk pemerintahan persatuan Palestina. Hamas juga siap berkompromi dengan Israel dan meletakkan senjata asalkan Israel mau menerima eksistensi Palestina merdeka dengan wilayah sesuai dengan peta pascaperang 1967.

Menurut al-Hayya, Hamas bakal bertransformasi jadi partai politik jika mimpi Palestina merdeka terwujud. Dalam hal ini, Hamas mengikuti langkah sejumlah organisasi paramiliter dan kelompok pejuang di berbagai negara yang bertransformasi menjadi parpol setelah tujuan politiknya tercapai. Salah satunya ialah Hizbullah di Lebanon. 

"Orang-orang yang telah berjuang melawan penjajah, ketika mereka merdeka dan mendapatkan hak mereka serta negara mereka, apa yang dilakukan kelompok ini? Mereka berubah menjadi partai politik dan pejuang mereka bertransformasi jadi tentara nasional," kata al-Hayya dalam sebuah wawancara dengan Associated Press di Istanbul, Turki, belum lama ini. 

Dalam pertemuan di China, delegasi Hamas dipimpin Moussa Abu Marzouk. Marzouk ialah tangan kanan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas. Adapun faksi Fatah dipimpin Azzam al-Ahmed. Pemerintah Tiongkok tak mau mengungkap lokasi dan waktu pasti pertemuan kedua organisasi tersebut. 

Hingga kini, setidaknya 34 ribu orang tewas akibat perang di Jalur Gaza. Sebanyak 70% ialah wanita dan anak-anak. Setelah penemuan sejumlah kuburan massal di berbagai area, Israel dituduh menggelar genosida terhadap warga Palestina di Gaza. 

Sponsored

Di berbagai negara, protes terhadap kekejian Israel selama perang di Gaza pecah. Seiring itu, dukungan bagi kemerdekaan Palestina juga meluas. Teranyar, Spanyol dan Norwegia bersiap mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Hingga Oktober 2023, dari 193 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baru 138 negara yang mengakui kedaulatan Palestina. 

Guru besar kajian dunia Arab dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Ibnu Burdah berpendapat pertemuan antara faksi Hamas dan Fatah punya makna penting bagi situasi politik di Timur Tengah. Menurut dia, kompromi kedua faksi terkait format pemerintahan Palestina bakal memperbesar peluang kemerdekaan Palestina. 

"Memang tanpa persatuan minimal dua faksi itu, perjuangan untuk Palestina merdeka tak akan pernah efektif. Ini sebenarnya hambatan tersulit. Dukungan internasional sudah makin luas, tetapi tanpa persatuan sangat sulit," kata Burdah kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (29/4).

Hingga kini, Palestina masih terpecah. Faksi Fatah dan Palestina Liberation Organization (PLO) menguasai sejumlah wilayah di Palestina. Faksi Hamas ditetapkan sebagai penguasa jalur Gaza yang dihuni lebih dari 3 juta jiwa. Kedua faksi sering cekcok dan bahkan sempat terlibat perang sipil. 

Situasi domestik di Israel, lanjut Burdah, juga menentukan peluang Palestina untuk merdeka penuh. Tanpa negosiasi dengan Israel, sulit bagi Palestina membangun wilayahnya sebagai negara berdaulat, dengan batas teritorial yang jelas dan eksistensi tentara nasional. 

"Lewat institusi PBB sulit terealisasi. Meski terealisasi (merdeka) dan jadi anggota penuh PBB, tidak akan dipatuhi Israel jika tanpa negosiasi. Negosiasi atau perundingan yang berani dan disertai persatuan Palestina kuncinya," ujar Burdah.

Palestina saat ini berstatus sebagai negara pengamat di PBB. Rekomendasi untuk menjadikan Palestina sebagai anggota tetap PBB harus lewat keputusan Dewan Keamanan PBB. Persoalnya, Amerika Serikat sebagai sekutu Israel kemungkinan bakal mengganjal upaya menjadikan Palestina sebagai anggota PBB. 

Pendapat sedikit berbeda diungkap peneliti hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto. Menurut Nanto, masih ada banyak tahapan yang harus dilalui sebelum mimpi memerdekakan Palestina bisa terwujud. 

"Beberapa dinamika itu dari pertemuan Fatah dan Hamas, juga protes mahasiswa, dan seruan Palestina merdeka itu untuk menghentikan agresi (Israel). Situasinya belum pada taraf membuka peluang Palestina merdeka," kata Nanto kepada Alinea.id, Senin (29/4).

Menurut Nanto, langkah politik mewujudkan Palestina merdeka baru bisa dilakukan setelah Palestina resmi menjadi anggota PBB. PBB bisa aktif turun tangan menangani konflik antara Israel dan Palestina jika keduanya sama-sama berstatus sebagai anggota.

"Kalau tidak (jadi anggota PBB), masih sulit. Negara-negara lain juga harus mendukung atau membuat PBB bersikap atas tujuan Palestina merdeka," jelas Nanto.
 

Berita Lainnya
×
tekid