Bagaimana tetris bisa memulihkan stres pasca-trauma?
Tetris, permainan puzzle video klasik ini pernah sangat populer lewat media game & wacth—di Indonesia disebut jimbot—pada dekade 1980-an dan 1990-an. Cara main gim yang diciptakan Alexey Pajitnov dari Uni Soviet pada 1985 tersebut cukup sederhana: menyusun balok-balok berbentuk geometris yang jatuh dari atas layar, guna membentuk garis horizontal yang sempurna tanpa celah, yang lalu akan menghilang.
Meski game & wacth sudah tak lagi populer saat ini, namun tetris masih dapat dengan mudah dimainkan di perangkat digital, seperti laptop, komputer, tablet, atau ponsel pintar. Siapa sangka, tetris pun dapat menurunkan risiko post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pasca-trauma seseorang.
PTSD dapat memengaruhi orang-orang yang pernah mengalami perang, penyiksaan, pemerkosaan, kecelakaan lalu lintas, atau situasi lain yang membuat mereka merasa hidup dalam bahaya. Trauma menjadi bagian dari kehidupan banyak orang, di mana lebih dari 70% dari kita akan menghadapi setidaknya satu peristiwa traumatis dalam hidup.
Meskipun kebanyakan orang tak mengalami PTSD setelah trauma, tetapi sebagian orang lainnya mengalami kondisi ingatan yang mengganggu, kilas balik, dan mimpi buruk—yang merupakan gejala klinis utama PTSD.
Ada sejumlah penelitian yang mengaitkan tetris dengan PTSD. Misalnya, penelitian yang dilakukan psikolog dari Universitas Oxford pada 2009, yang diterbitkan di jurnal PLOS One. Para peneliti menayangkan film berisi gambar-gambar traumatis cedera dari berbagai sumber, termasuk iklan yang menyoroti bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk kepada 40 relawan sehat.
Setelah menunggu selama 30 menit, 20 relawan bermain tetris selama 10 menit. Separuh lainnya tidak melakukan apa pun. Hasilnya, mereka yang bermain gim komputer itu mengalami kilas balik adegan-adegan traumatis di film yang jauh lebih sedikit selama seminggu berikutnya.
Para peneliti berpendapat, bermain tetris saat otak sedang mencoba menyimpan memori visual akan membebani kapasitanya dan “mengganggu” sirkuit memori visual. Karena itu, bermain Tetris segera setelah mengalami peristiwa traumatis dapat mengganggu proses pemrosesan di otak. Dampaknya, kemunculan kembali ingatan visual yang tidak diinginkan atau intrusi yang terkait dengan trauma dapat berkurang.
Lalu, para peneliti dari Universitas Oxford, Karolinska Institutet, dan lain-lain, dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Molecular Psychiatry pada 2017, melakukan penyelidikan terhadap 71 korban kecelakaan kendaraan bermotor. Separuh dari mereka, menerima intervensi berupa mengingat trauma sejenak, kemudian bermain tetris sambil menunggu di unit gawat darurat rumah sakit. Separuh lainnya melakukan aktivitas lain sebagai pembanding. Semua intervensi dilakukan dalam enam jam pertama setelah kecelakaan.
Hasil penelitian menunjukkan, peserta yang bermain tetris mengalami lebih sedikit ingatan intrusif tentang peristiwa trauma selama seminggu setelah kecelakaan dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, ingatan intrusif pada kelompok ini juga berkurang lebih cepat.
Penelitian lainnya diterbitkan di Journal Psychiatry & Neuroscience pada 2020. Dalam studi itu, para peneliti asal Jerman merekrut sebanyak 40 peserta dengan PTSD terkait pertempuran dari Angkatan Bersenjata Federal Jerman. Mereka menemukan, tetris bermanfaat sebagai intervensi bagi orang dengan PTSD, di samping psikoterapi eye movement desensitization and reprocessing (EMDR)—sebuah jenis psikoterapi yang dirancang untuk meringankan stres dan tekanan psikologis terkait ingatan traumatis.
“Setelah psikoterapi selesai, gejala berkurang pada semua peserta, dan kedua kelompok terus menunjukkan penurunan gejala PTSD pada tindak lanjut 6 bulan,” tulis para peneliti.
“Namun, hanya kelompok tetris yang terus menunjukkan penurunan gejala kecemasan dan depresi pada tindak lanjut 6 bulan.”
Para peneliti menulis, bermain tetris berkorelasi dengan peningkatan volume hipokampus, yang berkorelasi dengan penurunan berkelanjutan gejala PTSD, depresi, dan kecemasan. Hipokampus merupakan bagian dari sistem limbik di otak, yang berperan penting dalam pembelajaran dan pembentukan memori jangka panjang. Hipokampus juga berfungsi memproses dan menyimpan memori spasial dan menghubungkan emosi dengan ingatan.
Bahkan, penelitian dalam Journal of Affective Disorders pada 2022 menemukan, mengaktifkan kembali memori visual intrusif dan bermain tetris selama 20 menit, kemungkinan ada dampaknya hingga tujuh tahun setelah trauma terkait persalinan.
“Meskipun hasil penelitian ini menjanjikan, diperlukan studi yang lebih mendalam dengan jumlah peserta yang lebih besar untuk memastikan efektivitas tetris, terutama dalam situasi nyata,” tulis profesor kesehatan mental di Universitas Charles Darwin, Daniel Bressington dan peneliti di ilmu kesehatan Universitas Charles Darwin, David A. Mitchell di The Conversation.
“Selain itu, karena semua penelitian sebelumnya dilakukan dengan bimbingan profesional, belum diketahui bagaimana intervensi ini akan bekerja tanpa dukungan tersebut.”
Meski tampaknya bermanfaat sebagai strategi yang digunakan oleh profesional kesehatan mental, namun Bressington dan Darwin mengingatkan, tetris bukanlah solusi ajaib untuk mengatasi trauma.
“Bermain tetris tidak serta-merta menghilangkan ingatan yang mengganggu, dan PTSD memiliki berbagai gejala yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan bermain,” tulis Bressington dan Darwin di The Conversation.


