Burung sejenis akan berkumpul bersama. Pepatah lama ini sering dipakai untuk menjelaskan bahwa pasangan dengan kepribadian mirip cenderung lebih bahagia dan langgeng. Sebaliknya, perbedaan sifat dianggap berisiko memicu ketidakcocokan.
Namun, sebuah studi baru asal Jerman justru menantang anggapan itu. Hasil riset menunjukkan kepuasan dalam hubungan lebih banyak ditentukan oleh kepribadian diri sendiri. Kepribadian pasangan hanya sedikit berpengaruh.
Studi bertajuk "Relationship satisfaction and The Big Five – Utilizing longitudinal data covering 9 years" itu dilakoni Kathrin Bach, Marco Koch, dan Frank M. Spinath. Hasil riset sudah dipublikasikan di Jurnal Science Direct, belum lama ini.
Peneliti Jerman menganalisis data dari studi longitudinal yang mengikuti orang-orang kelahiran 1970-an, 1980-an, hingga 1990-an. Dari ribuan responden, ada 972 individu yang masih bertahan dalam hubungan heteroseksual jangka panjang setelah sembilan tahun pengamatan.
Di awal studi, setiap partisipan mengisi kuesioner kepribadian berdasarkan lima dimensi utama, yakni ekstroversi (ramah, energik), ketekunan (teratur, bertanggung jawab), neurotisisme (mudah cemas, sensitif), agreeableness (ramah, penuh empati), keterbukaan terhadap pengalaman (penasaran, imajinatif).
Setiap tahun, mereka kemudian melaporkan tingkat kepuasan dalam hubungan. Ini memberi gambaran stabil, bukan sekadar potret sesaat dalam relasi personal para partisipan.
Analisis awal menemukan perempuan cenderung mendapat skor lebih tinggi di hampir semua dimensi kepribadian dibanding laki-laki. Menariknya, mayoritas pasangan tidak menunjukkan kemiripan berarti dalam sifat-sifat itu, kecuali sedikit kesamaan pada aspek ketekunan.
"Dengan kata lain, pasangan tidak perlu punya kepribadian mirip untuk bisa bertahan lama, tapi juga tidak otomatis berlaku hukum “opposites attraction,” jelas Bach dan kawan-kawan seperti dikutip dari Greater Good.
Hasil berikutnya cukup mengejutkan: kepuasan dalam hubungan ternyata lebih ditentukan oleh sifat bawaan diri sendiri dibanding sifat pasangan. Orang yang lebih neurotis sejak awal cenderung kurang bahagia dalam hubungan jangka panjang, tak peduli sifat pasangannya.
“Individu dengan neurotisisme tinggi biasanya lebih impulsif, cemas, dan rentan. Hal ini berpengaruh pada kepuasan hubungan melalui proses kognitif (misalnya merasa tidak aman), emosional (takut ditinggalkan), maupun perilaku (sikap pasif-agresif).”
Sebaliknya, individu yang lebih tekun (conscientious) justru lebih puas dengan hubungannya, lagi-lagi terlepas dari sifat pasangannya. “Ketekunan berkaitan dengan rasa tanggung jawab, keteraturan, dan kehati-hatian,” jelas penulis studi.
Sifat ini membuat orang lebih menikmati rutinitas dan stabilitas dalam hubungan jangka panjang. Ekstroversi memberi hasil menarik: perempuan yang ekstrovert justru lebih tidak puas dengan hubungannya, sementara efek serupa tak ditemukan pada laki-laki.
Peneliti menduga hal ini terkait beban peran sosial, seperti pengasuhan anak, yang mungkin membatasi ruang perempuan ekstrovert untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Selain itu, sifat agreeableness dan keterbukaan tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kepuasan dalam hubungan jangka panjang. "Hubungan jangka panjang terutama dipengaruhi oleh kepribadian individu, sementara efek pasangan dan perbedaan gender tak berpengaruh banyak,” tulis para peneliti.
Artinya, dalam hubungan jangka panjang, faktor terbesar yang menentukan kebahagiaan bukanlah sifat pasangan, melainkan kepribadian kita sendiri. Ini bisa mengejutkan, terutama bagi mereka yang kerap menyalahkan “sifat buruk pasangan” sebagai sumber masalah.
Meski kepribadian sering dianggap bawaan, riset terbaru menunjukkan sifat manusia ternyata lebih plastis dari dugaan. Kita bisa melatih diri menjadi kurang neurotis atau lebih tekun, jika itu membuat hubungan lebih sehat.