Cara menjaga kesehatan mental di tengah situasi kerusuhan
Kerusuhan sipil didefinisikan sebagai tindakan kekerasan dan gangguan yang merusak hukum serta ketertiban umum. Ini mencakup berbagai perilaku, seperti huru-hara, penghalangan, tindakan kekerasan, hingga perkumpulan yang melanggar hukum.
Sebagian besar aksi berlangsung damai, namun ada pula yang berubah menjadi kerusuhan disertai kekerasan dan kehancuran. Menyaksikan situasi ini—baik secara langsung maupun melalui layar—dapat memicu rasa takut, cemas, marah, bahkan putus asa. Banyak orang mulai merasa tidak aman dan kewalahan oleh emosi mereka sendiri.
Berikut adalah beberapa cara menjaga kesehatan mental di tengah situasi yang tak menentu, dikutip dari Discovery Mood.
Bernapas
Tanpa kita sadari, bernapas sering menjadi cara alami tubuh kita untuk mengatur emosi dan menenangkan diri. Misalnya, hela napas lega yang keluar setelah menyelesaikan tugas berat, atau tarikan napas tiba-tiba saat kita terkejut. Kedua hal ini adalah tanda bagaimana pernapasan bekerja tanpa kita pikirkan.
Pernapasan bukan hanya proses biologis, tetapi juga alat yang ampuh untuk menenangkan sistem saraf. Dengan bernapas secara sadar, kita dapat meredakan rasa cemas, takut, bahkan amarah. Yang menarik, latihan pernapasan tidak membutuhkan waktu lama dan bisa dilakukan di mana saja—baik di rumah, di tempat kerja, maupun saat berada di tengah situasi penuh tekanan.
Salah satu teknik yang sederhana namun efektif adalah sebagai berikut: tarik napas perlahan melalui hidung selama empat hitungan, tahan napas selama dua hitungan, lalu hembuskan perlahan melalui hidung selama enam hitungan. Ulangi pola ini beberapa kali. Hanya dalam beberapa putaran, Anda akan merasakan ketenangan mulai hadir, membantu pikiran lebih jernih dan fokus, bahkan di tengah kekacauan.
Dengarkan tubuh dan perasaan
Tubuh kita jauh lebih bijak daripada yang kita kira. Ia selalu mengirimkan sinyal—tanda bahwa kita perlu istirahat, memulihkan diri, atau mencari perlindungan, baik secara fisik maupun emosional. Belajarlah mengenali sinyal-sinyal ini. Luangkan waktu sejenak untuk menyadari apa yang tubuh Anda coba katakan. Terkadang, itu berarti menaruh ponsel di ruangan lain agar Anda bisa benar-benar beristirahat.
Selain memperhatikan tubuh, penting juga untuk mengakui emosi yang muncul. Dalam masa-masa sulit, wajar jika perasaan datang silih berganti—marah, frustrasi, sedih, gembira, bahkan malu—terkadang semuanya muncul hanya dalam hitungan jam. Alih-alih menekan perasaan tersebut, cobalah untuk mengenalinya. Beri nama pada emosi yang Anda rasakan. Menuliskannya di jurnal atau mengungkapkannya dengan kata-kata dapat membantu Anda memprosesnya dengan lebih sehat.
Berbicara dengan orang lain
Dalam masa-masa sulit, memiliki orang yang bisa dipercaya untuk diajak berbicara adalah hal yang sangat berharga. Misalnya, berbagi dengan teman atau keluarga terdekat. Berbagilah dengan orang-orang terkasih tentang apa yang Anda rasakan: ketakutan, kekhawatiran, atau frustrasi terhadap situasi yang terjadi. Dengan berbicara, kita bukan hanya melepaskan beban, tetapi juga membuka ruang untuk saling mendukung. Begitu pula, bersiaplah untuk mendengarkan mereka yang juga sedang terluka.
Ketika berdiskusi dengan orang yang memiliki pengalaman atau pandangan berbeda, kita mungkin tergoda untuk bersikap defensif atau menutup diri. Namun, di tengah kondisi yang penuh ketegangan ini, justru penting untuk berkomunikasi dengan hati terbuka. Kerusuhan dan ketidakpastian sering memunculkan percakapan yang sulit—semua orang ingin suaranya didengar dan dihargai.
Menghindar sejenak dari layar
Media sosial memang memiliki peran penting—membantu kita tetap terhubung dengan orang-orang terkasih, mendapatkan informasi terbaru, bahkan menjadi sumber hiburan di tengah usaha kita menjaga kesehatan dan keselamatan.
Namun, terlalu banyak informasi, baik yang benar maupun yang keliru, dapat membuat kita kewalahan. Kita tentu ingin tetap mengetahui perkembangan situasi, terutama saat terjadi krisis atau kerusuhan sipil. Tapi tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Beristirahat dari arus informasi bukan berarti kita acuh tak acuh, melainkan memberi diri sendiri ruang untuk bernapas dan pulih.
Cobalah untuk mengambil jeda layar setiap hari, sekadar menjauh dari ponsel, komputer, atau televisi. Durasi jeda ini bisa singkat, hanya beberapa menit, atau lebih lama hingga beberapa jam—sesuaikan dengan kebutuhan Anda. Gunakan waktu ini untuk melakukan hal-hal yang menenangkan dan membangun koneksi yang lebih nyata: berjalan-jalan, menghubungi orang terkasih lewat telepon tanpa distraksi, atau sekadar menarik napas dalam-dalam dan merasakan keheningan.
Tidak apa-apa untuk mencari bantuan
Tidak peduli sekuat apa kita berusaha mengelola emosi, ada kalanya beban terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian. Menyaksikan penderitaan, ketidakadilan, dan kekacauan setiap hari bisa sangat melelahkan, bahkan traumatis—terutama jika Anda secara langsung terdampak oleh situasi tersebut.
Ingatlah, tidak ada yang salah dengan meminta bantuan. Mencari dukungan dari profesional bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk keberanian dan kepedulian terhadap diri sendiri. Dengan bimbingan yang tepat, Anda dapat memproses perasaan yang kompleks dan menemukan cara yang lebih sehat untuk menghadapinya.


