sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ganja dan morfin membius artis dan generasi muda 1970-an

Narkotika mulai mengancam pada 1970-an, melalui penyelundupan dan perdagangan gelap.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Senin, 19 Jul 2021 06:17 WIB
Ganja dan morfin membius artis dan generasi muda 1970-an

Seorang fan musikus Fariz RM curhat di surat pembaca majalah Vista edisi Juni 1984. Ia kecewa dengar kabar berita bahwa sang idola diduga terlibat narkotika dan dikeluarkan dari grup musiknya, Wow. Namun, dasar penggemar, ia tak percaya Fariz menggunakan narkotika.

“Mungkin saja teman-teman satu grup Fariz iri hati melihat sukses yang didapatkannya, kemudian mencoba menceritakan kabar burung bahwa Fariz terlibat narkotik,” tulis fan Fariz itu.

Entah kebetulan atau tidak, di bawah surat pembaca tersebut, terdapat surat dari penyanyi Farid Hardja. Ia mengucapkan terima kasih kepada Vista lantaran sudah sudi memuat tulisan bantahannya tentang dugaan keterlibatan dengan narkotika jenis heroin. Meskl begitu, ia mengaku terang-terangan kecanduan ganja.

“Saya memang pengisap ganja. Tapi untuk urusan narkotik berwarna putih, saya bebas dari yang satu ini dan bisa dibuktikan,” tulis Farid.

Entah mengapa, setelah pengakuan tersebut, tak ada berita bahwa Farid ditangkap polisi. Ia masih anteng saja berkarier hingga akhir hayatnya pada 1998.

Drugs-rock n roll

Tak cuma Fariz dan Farid yang dikaitkan dengan kasus narkotika. Penyanyi Euis Darliah yang terkenal era 1980-an bahkan mengaku kepada wartawan Vista, pernah menjadi pecandu narkotika selama ia masih aktif bernyanyi di kelab malam di awal kariernya.

“Ganja dan siletan di dada dan tangannya merupakan bukti ketidaksadarannya,” tulis Vista nomor 5, 1983.

Sponsored

Pada dekade 1970-an, narkotika pun akrab dengan musisi rock kita. Pengaruh obat-obatan terlarang itu tak bisa dilepaskan dari gaya hidup musisi di dunia barat.

 Aksi grup musik The Rollies saat manggung di Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur pada 1976./Foto Variasi, 30 April-6 Mei 1976.

Menurut wartawan senior Budiarto Shambazy dalam buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010), nyaris semua musisi terkenal barat pada 1960-1970 akrab dengan alkohol, heroin, atau morfin. Ia menyebut, kecanduan alkohol dan narkotika menjangkiti musisi tenar macam Eric Clapton, Brian Wilson dari The Beach Boys, Syd Barret dari Pink Floyd, dan Keith Richards gitaris Rolling Stones.

Belum lagi mereka yang meninggal karena overdosis, seperti penyanyi blues Janis Joplin, Jimi Hendrix, Keith Moon dari The Who, dan Tommy Blin dari Deep Purple. Budiarto mengatakan, secara sengaja atau tidak, kultur alkohol dan narkotika terkait erat dengan proses kreatif mereka dalam pembuatan album.

Di sisi lain, pada akhir 1960-an dan awal 1970-an di dunia barat lahir protes anak muda terhadap kemapanan, isu rasial, dan perang. Mereka dikenal sebagai flower generation. Mereka disebut pula kaum hippies, yang dicirikan berambut gondrong, berpakaian urakan, melakukan seks bebas, dan menggunakan obat bius.

Menurut Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda 1970-an (2018), semangat flower generation juga menular ke gaya hidup anak muda di kota-kota besar Indonesia. Mereka pun lalu mengadopsi kultur hippies itu, salah satunya memakai narkotika.

“Meski anak-anak muda Indonesia terpengaruh semangat flower generation, tapi mereka hanya meniru penampilan luar dari gaya hidup yang berlangsung di barat. Sedangkan nilai-nilai ideologi yang melekat pada gaya hidup tersebut tidak turut ditiru,” tulis Aria.

Era keterbukaan dengan dunia barat, setelah sekian lama dikungkung pemerintah Sukarno, memang membuat efek langsung pula bagaimana gaya hidup seks bebas dan narkotika itu dikenal anak muda. Anak-anak muda juga meniru kebiasaan band-band favorit mereka.

Personel grup musik rock God Bless pernah terjebak narkotika pada 1970-an. Usai sukses menelurkan album pertamanya bertajuk God Bless pada 1975, lantas ganja dan groupies mendekati.

Pemain kibor mereka, Yockie Suryoprayogo mulai kecanduan narkotika. Kepada Ninin P. Damayanti dari TEMPO dalam artikel “Seks, Drugs, dan Beceng” terbit 28 November 2011, Yockie mengatakan, ia menggunakan morfin. Akibat kebiasaan buruknya, Yockie dipecat dari God Bless.

“Dari semua personel, (Achmad) Albar yang paling bersih. Saya masih ingat, ketika saya kecanduan, justru dialah yang mengawal saya. Dia menyimpan morfin satu atau dua gram milik saya. Kalau saya sudah mulai sakaw, dia menyuntikkan morfin itu ke tangan saya,” kata Yockie kepada Ninin.

Vokalis The Rollies, Bangun Sigito alias Gito Rollies sempat didepak dari grup musik yang membesarkan namanya itu lantaran narkotika. Ia mengaku pernah mencoba semua jenis narkotika, mulai dari ganja, LSD, heroin, morfin, dan kokain.

“Di saat remaja, Gito mengaku dua kali berhubungan dengan dokter ketergantungan obat. Ia tak bisa disembuhkan karena sudah pada tingkat gawat. Baru pada penyembuhan ketiga, ia berhasil lepas dari obat laknat itu,” tulis TEMPO edisi 5 Februari 1994 dalam artikel “Sadar Setelah Kerontang”. Gito berhenti dari jerat narkotika pada 1976.

Periode 1970-an, nyaris tak ada artis yang ditangkap polisi karena kasus narkotika. Pangkalnya, menurut vokalis God Belss Achmad Albar, dikutip dari TEMPO edisi 28 November 2011, dahulu narkotika tak terlalu diekspos.

“Padahal, pada 1970-an ketergantungan narkotika para pemain band itu lebih parah dibanding sekarang. Sekarang selebritas diincar demi sensasi,” kata Albar kepada Ninin dari TEMPO.

Di samping selebritas, Budiarto Shambazy menulis, pengaruh buruk narkotika melanda generasi muda pada 1970-an. Kalau sebelumnya anak muda nakal dengan membentuk geng atau kebut-kebutan di jalan, perlahan gaya hidup narkotika dan seks bebas merambah kehidupan mereka.

Poster kampanye antinarkotika pada 1974./Foto Variasi, 22-28 November 1974.

Perang terhadap narkotika

Biang kerok dari merebaknya narkotika adalah penyelundupan dan perdagangan gelap yang mulai muncul pada awal 1970-an. Hal ini membuat pengguna narkotika di kota besar, seperti Jakarta, mengalami peningkatan.

Jenis narkotika yang diperjualbelikan beragam. Selain opium, ada ganja, heroin, dan morfin. Obat penenang yang bisa dibeli di apotek bernama madrax juga menjadi pilihan anak-anak muda lari ke alam khayal.

Pada Oktober 1971, seperti dikutip dari TEMPO edisi 25 Desember 1971, Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Ali Said mengatakan sebanyak 35% abu dan puntung dari Ramayana Room di Hotel Indonesia mengandung ganja, heroin, dan morfin.

Kapolri Hoegeng Iman Santoso juga mengarahkan perhatiannya pada peredaran narkotika. Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif para Pemimpin Bangsa (2009) menulis, saat masalah narkotika menjadi agenda utama sidang interpol di Brussel, Belgia pada September 1970, Hoegeng hadir di sana.

Kisah paling dikenang soal sepak terjang Hoegeng memberantas narkotika adalah ketika ia mengintrogasi seorang remaja, yang tertangkap tangan anak buahnya dan petugas bea cukai tengah mengisap ganja. Abrar Yusra dan Ramadhan KH dalam buku Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993) menulis, Hoegeng terkejut ketika mengetahui remaja itu adalah anak seorang menteri.

Sinyalemen ada orang kuat di balik perdagangan obat bius pada 1970-an dicurigai Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. “Namun sulit dilacak untuk mendapatkan bukti,” kata Ali dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993) yang ditulis Ramadhan KH.

Menurut Ali, pembeli ganja kebanyakan anak-anak pembesar, anak-anak orang berduit, wartawan, seniman, dan pelaut. “Malahan ada ganja dari Sumatera Utara dibawa ke Jakarta oleh anggota ABRI,” ujar Ali.

Dengan bertambah mengancamnya bahaya narkotika, Presiden Soeharto pun angkat bicara. Dalam beberapa kesempatan pidato, ia menyinggung bahayanya peredaran narkotika di kalangan remaja.

TEMPO edisi 25 Desember 1971 menulis, kegelisahan Soeharto itu kemudian diwujudkan dengan membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Masalah Narkotik (Bakolangkotik), dipimpin Kepala Daerah Kepolisian Metro Jaya, Jenderal Widodo.

Wakil Ketua Bakolangkotik DKI Jakarta, Herman Susilo, dalam Ekspres edisi 8 Desember 1972 mengatakan, ada kesan bisnis narkotika diatur secara rapi. Tak mustahil ada organisasi internasional yang bergerak secara ilegal dan memiliki agen di seluruh dunia.

“Dengan demikian sudah mirip kegiatan mafia. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnnya menghadapi organisasi macam ini,” kata Herman dalam artikel “Narkotika dan Emansipasi Sex Melanda Indonesia” di Ekspres, 8 Desember 1972.

Gerak Ali Sadikin memerangi narkotika terbilang cekatan. Ia memerintahkan guru-guru di sekolah untuk mengadakan razia ganja di kelas. Ia juga mengadakan kampanye antinarkotika.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz.

Kala pemerintah pusat belum mendirikan tempat perawatan khusus bagi pecandu narkotika, Ali sudah memulainya.

“Saya adakan klinik khusus di Rumah Sakit Fatmawati untuk para korban narkotika. Pada 1973, saya memprakarsai pendirian Wisma Pamardhi Siwi untuk rehabilitasi korban narkotika,” ujar Ali dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977.

Dalam Ekspres, 8 Desember 1972, Jaksa Agung Sugih Arto mengatakan, salah satu cara menangani masalah narkotika adalah memperberat hukuman untuk mereka yang menjual dan mengedarkannya. Selain itu, pengusiran terhadap hippies yang dicurigai menyebar narkotika di Indonesia.

Perkaranya, menurut Hakim Agung Asikin Kusumaatmaja, sanksi bagi pengedar obat bius, yang masih memakai produk hukum warisan kolonial, yakni Staatsblad 1927 Nomor 278, terlalu ringan.

“Menurutnya, perlu ada peninjauan kembali, mengingat bahaya yang tidak kurang besarnya dengan kejahatan lain,” tulis Ekspres, 8 Desember 1972.

Pada 1976, baru terbit produk hukum buatan sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU tersebut kemudian diganti menjadi UU Nomor 22 Tahun 1997, dan diperbarui lagi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2009.

Problem peredaran dan pemakaian narkotika hingga kini tak pernah tuntas. Barang haram itu belakangan menyeret nama-nama pesohor, seperti penyanyi Anji, model Cathrine Wilson, serta artis Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie.

Berita Lainnya
×
tekid