sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sejarah panjang sentimen rasial dan imigrasi AS

Sejak kapan muncul sentimen rasial dan pengelompokan diktum ‘imigran ilegal’, di negeri yang dijejali kaum imigran berabad-abad lalu?

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 22 Jun 2018 19:12 WIB
Sejarah panjang  sentimen rasial dan imigrasi AS

Fotografer spesialis daerah konflik John Moore berhasil mengabadikan foto gadis dua tahun dari Honduras, yang terisak memohon pada agen patroli perbatasan, agar ibunya dikembalikan. Dikutip BBC, peraih Pulitzer Prize ini mengaku, foto gadis berbaju merah muda itu menangkap momen paling sentimental sekaligus menyayat, yang terjadi di perbatasan AS-Meksiko, Rio Grande Valley.

Gadis cilik itu hanya satu dari 2.000 anak yang dipisahkan dari orang tua mereka, akibat kebijakan kontroversial Trump ‘zero tolerance’. Kebijakan ini membuat orang tua dikirim ke penjara federal karena dianggap sebagai imigran ilegal, sedang anak mereka ditempatkan di pusat karantina khusus. Sebelum mengirim orang tua ke penjara, sementara ini baik orang dewasa maupun anak dipisahkan dalam ruangan bersekat di eks rumah sakit di Texas. Di dalamnya, juga dilengkapi ruang kecil berisi bayi dan balita. Anggota Partai Demokrat di New Mexico Ben Ray Lujan, mengatakan satu ruangan sanggup memuat sekitar 20 anak.

Di sisi lain, melalui cuitannya di Twitter, Trump menuding Partai Demokrat sebagai biang keladi mengapa Paman Sam dikerumuni para imigran. Ia bahkan menganalogikan kaum pendatang itu sebagai kelompok MS-13, gangster kriminal yang populer pada 1980-an, beranggotakan imigran dari Honduras, Guatemala, dan Nikaragua. Geng ini kemudian diberantas penegak hukum AS, lantaran dianggap berbahaya.

“Ada sekitar 10 ribu anak dari total 12 ribu anak yang dikirim orang tuanya melakukan perjalanan berbahaya. Hanya 2.000 anak yang datang ke AS bersama orang tua. Banyak diantara mereka yang telah mencoba masuk ke negara kita secara ilegal sebelumnya,” tulis Trump di media sosialnya.

Oleh karena itu, ia menganggap kebijakannya sebagai konsekuensi logis dari gelombang imigran yang terus terjadi. Kendati gelombang protes terus mengudara, termasuk dari istrinya Melania Trump, ia tak bergeming. Bahkan, itu tetap jalan terus, meski publik beramai-ramai mengirim surat terbuka pada Jaksa Agung Jeff Session dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kirstjen Nielsen, ihwal pemisahan anak dan orang tua, yang dinilai tak manusiawi ini.

Kebijakan ini sendiri digulirkan Trump, menyusul pilihan politisnya menjadikan Amerika sebagai negara yang berdikari, kuat, dan kondusif tanpa dijejali kaum imigran. Dalam pertemuan bipartisan Kongres, Kamis (11/1) lalu, ia terang-terangan menyinggung kehadiran para imigran Haiti, El Savador, dan negara-negara Afrika di Amerika sebagai kaum ‘lubang anus’ (shithole). Ia hanya menginginkan AS dihuni negara yang membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Akar sentimen rasial AS

Pilihan kontroversial Trump ini menemui akarnya, dari pandangan rasis yang sudah ada sejak gelombang eksodus pendatang Eropa. Pada abad 15, warga Eropa yang menghadapi kesulitan di negara masing-masing, mencari tanah impian yang menjanjikan harapan baru berupa persamaan dan kebebasan.

Sponsored

Adalah warga kulit putih Inggris, Perancis, dan Spanyol yang pertama bermigrasi dan mengklaim diri sebagai ras unggul. Sebaliknya, mereka menyebut warga pribumi Amerika, Indian, sebagai kaum liar. Oleh karenanya pendudukan atas lahan baru dimulai, hingga Indian yang jumlahnya tak seberapa terus termarjinalisasi. Ini disimbolisasikan dengan perayaan ‘Thanksgiving’ belakangan hari.

Protes anak-anak imigran atas kebijakan Trump./ AFP

Splinternews, dalam kanal sejarahnya, mengunggah video yang bercerita soal sejarah panjang imigrasi dan munculnya sentimen rasial Trump saat ini. Menurut mereka, sejarah ini dimulai sejak AS disesaki warga pendatang dari Eropa. Saat itu tak ada istilah imigran ilegal, karena memang belum ada hukum yang mengatur soal ini. Begitu warga Eropa berduyun-duyun datang membawa budak kulit hitam dari Afrika, lambat laun tercipta pemisahan. Orang Afrika sendiri bermukim ke AS lantaran tak punya pilihan—mereka dibawa sebagai budak dari penjajah Eropa dan harus bekerja kasar di tanah impian.

Saat pemerintahan mulai terbentuk, aturan naturalisasi diteken Presiden George Washington pada 1790, yang menyebut warga AS adalah mereka yang berkulit putih. Namun, begitu gelombang kaum protestan Anglo Saxon—yang mengklaim pertama datang ke AS—menguat, kelompok kulit putih dari Italia dan Irlandia pun turut didiskriminasi karena mereka beragama Katolik.

Awal abad 19, imigran China mulai berdatangan ke AS. Saat negara itu dihantam kelesuhan ekonomi, mereka kemudian dengan mudah dijadikan sasaran empuk ekses krisis tersebut. Kemudian, Kongres AS mengetok palu soal pembatasan warga China pada 1882. Saat itulah, pertama kali muncul siapa yang disebut warga Amerika, dan siapa yang tergolong imigran sehingga dilarang masuk AS.

Peraturan terus dikodifikasi seiring berjalannya waktu. Fenomena eugenik yang melahirkan hierarki rasial dengan pendatang Eropa Utara di puncak urutan, mempengaruhi peraturan imigrasi yang digulirkan pada 1924. Seperti biasa, warga China menjadi liyan dalam hierarki ini.

Kemudian, pada 1965 keadaan berbalik, Asia boleh masuk sebagai imigran, terutama kalangan profesional. Sementara orang Meksiko yang sehari-hari pulang pergi AS, menjadi ilegal begitu saja. Mereka yang umumnya berasal dari latar ekonomi pas-pasan, distigmatisasi sebagai kaum yang gemar berbuat onar, biang keladi kejahatan, dan sebutan miring lainnya.

Meski perang saudara di Amerika antara masyarakat di bagian utara dan selatan terjadi, hingga menyebabkan jutaan budak terbebaskan, namun rasisme sama sekali tidak pernah hilang dari masyarakat Amerika. Warga kulit hitam, khususnya, tetap tidak bisa mendapatkan hak-hak dasarnya, hak kepemilikan mereka bahkan dibatasi dan dilarang menempati pos-pos penting di pemerintahan. Meski ada UU Hak Sipil 1964 yang mengharamkan diskriminasi rasial, sentimen rasial tetap ada. Mereka hidup subur sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan di sejumlah tempat.

Begitu negara dipimpin politisi Demokrat seperti Barack Obama, sentimen rasial itu pelan-pelan dibendung, namun tidak menghapus seluruhnya. Sebab, Obama tak menjadikan ‘penertiban imigran’ atau persoalan rasisme sebagai isu yang harus dikapitalisasi. Ia sendiri toh merupakan presiden kulit hitam pertama di sana.

Era Donald Trump

Kondisi sosial politik di AS cepat berubah, usai lengsernya Barack Obama sebagai AS-1. Dalam kampanye pilpres, Trump yang maju kala itu, dipandang sebagai angin segar warga yang bermimpi Amerika jadi negara adidaya kembali, dengan kekuatan ekonomi dan militer tiada tandingan. Hillary yang masih kikuk dengan politik identitas sebagai calon presiden perempuan, pembawa agenda persamaan gender, akhirnya terpaksa bertekuk lutut pada (kemenangan) Trump.

Presiden AS Donald Trump./Antarafoto

Meski dalam kampanyenya, Trump mencitrakan diri sebagai sosok populis yang menjanjikan keterbukaan, lapangan kerja, dan kesejahteraan ekonomi, namun sebagian besar masyarakat jelas melihat ini sebagai ‘jualan’ semata. Dilansir BBC, fenomena rasisme dan supremasi ras cenderung meningkat sejak Trump naik tahta. Semangat baru muncul, ditandai sejumlah peristiwa berdarah, seperti di kota Charlottesville, Virginia. Bentrokan terjadi antara kubu pro dan kontra supremasi kulit putih, mengingatkan kita pada konflik rasial di Amerika pada pertengahan abad lalu.

Dalam bentrokan tersebut, kubu sayap kanan ekstrem merupakan kelompok Neo-Nazi, supremasi kulit putih, nasionalis ektrstrem, dan pendukung garis keras Donald Trump. Mereka menyerukan slogan dukungan dan keunggulan ras di Amerika, ras kulit putih, dan anti-imigran. Media melaporkan, seorang rasis bahkan sengaja menabrakkan mobilnya ke arah kerumunan massa anti-rasis, hingga menewaskan seorang perempuan dan melukai 19 lainnya.

Kemarahan terhadap Trump belakangan kian meningkat, terutama setelah publik menyadari sebagian besar kubu rasis adalah pendukung sosok kontroversial itu. Namun Trump menutup mata, ia hanya mengecam banyak pihak, tapi tak berupaya melarang tindakan tersebut.

Ia panen protes dari para senator, bahkan dikecam oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Orrin Hatch, senator Republik menyebut Trump kerap membuat penjelasan rasis yang menuntut penjelasan apa motif di belakangnya. Luis Gutierrez, anggota Kongres dari Demokrat menyebut Trump adalah seratus persen sosok rasis dan tidak menerima nilai-nilai yang dijamin konstitusi.

Sementara, juru bicara Uni Afrika Ebba Kalondo mengatakan, Trump tercerabut dari sejarah panjang imigrasi di AS, di mana sebagian warga kulit hitam Afrika datang dan dijamin hak-haknya di kemudian hari. Ras Mubarak, salah satu anggota Parlemen Ghana bahkan mendesak negara-negara ketiga untuk memboikot Amerika selama Donald Trump belum dicopot dari jabatannya. Ia menyebut, negara-negara dunia harus mengirim pesan tegas pada orang nomor satu Amerika itu, agar kebijakan fanatik, adu domba, dan kebijakan ‘gila’ anti-imigran dihapuskan.

Melihat gelombang protes yang kian menderas, apakah Trump tetap diam? Kita tunggu saja. Trump setidaknya perlu membuktikan, ia bukan pribadi berstandar ganda yang di satu sisi mengutuk negara lain sebagai pelanggar HAM, namun di sisi lain justru mengurung anak-anak di sangkar dan memisahkan mereka dari orang tuanya.

Berita Lainnya
×
tekid