Kenapa warganet AS meyakini Trump telah mati?
Setelah diisukan meninggal dunia, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya kembali ngoceh di akun Social Truth miliknya @realDonaldTrump, Senin (1/9). Trump membantah rumor yang viral di X dan TikTok yang menyebut ia meninggal karena kondisi kesehatannya yang memburuk.
"Tidak pernah merasa sebaik ini sebelumnya. Selain itu, (Washington) DC adalah kawasan bebas kriminalitas," ujar Trump merujuk pada kebijakan menerjunkan pasukan Garda Nasional menggantikan kepolisian di ibu kota AS tersebut.
Baru-baru ini, frasa “Trump is Dead” (Trump sudah mati) mulai menjadi tren di platform media sosial X. Akhir pekan lalu, lebih dari 158.000 unggahan telah menggunakan frasa tersebut, sementara 42.000 lainnya menggunakan kata-kata “TRUMP DIED” (TRUMP MENINGGAL).
Tren serupa juga muncul di TikTok, dengan salah satu video secara cepat meraih 3,5 juta tayangan. Rumor itu mereda setelah Trump difoto dalam perjalanan menuju lapangan golf, meskipun beberapa warganet menduga sosok dalam foto itu mungkin hanyalah pemeran pengganti (body double).
Teori konspirasi kematian Trump tidak pernah muncul begitu saja. Latar belakang munculnya rumor “Trump is Dead” adalah kekhawatiran publik baru-baru ini terkait kondisi kesehatannya. Apalagi, Trump saat ini sudah berusia 79 tahun.
Awal tahun ini, spekulasi soal kesehatannya berkembang setelah beredar viral sebuah foto yang tampak menunjukkan tangan Trump dengan memar. Hal itu memicu teori bahwa ia sakit dan tengah menjalani infus. Juli lalu, muncul kabar bahwa Trump menderita gangguan sirkulasi darah di bagian bawah tubuhnya yang menyebabkan pembengkakan pada kakinya.
Situasi memuncak pada 27 Agustus ketika Wakil Presiden J.D. Vance menyatakan bahwa meskipun Trump dalam kondisi kesehatan yang sangat baik, jika suatu saat terjadi sebuah “tragedi buruk,” ia merasa siap mengambil alih peran. Meskipun kata-katanya dimaksudkan sebagai penenang, justru hal itu memicu semakin banyak spekulasi mengenai kesehatan Trump.
Tak lama kemudian, para influencer mulai menyoroti absennya Trump dari acara-acara publik belakangan ini. Warganet kemudian berusaha mencari bukti untuk mendukung teori tersebut, misalnya menyoroti bendera di Gedung Putih yang dikibarkan setengah tiang.
"Rumor mengenai wafatnya tokoh politik maupun selebritas ternama bukanlah hal yang jarang. Pernah ada laporan prematur tentang kematian pemimpin Soviet Joseph Stalin, mantan diktator Korea Utara Kim Jong-il, dan Ratu Elizabeth II. Bahkan, hampir setiap presiden Amerika Serikat pernah menjadi subjek rumor kematian," kata sosiolog medis asal AS, Robert Bartholomew, seperti dikutip dari Psychology Today, Rabu (3/9).
Di era digital, menurut Bartholomew, sebuah rumor bisa berkembang sangat cepat dan mendapatkan audiens luas meskipun tak bisa diverifikasi dengan baik. Platform media sosial terkenal karena memperbesar klaim-klaim yang belum terverifikasi, yang dapat dengan cepat menyebar dalam gema digital (digital echo chamber).
"Pengulangan juga dapat memberi kesan kredibilitas pada klaim-klaim tersebut. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai efek illusion of truth (ilusi kebenaran)," jelas dia.
Secara sederhana, semakin sering suatu klaim diulang, semakin besar kemungkinan orang akan mempercayainya. Sejumlah unggahan di media sosial menyebutkan bahwa dugaan kematian Trump sengaja ditutup-tutupi. "Hal ini mungkin mencerminkan ketidakpercayaan yang meluas terhadap politisi dan media arus utama," imbuh dia.
Menurut Bartholomew, rumor tumbuh subur dalam iklim ketidakpastian dan ketidakpercayaan, terutama bila menyangkut tokoh politik. Dalam latar semacam ini, bahkan klaim yang paling rapuh pun bisa diterima jika dianggap masuk akal.
Jika dahulu rumor menyebar pelan dari mulut ke mulut, di era digital sekarang, rumor bisa langsung viral sebelum ada waktu untuk menilai kebenarannya.
"Kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menghilangkan rumor, karena manusia adalah makhluk yang berorientasi pada makna dan, ketika tidak ada fakta, secara alami terdorong untuk mengisi celah pengetahuan dengan berspekulasi," kata dia.
Belakangan, publik AS kian tak suka dengan gaya pemerintahan Trump. Sigi yang dilakoni Public Religion Research Institute, misalnya, menemukan bahwa Trump dipersepsikan gagal total dalam 100 hari pemerintahannya.
Trump juga kini berseberangan dengan tokoh-tokoh yang semula mendukungnya. CEO Tesla, Elon Musk, misalnya, kini keluar dari kabinet dan memutuskan fokus membenahi perusahaan mobilnya yang sahamnya terus turun sejak ia menjabat Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) Amerika Serikat.
Dalam sebuah siniar di YouTube, komentator politik CNN Christopher Michael Cillizza mengatakan ada dua alasan utama kenapa publik mengaitkan kondisi kesehatan Trump dengan kematiannya. Pertama, Trump sendiri rutin mengomentari kondisi kesehatan lawan-lawan politiknya.
Ketika politikus Demokrat Hillary Clinton dan mantan Presiden AS Joe Biden hilang dari ruang publik, Trump selalu mengatakan "ada yang salah dengan ketidakhadiran mereka." Di sisi lain, Trump sendiri tak pernah transparan mengenai kondisi kesehatan dia.
"Dia mungkin tidak mati atau sekarat. Tetapi, ini (Trump) adalah orang yang tak pernah jujur atau sepenuhnya terbuka mengenai kondisi kesehatannya. Jadi, wajar jika publik akhirnya berspekulasi macam-macam," kata Cillizza.


