Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo menerapkan pajak untuk olahraga yang saat ini tengah menjadi tren, padel. Menurut Pramono, pajak hiburan yang diberlakukan untuk olahraga komersial diniai wajar karena mayoritas pemainnya berasal dari kalangan yang mampu membayar sewa fasilitas.
“Yang main padel kan rata-rata orang mampu. Untuk sewa lapangan saja berapa, mampu kan?” kata Pramono, dikutip dari Antara.
Pemprov DKI Jakarta sudah menetapkan fasilitas olahraga padel sebagai salah satu objek pajak daerah, dengan tarif sebesar 10%. Kebijakan itu mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025.
Menurut Ketua Satuan Pelaksana Penyuluhan Pusat Data dan Informasi Pendapatan Jakarta, Andri M. Rijal, pajak itu dikenakan atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penggunaan sarana dan prasarana olahraga yang dikomersialkan.
"Baik melalui biaya masuk, sewa tempat, maupun bentuk pembayaran lainnya," kata Andri, dikutip dari Antara.
Padel masuk dalam kategori olahraga permainan yang menjadi objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa kesenian dan hiburan. Adapun fasilitas padel yang ditulis dalam keputusan Bapenda yang ditanda tangani pada 20 Mei 2025 adalah lapangannya. Selain lapangan padel, ada 20 jenis fasilitas olahraga lain yang turut dikenakan pajak serupa, seperti lapangan futsal, tenis, bulu tangkis hingga tempat kebugaran seperti yoga dan pilates.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, kebijakan pajak untuk lapangan padel belum tepat diterapkan, mengingat olahraga ini masih menjadi tren baru. Belum sepenuhnya dikenal masyarakat.
Trubus mengatakan, penerapan pajak yang bersifat top-down minim partisipasi publik dalam perumusannya, sehingga cenderung terasa dipaksakan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap kesiapan regulasi dan infrastruktur yang ada.
“Kekhawatiran saya karena kebijakan ini diterapkan secara terburu-buru dan menambah beban dari sisi pajak, masyarakat justru bisa jadi memilih untuk meninggalkan olahraga-olahraga tersebut. Padahal, aktivitas olahraga sangat penting untuk kesehatan dan kualitas hidup masyarakat,” ucap Trubus kepada Alinea.id, Jumat (11/7).
Lebih jauh lagi, dia menyebut, kebijakan ini dapat dianggap sebagai bentuk komersialisasi terhadap ruang-ruang olahraga publik. Jika tren penerapan pajak terhadap fasilitas publik terus berlanjut, Trubus khawatir, akses masyarakat terhadap ruang publik akan semakin terbatas.
“Kalau pendekatannya seperti ini terus, pada akhirnya hampir semua hal bisa saja dikenakan pajak,” tutur Trubus.
“Bukan tidak mungkin ruang-ruang terbuka lainnya yang seharusnya bisa diakses secara bebas oleh masyarakat juga akan ikut terdampak.”