close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Pixabay
icon caption
Foto: Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Selasa, 08 Juli 2025 17:00

Bagaimana menetapkan batasan yang sehat tanpa merusak kedekatan dengan anak?

Apakah bisa mengatakan "tidak boleh main TikTok sampai tengah malam" sambil tetap menjadi sosok yang dicintai dan dipercaya?
swipe

"Lima menit lagi, ya!"
"Aku ngerjain tugasnya nanti, kok."
"Tapi ibu temanku ngizinin begadang!"

Bagi banyak orang tua, kalimat-kalimat semacam ini terdengar sangat akrab—semacam lagu lama yang terus diputar setiap kali aturan mulai ditegakkan. Anak-anak, apalagi yang mulai tumbuh mandiri, memang kerap menguji batasan. Tapi justru di situlah letak tantangannya: bagaimana caranya menetapkan batasan yang sehat tanpa merusak kedekatan hubungan dengan anak?

Pertanyaan ini menjadi sorotan dalam podcast After Bedtime With Big Little Feelings, yang dipandu oleh Deena Margolin—seorang terapis anak spesialis neurobiologi interpersonal—dan Kristin Gallant, pelatih pengasuhan anak dengan latar belakang pendidikan ibu dan anak. Dalam salah satu episodenya, mereka mengundang Aliza Pressman, pakar pengasuhan anak, untuk menggali persoalan yang hampir setiap orang tua rasakan: bagaimana menjaga batas sekaligus menjaga kedekatan?

Dan jawaban yang muncul begitu kuat sekaligus sederhana: hubungan, hubungan, hubungan.

Mengapa itu penting? Karena, seperti dijelaskan Margolin dalam kolomnya di Yahoo, ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ikatan yang aman dan penuh kepercayaan dengan orang tua akan membentuk struktur otak anak secara langsung. Hubungan yang sehat membangun ketahanan, membantu anak bangkit setelah kesulitan, dan menumbuhkan mereka menjadi pribadi yang stabil secara emosional.

Namun di dunia nyata, menjaga kedekatan sambil menetapkan aturan bukan perkara mudah. Apakah bisa mengatakan "tidak boleh main TikTok sampai tengah malam" sambil tetap menjadi sosok yang dicintai dan dipercaya? Apakah mungkin bersikap tegas saat anak marah, tanpa memutus tali emosi?

Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan, batasan yang tegas justru memperkuat hubungan.

Sayangnya, banyak dari kita tumbuh tanpa pemahaman ini. Kita diajarkan bahwa cinta artinya memberi, mengikuti, menyenangkan. Tapi sesungguhnya, batasan yang konsisten dan diberikan dengan penuh hormat adalah bentuk cinta yang paling dalam. Batasan memberi anak rasa aman bahwa dunia mereka bisa diprediksi. Bahwa ketika emosi mereka meledak, ada orang dewasa yang tidak akan lari. Yang tetap hadir, tetap mendengar, dan tetap mencintai—meskipun tidak selalu setuju.

Dan ya, anak-anak akan melanggar batasan itu. Bukan karena tidak menghargai, tapi karena ingin memastikan: apakah batas ini benar-benar ada? Apakah orang tuaku tetap di sini, meskipun aku berantakan?

Bayangkan situasi ini: seorang remaja marah karena waktu bermain gawai dibatasi. Ia membanting pintu, menyalahkan orang tua, merasa hidupnya "dihancurkan." Dalam momen seperti ini, banyak orang tua terjebak dalam dua kutub ekstrem: menyerah demi menghindari konflik, atau bersikap keras demi "menghukum."

Padahal, ada jalan tengah yang lebih sehat. Tetap teguh pada batasan, namun hadir secara emosional. Misalnya, dengan berkata:
"Aku paham kamu kesal. Siapa pun pasti kesal kalau sedang asyik lalu dihentikan. Tapi aturannya tetap, tidak boleh bermain setelah pukul delapan. Aku di sini kalau kamu butuh tempat untuk marah."

Itulah inti dari pengasuhan yang penuh empati: aturan yang jelas, sikap tenang, dan kehadiran emosional.

Bentuknya bisa seperti ini:

"Kamu nggak harus suka dengan aturan ini. Tapi aku tetap menjalankannya."

"Kamu boleh marah. Aku akan duduk di sini. Tapi aturan tetap berlaku."

"Aku sayang kamu. Dan karena itu, aku tidak bisa membiarkan kamu berbicara kasar padaku. Kita akan bicara lagi nanti saat kamu siap."

"Aku tahu ini perasaan besar buatmu. Aku tetap di sini. Dan ini masih menjadi harapan dari kita."

Batasan diperlukan bukan untuk mengendalikan anak, tapi untuk memberi rasa aman. Seperti halnya rutinitas tidur dan sabuk pengaman, aturan memberi struktur yang dibutuhkan anak-anak untuk merasa nyaman dan terlindungi.

Namun penting juga diingat: batasan tanpa hubungan terasa dingin. Dan hubungan tanpa batasan justru membingungkan.

Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna. Mereka hanya butuh merasa dilihat, didengar, dan tahu bahwa orang tuanya cukup percaya diri untuk memimpin—bahkan saat situasi sedang tidak nyaman.

Karena pada akhirnya, pengasuhan bukan tentang memenangkan argumen. Tapi tentang membangun pondasi kuat bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan mengenali dunia dengan hati yang tenang dan pikiran yang utuh.(yahoo)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan