close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tempat tidur./Foto congerdesign/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tempat tidur./Foto congerdesign/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Mental Health
Senin, 23 Desember 2024 06:33

Apakah bed rotting baik buatmu?

Bed rotting adalah tren yang populer di kalangan gen Z, mengacu aktivitas di tempat tidur dalam waktu lama.
swipe

Aiska Nur Fazriah, 20 tahun, mengaku pernah merasakan momen bed rotting. Baginya, bed rotting semacam “me time” yang membuatnya relaks. Jika sedang lelah secara fisik dan mental, dia merasa perlu waktu untuk berdiam diri di kamar, tidak beraktivitas apa pun.

“Rasanya kayak ngisi ulang energi,” ujar Aiska kepada Alinea.id, Rabu (18/12).

“Tapi, aku enggak tiap hari kayak gitu. Aku tetap sadar, kalau kebiasaan ini bisa jadi enggak sehat kalau dilakuin terlalu sering.”

Menurut Aiska, bed rotting menjadi tren di kalangan generasi Z karena mereka kerap merasa kewalahan dengan tekanan hidup, seperti kerjaan, studi, bahkan ekspektasi dari media sosial. Aiska mengatakan, bed rotting semacam “pelarian dari kenyataan” untuk rehat sejenak, tanpa merasa bersalah.

“Apalagi sekarang sudah banyak yang lebih aware soal pentingnya self care,” kata Aiska.

“Jadi, aku rasa bed rotting tuh salah satu bentuk protes enggak langsung sama budaya hustle yang bikin orang terlalu sibuk sampai lupa istirahat.”

Asika memandang, kalau sesekali dilakukan untuk “mengisi energi”, bed rotting tak masalah. Namun, jika menjadi kebiasaan yang membuat seseorang menghindar dari tanggung jawab atau terus-menerus mengisolasi diri, hal itu tak baik.

“Itu sudah tanda-tanda burnout, bahkan mungkin depresi,” ujar Aiska.

Maka dari itu, Aiska kerap memberikan batas waktu untuk bed rotting. Misalnya, sehari penuh untuk istirahat total di kamar, tetapi keesokan harinya, dia harus kembali produktif. Selain itu, dia juga tetap mencoba terhubung dengan orang lain, seperti berkirim pesan atau panggilan video.

“Biar enggak ngerasa terlalu sendirian,” tutur Aiska.

Sleep Foundation menyebut, bed rotting atau “membusuk di tempat tidur” menjadi tren di TikTok. Muncul pertama kali pada 2023, dan terus populer hingga 2024. Dikutip dari Health, bed rotting menggambarkan berbaring di tempat tidur dalam waktu lama. Bukan untuk tidur, tetapi melakukan aktivitas pasif seperti makan camilan, menonton televisi, atau menggulir layar ponsel.

Menurut psikolog klinis di Touro University’s School of Health Sciences Jeffrey Gardere kepada Health, tren ini paling populer di kalangan generasi Z—kelahiran 1997-2012—yang merasa jenuh karena pekerjaan, sekolah, tuntutan keluarga, atau pergaulan sosial. Di TikTok, topik bed rotting suah ditonton ratusan juta kali.

Sementara itu, psikolog klinis Stefany Valentia mengungkapkan, bed rotting bisa menjadi indikasi adanya kemungkinan masalah kesehatan mental. Sebab, pada dasarnya manusia tidak dirancang untuk terus-menerus berada di tempat tidur atau hanya beristirahat tanpa aktivitas. Manusia, kata dia, tetap membutuhkan keseimbangan dengan beraktivitas secara produktif.

Meski begitu, Stefany menjelaskan, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan untuk membedakan antara istirahat yang sehat dan yang mengarah pada masalah kesehatan mental, seperti depresi.

“Depresi, misalnya, biasanya ditandai dengan kehilangan motivasi untuk melakukan aktivitas yang biasa kita nikmati, berlangsung selama minimal dua minggu berturut-turut. Mood yang rendah atau terasa depresif secara konsisten,” kata Stefany, Rabu (18/12).

Sementara istirahat yang sehat ditandai dengan kemampuan untuk tetap produktif dan menjalankan tanggung jawab sehari-hari. Dia melanjutkan, jika kebiasaan istirahat seperti bed rotting sampai mengganggu fungsi dan tanggung jawab seseorang, maka sudah mengarah pada pola istirahat yang tidak sehat.

Stefany menekankan, tidak bisa memukul rata semua generasi Z melakukan bed rotting. Namun, ada kemungkinan kecenderungan bagi sebagian generasi Z untuk menggunakan bed rotting sebagai mekanisme koping—cara yang dilakukan seseorang untuk mengatasi stres atau tekanan.

“Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi bentuk penghindaran dari tanggung jawab,” ujar Stefany.

“Misalnya, seseorang mungkin merasa tidak nyaman menghadapi konflik atau tantangan dalam pekerjaannya.”

Karena itu, daripada menghadapi rasa tidak nyaman tersebut, kata Stefany, mereka memilih untuk menghindar dengan cara tidur-tiduran dan tidak mengerjakan apa pun. Mekanisme koping ini, menurut Stefany, dikenal sebagai avoidance coping—strategi yang dilakukan dengan cara menghindar atau mengalihkan diri dari situasi yang dianggap mengancam atau membuat stres.

“Namun, sekali lagi, ini tidak bisa digeneralisasi untuk seluruh generasi Z,” tutur Stefany.

“Tidak semua dari mereka menggunakan bed rotting untuk menghindari tantangan atau tuntutan.”

Terlepas dari itu, Stefany mengingatkan, tren bed rotting justru bisa mengganggu pola tidur seseorang. Soalnya, ketika seseorang terus-menerus berada di tempat tidur, tanpa melakukan aktivitas, energi di dalam tubuh tidak tersalurkan.

Akibatnya, saat tiba waktu tidur yang sebenarnya, tubuh belum merasa lelah atau mengantuk. Sebab, energi tidak digunakan secara optimal. Jika pola ini berlangsung terus-menerus, maka siklus tidur alami seseorang bisa rusak.

“Dalam jangka panjang, pola tidur yang terganggu dapat memengaruhi kesehatan mental, seperti meningkatkan risiko kecemasan, depresi, atau gangguan suasana hati lainnya,” kata Stefany.

img
Irene Anggraini
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan