International Diabetes Federation (IDF) sudah resmi mengklasifikasikan jenis diabetes baru, yang disebut diabetes tipe 5. Penyakit ini diperkirakan memengaruhi 20 juta hingga 25 juta orang di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia dan Afrika.
Menurut IDF, kondisi kesehatan ini sudah diamati selama lebih dari 70 tahun, tetapi terabaikan dalam pembahasan kesehatan global. Dikutip dari Live Science, pada awal 1950-an, seorang dokter Inggris di Jamaika, Philip Hugh-Jones, menemukan 13 pasien bergejala yang tidak cocok dengan diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Dia menamai kondisi itu “tipe J” (Jamaika). Namun, istilah itu terlupakan dan kondisi tersebut diabaikan selama beberapa dekade.
Pada September lalu, terbit penelitian di jurnal The Lancet Diabetes & Endocrinology. Mulanya, para peneliti mempelajari diabetes tipe 1 pada hampir 900 orang dewasa muda di Kamerun, Uganda, dan Afrika Selatan. Namun, hasil tes darah menunjukkan, sekitar dua pertiga peserta tak punya penanda autoimun yang biasanya terlihat pada diabetes tipe 1.
Tes lanjutan menemukan, mereka masih memproduksi insulin dalam jumlah kecil, tetapi terukur, berbeda dari penderita diabetes tipe 1 pada umumnya—namun lebih rendah daripada kadar yang terlihat di diabetes tipe 2. Temuan ini menunjukkan adanya jenis diabetes baru.
Sebelumnya, secara umum buku teks kedokteran hanya mengenal tiga jenis utama diabetes, yakni diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestasional.
Dalam tulisannya di The Conversation, dosen senior diabetes eksperimental di University of Exeter Craig Beall mengungkapkan, diabetes tipe 1 terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang sel penghasil insulin di pankreas. Kondisi ini tidak terkait dengan pola makan atau gaya hidup, melainkan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan pemicu lingkungan, seperti infeksi virus.
Diabetes tipe 2 merupakan bentuk diabetes yang paling umum dan sering dikaitkan dengan indeks massa tubuh yang tinggi. Sedangkan diabetes gestasional berkembang selama kehamilan, akibat perubahan hormonal yang mengurangi sensitivitas tubuh terhadap insulin.
“Faktor risikonya antara lain kelebihan berat badan, riwayat keluarga dengan diabetes, serta melahirkan bayi besar pada kehamilan sebelumnya,” tulis Beall di The Conversation.
Menurut Beall, selain tipe utama tadi, setidaknya terdapat 9 subtipe diabetes langka yang bisa disebabkan mutasi genetik, operasi, atau pengobatan tertentu. Misalnya, diabetes neonatal yang muncul sejak bayi karena mutasi genetik tertentu yang memengaruhi cara insulin dilepaskan dari pankreas.
Label tipe 5 dipilih karena tipe 3 dan tipe 4 sudah digunakan untuk jenis diabetes lain. Kepada Live Science, ahli endokrinologi sekaligus asisten profesor di University of Michigan, Rachel Reinert mengatakan, pemberian nama penyakit yang tepat sangat penting karena membantu dokter menentukan pengobatan yang sesuai, sekaligus membantu peneliti melacak prevalensi dan faktor yang memengaruhi kondisi pasien.
IDF menulis, konsep diabetes tipe 5 merujuk pada severe insulin-deficient diabetes (SIDD), yakni jenis diabetes yang ditandai rendahnya kadar insulin dan kontrol metabolik yang buruk. Berbeda dari diabetes tipe 2, diabetes tipe 5 disebabkan kekurangan gizi kronis, terutama dialami sejak masa kanak-kanak atau remaja. Diabetes jenis ini juga dikenal sebagai diabetes terkait malnutrisi.
“Penderita diabetes tipe 5 mengalami kekurangan insulin, tetapi tidak mengalami resistensi terhadap insulin,” tulis IDF.
Menurut Reinert, penderita diabetes tipe 5 biasanya memiliki berat badan rendah dan riwayat kekurangan gizi sejak kecil. Para dokter menduga, malnutrisi kronis merusak pankreas sejak dini, melemahkan sel-sel penghasil insulin secara permanen. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah cukup. Namun, bila pasien diberi insulin, tubuh mereka tetap mampu meresponsnya.
Karena banyak penderita diabetes tipe 5 tinggal di negara berpenghasilan rendah, pengobatan harus dikelola dengan hati-hati. Pemberian insulin berlebihan, ditambah asupan makanan yang terbatas, dapat menyebabkan hipoglikemia atau gula darah rendah yang berbahaya.
“Penting bagi semua pasien diabetes untuk mengetahui jenis diabetes yang mereka derita agar bisa mendapatkan pengobatan yang tepat,” ujar Reinert kepada Live Science.