close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi menonton film. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi menonton film. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 23 September 2025 19:14

Apakah menonton film porno benar-benar tak berfaedah?

Industri pornografi terus berkembang. Regulasi tak sepenuhnya efektif membatasi akses terhadap konten-konten porno.
swipe

Pada Juli 1995, majalah Time menerbitkan cerita sampul berjudul “Cyber Porn” dengan wajah tragis seorang anak lelaki muda yang diterangi cahaya biru layar komputer. Dalam laporan utamanya, Time mengekplorasi bahaya pornografi siber bagi anak. Ketika itu, laporan Time jadi basis bagi senat AS untuk melarang akses pornografi bagi anak. 

Tiga dekade kemudian, perang melawan pornografi belum juga menghasilkan dampak yang diinginkan. Justru sebaliknya: pada 2022 industri hiburan dewasa diperkirakan bernilai US$58,4 miliar. Angka itu diproyeksikan akan naik hingga mencapai US$96,2 miliar pada 2032.

Di era AI, VR/AR, dan teknologi maju lainnya, fantasi bisa diwujudkan secara harfiah. Batas antara dunia nyata dan virtual makin kabur lewat penawaran seperti “cyberbrothel” (rumah bordil maya), taman bermain fantasi, layanan live camming, hingga robot seks. Sederhananya, pornografi akan semakin sulit diberantas. 

"Kritik terhadap pornografi memang sah. Konten dewasa yang tak terkendali dan stereotip kerap mempropagandakan misogini dan kekerasan; ia menggambarkan tubuh dan posisi seksual yang tak realistis," kata pengampu podcast "Sex, Tech, and Spirituality", Kaamna Bhojwani, seperti dikutip dari Psychology Today, Selasa (23/9). 

Di era kiwari, anak-anak juga jauh lebih rentan tepapar. Laporan Common Sense Media mengungkap 54% remaja usia 13 tahun ke bawah pernah melihat pornografi online. Angka ini naik jadi 73% pada anak usia 17 tahun ke bawah. Sebanyak 45% percaya pornografi online memberikan informasi bermanfaat tentang seks, tetapi hanya 27% yang menilai konten itu akurat.

Sebagai seksiolog, Bhojwani punya pendekatan berbeda. Konsumsi konten dewasa yang masif dan tak terkendali itu, kata dia, bisa bermanfaat bagi individu maupun masyarakat? Yang paling penting ialah tujuan menonton. 

"Cara yang lebih efektif untuk mengurangi dampak negatif pornografi mungkin dengan meningkatkan dan mendidik tentang efek positifnya. If you can’t beat ‘em, educate them," kata dia. 

Menurut Bhojwani, jenis konten dewasa yang kita cari dan konsumsi memberikan wawasan mendalam tentang dorongan dan hasrat yang tidak kita ungkapkan secara terbuka, sekaligus mencerminkan pola pikir dan tren luas.

Laporan Pornhub pada 2024, misalnya, mengungkap bahwa di Filipina dan Argentina, lebih dari 50% konsumen pornografi adalah perempuan, dibanding sekitar 25% di AS, Kanada, dan Jerman. Laporan itu juga menunjukkan jumlah penonton perempuan secara global meningkat stabil selama 10 tahun terakhir, dari 24% menjadi 38%.

Laporannya cukup detail. Kaum boomer diketahui penasaran dengan gang-bang, sementara Gen Z menyukai pornografi jenis Hentai. Di California, istilah yang paling sering dicari adalah “friend’s mom” (ibu teman), di Missouri “grandma” (nenek). "Informasi ini lebih mengungkap dibanding survei demografis mana pun," imbuh Bhojwani. 

Menurut dia, dampak konsumsi pornografi ternyata sangat dipengaruhi oleh “mengapa” kita menontonnya. Sebagai contoh, ketika pasangan menonton pornografi untuk mempelajari hal baru, mereka melaporkan rasa malu dan stres seksual yang lebih rendah. 

"Rasa ingin tahu seksual tampaknya merupakan contoh positif penggunaan pornografi. Perempuan yang menonton pornografi untuk memperluas cakrawala seksualnya melaporkan frekuensi seks lebih tinggi dan kepuasan seksual lebih baik," tutur dia. 

Banyak riset menunjukkan berbagi klip dengan pasangan juga menjadi cara yang lebih tidak mengintimidasi untuk mengungkapkan apa yang mereka sukai. Sebaliknya, ketika pria—yang umumnya mengonsumsi pornografi sendirian—menggunakannya untuk mengatasi atau menghindari masalah, mereka lebih rentan terhadap penggunaan bermasalah. 

"Pria dalam kategori ini melaporkan gairah seksual lebih rendah, yang bisa memengaruhi hubungan mereka, sekaligus tingkat hiperseksualitas dan risiko perilaku kompulsif lebih tinggi," jelas Bhojwani. 

Pornografi etis

Terkait penggambaran seks dan kekerasan yang bermasalah, serta tubuh dan posisi tak realistis, muncul bidang baru bernama pornografi etis sebagai solusi potensial. 

Pornografi etis didefinisikan sebagai konten dewasa yang “dibuat secara konsensual, memperlakukan para pemeran dengan hormat, dan membayar mereka serta pembuat film secara adil atas pekerjaan mereka.”

Pornografi etis menampilkan hal-hal seperti mencari persetujuan dan menggunakan proteksi—yang biasanya dihilangkan dalam adegan porno tradisional. Ia juga menampilkan beragam tubuh, preferensi seksual, dan spektrum kenikmatan, serta memantulkan lensa yang lebih luas dibanding “male gaze” yang menampilkan sudut pandang pria. 

"Dalam seks dan hubungan, tak ada yang hitam putih. Jika teknologi memang akan terus menempatkan konten dewasa di ujung jari kita, kita akan lebih diuntungkan dengan menyingkirkan kemarahan moral dan fokus pada pemanfaatannya untuk kebaikan," kata Bhojwani. 

Associate professor dari University of Sydney, Melissa Kang sepakat pornografi bakal sulit dibendung. Pada 2023, Kang menggelar studi bersama para pakar untuk membantu mengidentifikasi elemen-elemen pornografi yang dapat mendukung perkembangan seksual yang sehat.

"Bagi banyak kaum muda, pornografi daring telah menjadi pendidik seks otomatis," kata dia.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan