sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dari donasi hingga boikot: Aksi gen Z dukung Palestina

Generasi Z kebanyakan mengetahui isu penyerangan Israel ke Gaza, Palestina, dari media sosial.

Rizkia Salsabila Hanifa Nabilla Elansary
Rizkia Salsabila | Hanifa Nabilla Elansary Senin, 06 Nov 2023 16:00 WIB
Dari donasi hingga boikot: Aksi gen Z dukung Palestina

Andrian, 21 tahun, merasa serangan yang dilakukan Israel ke Gaza, Palestina tak bisa dibenarkan. Ia kecewa dengan PBB yang tak melakukan apa pun, sementara korban sipil terus berjatuhan. Hingga Senin (6/11), tercatat nyaris 10.000 warga Palestina tewas karena serangan Israel—yang mereka klaim sebagai balasan atas serangan militan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini mengetahui konflik antara Palestina dengan Israel dari pembicaraan orang-orang di lingkungannya. “Dan mulai search di media sosial, seperti YouTube dan Instagram,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (3/11).

Andrian mendukung rakyat Palestina yang tengah tertindas dengan mendonasikan uang dan pakaian. Ia pun mengaku, kerap memberikan dukungan moral melalui media sosialnya. Andrian merupakan anggota pendukung klub sepak bola Persija, The Jak Mania Korwil Cengkareng, Jakarta Barat. Hingga Jumat (3/11), komunitasnya berhasil mengumpulkan dana kemanusiaan lebih dari Rp104 juta.

“Ini semua tentang kemanusiaan dan keadilan dari kejahatan genosida,” ujar dia.

Sama seperti Andrian, Anisa Fahdilla, 21 tahun, juga termasuk generasi Z (kelahiran 1997-2012) yang menyatakan dukungannya terhadap Palestina. “Saya mendukung kebebasan Palestina dari penjajahan Israel karena pada dasarnya, semua negara memiliki hak untuk merdeka,” kata mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini, Jumat (3/11).

Anisa mengatakan, sudah mengetahui konflik Palestina-Israel sejak kecil. Lalu, ketika menginjak bangku SMP dan SMA, ia mulai mendalami apa yang terjadi di sana. Dukungan terhadap Palestina diwujudkan Anisa dengan berdonasi. Ia pun aktif membangkitkan kesadaran teman-temannya di media sosial tentang isu Palestina.

“Saya paling sering meng-update mengenai berita-berita terbaru soal Palestina di Instagram,” kata Anisa.

Yang dilakukan gen Z

Sponsored

Terpisah, pengamat media sosial dari Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria mengungkapkan, gen Z mengetahui isu Palestina melalui media sosial. Ia melihat, ada sekitar 30 akun media sosial, terutama di TikTok, yang menyebarkan sejarah konflik Palestina-Israel dengan cara yang ringan ala gen Z.

“Konten-konten seperti itu banyak diakses dan disukai sama gen Z,” ujar Hariqo, Senin (6/11).

“Dengan gaya penyampaian kekinian, transisi video yang cukup cepat ditambah musik, jadi mereka mengetahui.”

Isu mendukung kemerdekaan Palestina juga menjadi bagian dari sikap konstitusi kita. Ditambah lagi, tokoh-tokoh publik yang memberi dukungan terhadap Palestina. “Sehingga menimbulkan pertanyaan, ‘kenapa kita harus mendukung Palestina?’” ucapnya.

“Nah, baru di situ muncul kesadaran-kesadaran untuk mencari informasi.”

Apalagi, lanjutnya, gen Z saat ini sudah terkoneksi dengan internet, sehingga memudahkan mencari informasi. Dengan melimpahnya saluran alternatif berbasis internet, terjadi pula keseimbangan informasi yang dicari. Kesadaran, bagi Hariqo, baru akan muncul ketika mereka melakukan semacam penelitian kecil-kecilan berbasis internet.

“Di berbagai informasi itulah mereka bisa memutuskan berpihak ke siapa. Gen Z punya kemampuan untuk itu,” tuturnya.

Faktor lainnya yang membuat gen Z mendukung Palestina adalah visual yang tersebar di media sosial. Selama hampir sebulan masifnya agresi Israel ke Gaza, menurut Hariqo, ada beberapa tayangan video anak-anak yang terluka dan tewas berseliweran di media sosial.

“Itu juga menimbulkan empati dan dukungan terhadap Palestina, ya,” kata Hariqo.

Selain donasi dan dukungan moral, di media sosial pun ramai aksi seruan boikot produk dan merek yang diduga terafiliasi dengan Israel. Salah satunya dilakukan gerakan BDS—akronim boikot, divestasi, dan sanksi terhadap Israel—di Indonesia. Gerakan ini bagian dari Palestinian BDS National Committee (BNC).

Pegiat BDS Indonesia, Giri Taufik mengatakan, gerakan BDS dimulai pada 2005, saat seorang warga negara Israel keturunan Palestina, Omar Bogati, menginisiasi aksi boikot itu. Mulanya, fokus gerakan BDS terkait pendudukan Israel di wilayah Tepi Barat atau West Bank.

“Gerakan ini sangat cair. Jadi, tidak ada organisasinya. Semua bisa turut serta berpartisipasi, asal dalam konteks mendukung perjuangan Palestina,” tutur Giri, Sabtu (4/11).

“Fokus kepada kesetaraan hak antara warga Palestina dan Israel, juga berdasarkan prinsip antidiskriminasi, menghindari ujaran antisemit atau anti-Yahudi.”

Giri menjelaskan, target dari BDS adalah perusahaan-perusahaan yang punya andil atau berkontribusi dalam pendudukan Israel di Palestina. “Jadi, kita itu bukan yang boikot ke mana-mana, semua dari Amerika atau Israel kita boikot. Enggak gitu,” katanya.

Menurut Giri, BDS adalah gerakan antikekerasan yang paling sukses. Sebab, memberikan dampak terhadap perekonomian Israel. Bahkan, kata Giri, gerakan ini didukung 46% generasi muda di Amerika Serikat. Meski begitu, ia tak tahu apakah gerakan ini juga berpengaruh terhadap gen Z di Indonesia.

“Jadi untuk memboikot dan tidak itu dikembalikan ke individu,” tutur dia.

Giri mengapresiasi gen Z di media sosial yang mendukung Palestina. Baginya, menyuarakan dukungan ke Palestina adalah sebuah pukulan buat Israel. “Kita membantu memotret mereka (Israel) sebagai penindas dan penjajah, itu sangat memukul dan memberikan tekanan psikologis kepada Israel,” ujarnya.

“Nah, itu hal yang paling minimal yang bisa dilakukan.”

Lebih lanjut, kata dia, jika ingin lebih lagi memberi dukungan, bisa berdemonstrasi atau berdonasi. “Tapi itu kan tidak menyelesaikan permasalahan struktural yang mendasarnya,” kata dia.

“Nah, direct action strategy lain yang sejauh ini (bisa dilakukan) adalah melakukan boikot. (Tapi) ini bukan berarti kita benci sama produknya, cuma (benci) tindakan penjajahannya.”

Bagi Hariqo, secara umum ia melihat, gen Z tak berpikiran ekstrem ingin salah satu bangsa punah. Namun, mereka hanya ingin perdamaian terjadi atau berempati. “Artinya, kesadaran itu penting bagi mereka,” ucap Hariqo.

“Dampak perang itu ada yang kasat mata, yakni dimenangkan Israel, ada yang tidak terlihat, yaitu yang diekspresikan di media sosial pemenang sesungguhnya adalah Palestina.”

Berita Lainnya
×
tekid