sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Filosofi di balik Partai Anjing

Kalau partai jadi aktor korupsi, negara pasang badan, dan KPK dipaksa jadi macan ompong, maka wargalah yang harus jadi anjing penjaga.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Selasa, 03 Apr 2018 17:43 WIB
Filosofi di balik Partai Anjing

Berlambang segi lima merah dengan gambar anjing di porosnya, Partai Anjing besutan musisi asal Malang Iksan Skuter punya program kerja korupsi terang-terangan. Caranya dengan menguasai suara di Senayan, agar ongkos politik yang mahal bisa segera ditambal.

Demikian narasi besar yang diusung musisi jebolan fakultas hukum tersebut, dalam lagunya bertajuk “Partai Anjing”. Lagu ini sendiri adalah bagian kompilasi volume 1 “Frekuensi Perangkap Tikus” yang diinisiasi Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2013 lalu. Iksan bersama dengan sembilan musisi lain seperti Zeke Khaseli, Risky Summerbee and the Honeythief, personil Efek Rumah Kaca Adrian Yunan Faisal, menggugat kesadaran publik tentang ancaman korupsi.

Iksan di album itu tampil prima dalam balutan musik langgam country. Kendati ia tampak sederhana, menyanyi diiringi gitar warna hitam dan topi berlogo bintang merah khas revolusioner progresif Kuba Che Guevara, Iksan sukses membakar kemarahan pendengar. Suaranya serak, liriknya menggigit. Ia menyoroti laku politisi di partai politik yang menurutnya kerap mengobral janji palsu saat berada di lingkar kekuasaan.

“Jika rakyat mewakilkan suaranya kepada anggota-anggota dewan, lalu setelah mereka terpilih, mereka sebagian besar hanya mewakili diri mereka sendiri, dan golongannya. Lalu, suara rakyat diwakili oleh siapa?” ujar penggemar kopi itu, dalam beberapa kesempatan.

ICW menyebut lagu Iksan tegas, penuh aspirasi, dan sarat akan sindiran terhadap para koruptor. Pemilik nama lengkap Mohammad Iksan tersebut memang sengaja membuat lagu yang bertujuan menampar wajah koruptor. Tercipta di warung kopi, ia terinspirasi penggunaan umpatan spontan yang kerap terlontar dari publik, saat menyaksikan wakil mereka di pemerintahan terjerat korupsi.

“Ketika mereka melihat berita dan membaca koran tentang korupsi, ya umpatan pertama yang akan keluar ya kata-kata itu ‘anjing’ atau kalau orang Jawa bilang itu ya ‘asu’," kenang Iksan, dilansir Mongabay.

Karena punya daya ledak, lagu Iksan akhirnya wara wiri di film ’Sebelum Pagi Terulang Lagi’, yang dibintangi Alex Komang, Fauzi Baadila, hingga Adinia Wirasti.

Tak hanya sekali Iksan mengobrak-abrik kesadaran publik lewat musik. Karier bermusiknya telah jauh dimulai pada paruh 2008-an sebagai gitaris band ‘Putih’ asal Malang yang sempat beken dengan lagu ’Sampai Mati’ di 2009. Lagu-lagu Putih, kala itu banyak diputar di radio dan televisi-televisi nasional. Tema yang diangkat memang masih seputar cinta. Hingga akhirnya napas Putih jeda sejak 2010, Iksan memutuskan hengkang dan bersolo karier.

Sponsored

Dengan dalih memenuhi tanggung jawab sebagai seorang seniman yang harus tetap produktif membuat karya, Iksan bersikukuh beberapa lagunya tetap bicara cinta, hanya dari perspektif berbeda. Rasa cinta pada negara, petani, buruh, bapak membuat Iksan meraung-raung lewat sejumlah lagu yang ia buat. Album pertama hingga kelimanya, menurut Iksan, adalah ekspresi marah, sedih, dan rasa lain, yang bermuara pada cinta pada sesuatu.

Salah satu ekspresi marahnya dilatarbelakangi kesewenang-wenangan yang kerap ia temui dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal bermusik, yang notabene sangat ia cintai, ia melihat ketidakadilan. “Putih Band vakum dan sekarat atau hampir mati karena sistem industri musik yang sangat tidak sehat,” lanjutnya.

Di bidang lain, ketidakadilan juga lekat mewarnai, seperti dalam ketimpangan relasi kuasa antara perusahaan dan petani, antara wakil rakyat dan rakyatnya, pelacur perempuan dan keterbatasan lapangan kerja, pun antara pembelajar yang berhadapan dengan sistem pendidikan dengan biaya mencekik. Lagu “Partai Anjing” sendiri adalah buah ekspresi cinta Iksan pada negara yang digoyang budaya korupsi.

Berangkat dari sana, pria kelahiran Blora, Agustus 1984 ini memproduksi lima album dan sejumlah single serta kompilasi album dengan musisi indie lainnya. Mulai dari ’Matahari’ di 2012, ’Folk Populi Folk Dei’ di 2013, ’Kecil itu Indah’ (2014), ‘Shankara’ (2015), dan teranyar ‘Gulali’ (2017). Semua album bicara cinta sekaligus kritik sosial.

Meski cenderung romantis saat melantunkan nada cinta, Iksan lebih tenar dengan citra musisi yang gemar menggulirkan kritik. Baginya, musik tak sekadar materi hampa, namun alat penyampai pesan atas realitas sosial di sekitar kita. Tak heran jika pasar musiknya sangat tersegmentasi. Ia menyebutnya pendengar cerdas, sebab umumnya berasal dari kalangan aktivis, mahasiswa, dan pengamat sosial.

Lebih lanjut, Skuter yang merupakan akronim ‘Seniman Kurang Terkenal’ ini bertahan dengan sikap pribadinya, bahwa pemerintah dan rakyat tak pernah harmonis. Pemerintah baginya hanya jualan jargon, menghabiskan anggaran negara, lalu drama berulang dipentaskan: koruptor dipenjara, mencitrakan diri ‘sembuh’, lalu rakyat dipaksa memaafkan.

Di tengah balada banyaknya pesakitan KPK yang korupsi, lagu Iksan jadi pengingat tetap betapa rakyat harus tetap mawas diri. Terlebih payung hukum di Indonesia saat ini masih memberi ruang bagi koruptor untuk unjuk gigi di perhelatan demokrasi. Bahkan sejarah menunjukkan, sejumlah wakil rakyat di DPR dan kabupaten, kota, serta provinsi masih terpilih menjadi pemimpin, kendati telah mencuri uang rakyat. Bahkan ironisnya, mereka bisa terpilih hingga dua periode, termasuk dalam kasus korupsi dinasti politik yang masih saja dinafikan publik.

Berisik atau berbisik. Itulah pilihan yang menurut Iksan harus dihadapi, terutama saat dikepung isu korupsi di mana-mana. Meski mengajak pendengar untuk kritis melihat realitas sosial dan politik dewasa ini, ia tak memaksa diri. Sebab baginya kepedulian hanya milik orang yang memang sadar ingin peduli. Dalam konteks ini, Iksan memilih berisik. “Berbisiklah jika memang tak sanggup berteriak. Berkoarlah tanpa irama. Bernyanyilah dalam diam,” ujar Iksan dalam laman pribadinya.

Berisik mengkritik budaya korupsi adalah pilihan yang ia ambil dengan segala konsekuensinya. Sikap ini juga lahir lantaran banyak seniman di masa lalu yang membuktikan, medium musik cukup relevan dan optimal membawa pengaruh pada rezim. Di era Wali Wongo, seni dan musik mampu meruntuhkan Kerajaan adidaya Majapahit. Saat W.R. Supratman membuat lagu ‘Indonesia Raya’, maka Jong Sunda, Jong Jawa, Jong Sumatra bersatu menjadi Indonesia. Bahkan di era reformasi, lanjutnya, musik Iwan Fals jadi daftar melodi wajib yang didengar demonstran.

“Semua ada benang merah,” lanjutnya. Baginya musik mampu menciptakan cara pandang baru. Saat memutuskan menulis lagu ‘Partai Anjing’, ia sadar punya PR membentuk kesadaran publik bahwa wakil rakyat tak selamanya menjalankan marwahnya sebagai representasi publik. Apalagi jika tersandung isu korupsi, maka tugas Iksan menyebarkan siar perlawanan ‘menolak lupa’ dan ‘menolak diam’ akan jadi lebih berat.

Berita Lainnya
×
tekid