close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sungai di Indonesia./Foto Udik_Art/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi sungai di Indonesia./Foto Udik_Art/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Lingkungan
Rabu, 14 Mei 2025 06:25

Bahaya pencemaran limbah antibiotik di sungai seluruh dunia

Antibiotik amoksisilin paling banyak mencemari sungai di Indonesia.
swipe

Sungai-sungai di seluruh dunia kini membawa ancaman yang tidak terlihat tetapi kuat: limbah antibiotik. Hal itu merupakan temuan dari penelitian yang dipimpin Universitas McGill di Kanada, yang terbit di jurnal PNAS Nexus baru-baru ini, bertajuk “Antibiotics in the global river system arising from human consumption”.

Studi ini adalah yang pertama kali memperkirakan skala pencemaran sungai global akibat penggunaan antibiotik oleh manusia. Para peneliti memperkirakan, setiap tahun sungai menerima 8.500 ton antibiotik—hampir sepertiga dari konsumsi manusia. Sistem air limbah, yang dirancang memurnikan, gagal mencegah residu ini menyusup ke saluran air alami. Akibatnya, jejak antibiotik tetap ada, membahayakan ekosistem perairan dan kesehatan manusia.

“Meskipun jumlah residen dari masing-masing antibiotik sangat sedikit di sebagian besar sungai, yang membuatnya sangat sulit dideteksi, paparan lingkungan yang kronis dan kumulatif terhadap zat-zat ini tetap dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia dan ekosistem perairan,” kata peneliti pascadoktoral geografi di Universitas McGill dan penulis utama studi ini, Ehalt Macedo, dikutip dari situs McGill.

Para peneliti menggunakan model global yang divalidasi oleh data lapangan dari hampir 900 lokasi sungai. Dikutip dari The Center for Infectious Disease Research and Policy (Cidrap), tim peneliti menggunakan model yang dikembangkan untuk memprediksi distribusi dan nasib polutan kimia dari pabrik pengolahan air limbah dan air limbah yang tidak diolah ke lingkungan perairan. Mereka menghitung seberapa banyak dari perkiraan konsumsi manusia tahunan dari 40 antibiotik yang paling sering digunakan berakhir di sungai dan lautan.

Berdasarkan data penjualan antibiotik global tahun 2012 hingga 2015, para peneliti memperkirakan, orang mengonsumsi sekitar 29.200 ton dari 40 antibiotik yang paling banyak digunakan setiap tahun dan meneguarlan 20.500 ton setelah metabolisme. Dari jumlah itu, sebanyak 8.500 ton dibuang ke perairan setelah pengolahan atau pelemahan alami dalam tanah, serta 3.300 ton mencapai lautan dunia atau danau lewat sungai.

Di sebagian besar sungai, jumlah total residu antibiotik berubah menjadi konsentrasi yang sangat rendah yang berada di bawah tingkat dampak lingkungan potensial. Namun, selama kondisi aliran rendah, ketika pengenceran lebih sedikit, para peneliti memperkirakan, 6 juta kilometer sungai memiliki konsentrasi antibiotik yang melebihi ambang batas risiko tinggi.

Pada sungai sepanjang 3,8 juta kilometer dengan setidaknya satu antibiotik yang menimbulkan risiko lingkungan tinggi di kondisi aliran rendah, amoksisilin, seftriakson, dan sefiksim merupakan kontributor utama terahdap tingkat paparan tinggi. Para peneliti juga memperkirakan, 750 juta orang (10% populasi global) terpapar 1% perairan permukaan teratas dengan konsentrasi kumulatif antibiotik tertinggi.

Disebut dalam penelitian itu, dari 15 negara dengan total panjang sungai tertinggi dalam kategori risiko tinggi atau sangat tinggi pada kondisi aliran rendah, India, Iran, Nigeria, Ethiopia, Turki, Vietnam, dan Pakistan punya lebih dari 80% dari total panjang sungai berisiko kontaminasi antibiotik.

“Sekitar 315 juta orang di India berpotensi terpapar risiko lingkungan yang timbul dari sungai yang terkontaminasi antibiotik,” tulis Healthworld.com.

Sementara Indonesia, termasuk pula yang punya risiko serupa. Dari penelitian itu, sebesar 8,9% dari 62.700 panjang sungai di Indonesia terpapar limbah antibiotik. Sekitar 5 juta orang Indonesia berpotensi terpapar risiko lingkungan akibat sungai yang terkontaminasi.

Zat yang paling banyak mencemari sungai di Indonesia adalah amoksisilin—antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri seperti infeksi telinga tengah, radang tenggorokan, pneumonia, infeksi kulit, infeksi odontogenik, dan infeksi saluran kemih.

“Sungai-sungai di wilayah yang padat penduduk paling menderita karena sistem pembuangan air limbah yang tidak memadai kesulitan mengatasi meningkatnya penggunaan antibiotik,” tulis Earth.

Menurut profesor hidrologi global di Universitas McGill, yang juga salah satu peneliti studi ini, Bernhard Lehner, penelitian mereka tidak bermaksud untuk memperingatkan tentang penggunaan antibiotik. Sebab, manusia masih membutuhkannya untuk pengobatan.

“Tapi temuan kami menunjukkan, mungkin ada efek yang tidak diinginkan pada lingkungan perairan dan resistensi antibiotik, yang memerlukan strategi mitigasi dan pengelolaan untuk menghindari atau mengurangi implikasinya,” ujar Lehner dalam situs McGill.

Para peneliti mencatat, masalahnya kemungkinan jauh lebih buruk. Sebab, riset mereka tidak menyertakan residu dari antibiotik yang digunakan pada hewan penghasil makanan—yang banyak di antaranya juga digunakan dalam pengobatan manusia—atau dari produksi farmasi.

Maka dari itu, menurut profesor teknik lingkungan di Universitas McGill yang juga salah satu peneliti itu, Jim Nicell, program pemantauan memainkan peran penting dalam mencegah pencemaran sungai. “Untuk mendeteksi kontaminasi antibiotik atau bahan kimia lainnya di perairan, terutama di area yang menurut model kami berisiko,” kata Nicell, dikutip dari Earth.

Meski begitu, deteksi saja tak cukup. Peningkatan fasilitas pengolahan air limbah, terutama di daerah berpendapatan rendah, menjadi sesuatu yang penting. “Penerapan sistem penyaringan yang canggih dapat mengurangi konsentrasi antibiotik secara signifikan, sehingga menjaga kehidupan akuatik dan kesehatan manusia,” tulis Earth.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan