close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tengkorak manusia purba./Foto mafnoor/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi tengkorak manusia purba./Foto mafnoor/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 17 Oktober 2025 13:00

Bagaimana paparan timbal prasejarah bantu membentuk kecerdasan manusia?

Para ilmuwan menduga, manusia purba dan kerabat mereka mungkin bersentuhan dengan timbal saat mencari sumber air.
swipe

Apa yang membuat otak manusia modern begitu berbeda dari otak kerabat kita yang telah punah, seperti Neanderthal?

Para peneliti dari Fakultas Kedokteran University of California San Diego bersama tim internasional menemukan, hominid purba—termasuk manusia awal dan kera besar—telah terpapar timbal jauh lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya, kira-kira dua juga tahun sebelum manusia modern mulai menambang logam tersebut.

Paparan timbal jangka panjang itu diduga memengaruhi evolusi awal otak, kemungkinan dengan cara menghambat perkembangan kemampuan bahasa dan sosial pada sebagian besar spesies manusia purba. Menariknya, hanya manusia modern yang tampaknya memiliki varian genetik unik yang memberikan perlindungan terhadap efek racun timbal tersebut.

Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Science Advances pada 15 Oktober 2025. Para peneliti menganalisis fosil gigi dari 51 hominid yang ditemukan di Afrika, Asia, dan Eropa. Sampel mencakup manusia modern dan purba seperti Neanderthal, nenek moyang awal seperti Australopithecus africanus, serta kera besar yang telah punah, termasuk Gigantopithecus blacki.

Hasilnya, jejak timbal ditemukan pada 73% fosil yang diteliti. Bahkan, 71% dari sampel manusia modern dan purba menunjukkan tanda-tanda kontaminasi. Fosil G. blacki yang berusia sekitar 1,8 juta tahun memiliki tingkat paparan timbal paling tinggi.

Sebelumnya, para ilmuwan berasumsi, manusia baru mulai terpapar timbal dalam jumlah besar pada masa sejarah, terutama di era Romawi ketika pipa air dibuat dari timbal, dan meningkat pesat selama Revolusi Industri. Polusi timbal baru menurun signifikan setelah akhir abad ke-20.

“Kita berhenti menggunakan timbal dalam kehidupan sehari-hari setelah menyadari betapa beracunnya logam ini, tetapi belum ada yang meneliti sejauh apa paparan timbal terjadi sejak zaman prasejarah,” ujar profesor pediatri, kedokteran seluler, dan molekuler di University of California San Diego, Alysson Muotri, dikutip dari Science Daily.

Yang mengejutkan para peneliti, gigi dari orang-orang yang lahir pada pertengahan abad ke-20, tepatnya 1940-an hingga 1970-an—masa ketika bensin dan cat bertimbal masih banyak digunakan—menunjukkan pola paparan timbal yang mirip dengan fosil manusia purba. Para ilmuwan menduga, manusia purba dan kerabat mereka mungkin bersentuhan dengan timbal saat mencari sumber air, mirip dengan apa yang dilakukan bangsa Romawi ribuan tahun kemudian.

“Salah satu kemungkinannya adalah mereka mencari gua dengan air yang mengalir di dalamnya,” kata Muotri.

“Namun, air di gua-gua tersebut mengandung timbal, sehingga semuanya terkontaminasi. Berdasarkan analisis email gigi, paparan ini bahkan sudah terjadi sejak masa bayi.”

Paparan timbal diketahui mengganggu pertumbuhan dan fungsi otak, menurunkan kecerdasan, serta mengacaukan kemampuan pengaturan emosi. Melihat kenyataan ini, Muotri dan timnya mulai mempertanyakan, bagaimana manusia modern bisa bertahan hidup dan berevolusi meski hidup di lingkungan yang sangat beracun.

Salah satu kuncinya terletak pada gen yang disebut antigen ventral neuro-onkologis 1 (NOVA1). Gen ini berperan penting dalam pembentukan otak dan perkembangan sinaps—sambungan atau celah tempat terjadinya transmisi sinyal antara dua neuron, atau antara neuron dan sel lain seperti otot dan kelenjar, serta bertindak sebagai pengatur utama sistem saraf. NOVA1 membantu menentukan bagaimana sel-sel saraf bereaksi terhadap paparan timbal, dan gangguan pada gen ini telah dikaitkan dengan berbagai gangguan neurologis.

Menariknya, hampir semua manusia modern memiliki versi NOVA1 yang berbeda hanya satu pasangan basa DNA dari versi yang ditemukan pada Neanderthal. Penelitian sebelumnya oleh tim Muotri menunjukkan, mengganti NOVA1 manusia modern dengan varian purba dalam model otak miniatur (organoid) menyebabkan perubahan besar dalam struktur dan konektivitas otak.

“Segala sesuatu tentang organoid itu identik, kecuali perbedaan varian genetik tersebut. Hal ini memungkinkan kami bertanya, apakah mutasi kecil antara kita dan Neanderthal memberi kita keunggulan?” ujar Muotri.

Varian kuno memang membuat otak berkembang lebih cepat, tetapi menghasilkan kompleksitas yang lebih rendah seiring waktu. “Jika semua manusia modern memiliki mutasi baru ini di seluruh dunia, artinya ada tekanan evolusioner sangat kuat yang menyeleksi gen tersebut dalam spesies kita,” kata Muotri.

Untuk menguji apakah paparan timbal bisa memengaruhi pergeseran genetik ini, para peneliti menciptakan organoid otak dengan dua versi NOVA1—modern dan leluhur—lalu memaparkannya pada timbal sambil memantau pertumbuhan neuron di korteks dan talamus.

Hasilnya menunjukkan, timbal mengubah aktivitas NOVA1 di kedua jenis organoid, memengaruhi gen-gen yang berhubungan dengan kondisi seperti autisme dan epilepsi. Namun, hanya varian NOVA1 kuno yang memengaruhi aktivitas FOXP2—gen yang sangat penting untuk kemampuan bicara dan bahasa. Mutasi pada FOXP2 diketahui menyebabkan kesulitan dalam membentuk kata dan menyusun kalimat kompleks.

“Jenis neuron yang berkaitan dengan bahasa kompleks ini cenderung mati pada versi kuno NOVA1,” kata Muotri.

“Gen FOXP2 sebenarnya identik antara manusia modern dan Neanderthal, tetapi cara gen tersebut diatur oleh NOVA1 tampaknya berperan dalam perbedaan kemampuan berbahasa di antara kita.”

Temuan ini menunjukkan, munculnya varian NOVA1 modern mungkin melindungi manusia dari efek beracun timbal sekaligus mendorong perkembangan bahasa kompleks dan kemampuan sosial yang lebih kuat. Kombinasi ini bisa menjadi keunggulan evolusioner penting yang membedakan manusia modern dari Neanderthal, bahkan dalam lingkungan yang terkontaminasi timbal.

Muotri menilai hasil ini memiliki implikasi besar untuk memahami bagaimana tekanan lingkungan dapat membentuk perkembangan otak selama evolusi manusia. Dia bahkan berspekulasi, paparan timbal mungkin berkontribusi pada kepunahan Neanderthal sekitar 40.000 tahun lalu.

“Bahasa adalah keuntungan yang luar biasa, bahkan bisa dibilang kekuatan super kita,” ujar Muotri.

“Dengan bahasa, kita bisa membangun masyarakat, berbagi ide, dan mengoordinasikan tindakan besar bersama. Tidak ada bukti bahwa Neanderthal mampu melakukan hal itu. Mereka mungkin bisa berpikir abstrak, tetapi tampaknya tidak bisa menerjemahkan pikiran itu satu sama lain—mungkin karena mereka tidak pernah mengembangkan sistem komunikasi yang seefisien bahasa kompleks manusia.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan