sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ekspresi diri dan kesenangan semu di media sosial

Banyak orang yang menunjukkan ekspresi diri di media sosial. Tujuannya berbeda-beda, mulai dari popularitas hingga mengharap endorsement.

Laila Ramdhini
Laila Ramdhini Jumat, 05 Okt 2018 18:45 WIB
Ekspresi diri dan kesenangan semu di media sosial

Zaman sekarang menjadi orang terkenal caranya mudah. Unggah saja video menarik yang menggambarkan diri kita di media sosial. Bisa video jalan-jalan, sedang makan, tengah bernyanyi, atau joget. Siapa tahu, setelah diunggah menjadi selebritas.

Buktinya, sudah banyak selebritas dadakan yang lahir dari media sosial. Sebut saja Awkarin, Young Lex, dan Ria Ricis. Sebelumnya, mereka adalah orang biasa yang punya ide mengunggah video ke berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Twitter, ataupun Youtube.

Nama Ria Ricis pertama kali saya dengar dari seorang sepupu yang masih duduk di bangku SMP. Ria memiliki pengikut di akun Instagram-nya sebanyak 9,7 juta. Hampir menyaingi Presiden Joko Widodo, yang memiliki 12 juta pengikut. Ria pun memiliki akun Youtube, dengan 5,7 juta subscribers.

Belakangan, banyak perusahaan ternama yang mempromosikan produknya melalui akun media sosial Ria. Beberapa kali Ria pun diundang ke acara talk show atau konser musik di televisi.

Ketika saya cek di akun Instagram-nya, dari total 975 unggahan, konten yang diunggah Ria adalah vlog dirinya sendiri, saat bermain squishy kesayangannya, jalan-jalan bersama temannya, dan makan-makan. Di dalam channel Youtube-nya, gadis yang memiliki nama asli Ria Yunita ini pun mengunggah hal serupa.

Berbeda dengan Ria, akun Step by Step ID milik Natya Shina dan Rendy Pritananda memamerkan kebolehan mereka menari di depan publik. Saya sangat tertarik melihat video mereka menari dengan lagu latar “Meraih Bintang” yang dilantunkan pedangdut Via Vallen.

Lagu tersebut merupakan lagu tema untuk Asian Games 2018. Mereka mengekspresikan diri di pelataran Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, mereka asyik menari di antara orang-orang yang lalu-lalang.

Aksi mereka yang diunggah di Youtube mendapatkan like sebanyak 202.000. Warganet juga meninggalkan komentar positif. Selain video tarian, Step by Step ID pun mengunggah ulasan makanan, perjalanan, dan tutorial rias.

Sponsored

Natya dan Rendy, yang memiliki channel Youtube Step by Step ID, tengah menari di ruang publik. (www.instagram.com/natyashina/).

Menari di depan publik

Kepada saya, Natya dan Rendy mengaku memang berprofesi sebagai penari. Tak heran, di dalam video yang saya tonton, mereka tak lagi kaku menari.

Natya sendiri sering mengunggah video dirinya menari atau melakukan kegiatan sehari-hari di akun Instagram dan Youtube sejak 2010. Video-videonya kerap mendapatkan respons positif warganet. Bahkan, tak sedikit warganet yang meminta Natya mengunggah video baru berisi tutorial tari.

“Dari situ saya bilang ke Rendy, kita bikin channel Youtube video tutorial, yang berisi step by step untuk menari atau konten lainnya tentang kami,” kata Natya kepada saya, Kamis (4/10).

Maka, terciptalah channel Youtube Step by Step ID pada 2016. Soal menari di depan publik, Natya mengaku pertama kali melakukan bersama adiknya pada 2016 di Thailand. Sejak saat itu Natya ketagihan menari.

Setelah itu, Natya bersama Rendy mulai menari di depan publik ketika berada di Korea Selatan. Sebagai latar, mereka memilih lagu K-Pop.

Dance in public itu ada adrenaline rush dan tantangan tersendiri. Kita mendapat perhatian dari orang sekitar,” ujar Natya.

Pemilihan lagu untuk latar pun selektif. Mereka memilih lagu yang sudah akrab di telinga orang. Tujuannya, untuk menarik perhatian. Di Indonesia, mereka pun memilih lagu yang sedang hits, seperti “Syantik” atau “Meraih Bintang”.

“Kita pernah pakai lagu K-Pop di Indonesia, tapi orang nggak terlalu ngerti lagunya. Jadi, adrenaline tidak terasa, deh,” kata Natya.

Sama halnya seperti saat mereka menari dan berjoget di depan publik, “perasaan meledak-ledak” juga dirasakan kala mendapatkan sorotan di dunia maya. Natya mengaku, sejak mengunggah video menari di Thailand dan Korea Selatan, penonton mereka “histeris”, dengan memberikan like, komentar, dan menyebarkannya.

“Sejak video itu diunggah. Boom! Banyak sekali respons dari mereka (warganet). Begitu pula banyak subcriber baru,” kata dia.

Setelah itu, banyak orang mengunggah video tiruan dari tarian mereka. Banyak pula yang mengikuti jejak mereka. Natya mengatakan, mereka merasa termotivasi untuk membuat konten yang lebih baik, menginspirasi, dan bisa menjangkau lebih banyak orang lagi.

Sementara itu, Rendy menuturkan, mereka masih fokus eksis di Youtube, belum ada rencana membuat akun Instagram. Menurutnya, masing-masing platform memiliki gaya dan target pasar berbeda. Sehingga, mereka lebih selektif memilih media dan mengunggah konten. Intinya, Natya mengatakan, mereka konsisten mengunggah konten yang menyenangkan dan bermanfaat.

Awas kecanduan

Ada banyak tujuan orang mengunggah dan membagikan foto maupun video mereka di media sosial. Ada yang mencari ketenaran, mendapatkan perhatian, bahkan meraup keuntungan lewat endorsement.

Namun, psikolog dan pendiri Ahmada Consulting Rima Olivia mengatakan, gejala anak-anak muda saat ini cenderung memuja diri berlebihan. Sesungguhnya, kebanggaan terhadap diri sendiri cukup baik dalam kadar tertentu, seperti membangun sifat optimis.

Menurutnya, generasi yang lahir setelah tahun 1980-an memang sangat lekat dengan dunia digital berbasis internet. Bahkan, mengakses dunia maya melalui perangkat digital menjadi nomor satu dalam kehidupan mereka. Mereka pun terdorong untuk membagikan segala hal tentang dirinya di dunia maya.

“Gawai sudah menjadi perpanjangan tubuh mereka. Maka, kebutuhan mengakses dunia maya dan membagikan cerita tentang dirinya juga sangat tinggi,” kata Rima kepada saya, Selasa (3/10).

Menurut Rima, pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang. Hal itu kemudian mendorong mereka unjuk diri di media sosial, dengan mengunggah foto atau video.

“Respons dari orang lain terhadap mereka inilah yang ditunggu-tunggu,” ujar Rima.

Lebih lanjut, Rima mengatakan, timbal balik dari sesama pengguna media sosial datang berupa like, mention, atau komentar dari para pengikutnya. Pengikut-pengikut baru pun bermunculan.

Tahap berikutnya, kata Rima, mereka akan menjadi pusat perhatian linimasa. Bahkan bisa menjadi selebritas secara instan. Hal ini yang akan menimbulkan “rasa nikmat” pada diri orang tersebut.

Rima mengatakan, banyak ahli menyebut ada adrenaline rush ketika banyak mendapatkan respons, seperti like, follow, atau mention.

“Apalagi kalau viral. Maka, di dalam otak pun ada peningkatan hormon endorphin (senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang),” kata Rima.

Meski begitu, kata Rima, ketika kebanggaan berlebihan itu dibagikan lewat media sosial, muncul masalah baru. Menurutnya, kondisi ini bisa menjadi buruk saat para pengguna media sosial mulai kecanduan dengan kenikmatan tadi. Maka, mereka akan terus mencari jalan untuk memuaskan diri.

“Kalau sudah jadi candu, ini nggak baik. Dengan begitu, kita tidak bisa mengendalikan diri. Kita juga akan kehilangan atensi pada lingkungan sekitar, dan hanya fokus pada kehidupan di dunia maya,” katanya.

Tak kalah penting, menurut Rima, pengguna media sosial tidak terjebak untuk mendapatkan popularitas secara instan. Dalam dunia nyata, kata Rima, seseorang harus berproses untuk mencapai suatu kedudukan. Namun, di media sosial, hal itu bisa didapat dengan mudah.

Fenomena mengunggah video di media sosial, menurut Rima, belum masuk kategori narsistik. Dalam ilmu psikologi, narsistik merupakan suatu gangguan mental atau kepribadian di mana seseorang menganggap dirinya sangat penting. Bahkan, dia mencintai dan memuja dirinya sendiri.

Berita Lainnya
×
tekid