sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hitam putih foto sejarah yang diberi warna

Pewarnaan foto sejarah monokrom mulai ramai di Indonesia pada 2016.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Selasa, 18 Sep 2018 13:10 WIB
Hitam putih foto sejarah yang diberi warna

Enam orang tentara Belanda tengah berdiskusi di halaman stasiun kereta api Sukabumi. Lima orang bertopi warna hijau dan berseragam hijau loreng, sedangkan satu orang lainnya bertopi baret merah berseragam hijau polos. Di kejauhan, tak jauh dari rel kereta yang memanjang, asap hitam mengepul ke angkasa.

Foto itu diabadikan pada 21 Juli 1947. Fotografernya anonim. Tentu saja, pada 1940-an belum ada teknologi foto berwarna. Foto tersebut adalah foto monokrom alias hitam putih yang disulap menjadi berwarna.

Pembuatnya adalah Tukang Pulas, sebuah nama akun yang kerap menyebar foto-foto sejarah yang dipoles warna di Twitter dan Instagram miliknya.

Bila berkunjung ke akun Twitter-nya, kita bisa melihat ribuan foto monokrom yang disulap menjadi berwarna. Mulai dari segala aktivitas tentara Belanda masa revolusi, hingga peristiwa pembacaan naskah proklamasi 17 Agustus 1945. Aktivitas mewarnai foto monokrom menjadi berwarna, dikenal dengan istilah coloring, colorize, atau colorizing.

Ramai mewarnai foto

Menurut Iman Zanatul Haeri, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta, yang konsentrasi meriset mengenai artefak foto sejarah digital setahun belakangan, di luar negeri fenomena foto sejarah yang diwarnai sudah ramai sejak 2011.

Sanna Dullaway, seniman digital asal Swedia, disebut Iman sebagai salah satu orang yang mempopulerkan pewarnaan foto sejarah digital. Dia pertama kali mengunggah foto hasil kreasinya di situs Reddit.com.

Foto yang diwarnai, yakni foto uji coba nuklir militer Amerika Serikat di Pulau Bikini Kepulauan Marshall pada 25 Juli 1946, foto Abraham Lincoln pada 1863, dan foto seorang biksu Buddha Quang Duc yang melakukan bakar diri di Saigon (kini Ho Chi Minh, Vietnam) pada 11 Juni 1963.

Sponsored

“Di Indonesia sendiri pewarnaan foto sejarah mulai ramai pada 2016,” kata Iman, yang sehari-hari bekerja sebagai pengajar sejarah di Hellomotion High School dan Pesantren Atsaqofah, Jakarta, Selasa (11/9).

Iman menyebut nama Tukang Pulas, sebagai orang yang sangat aktif mewarnai foto sejarah. Tukang Pulas memiliki nama asli Heru Iswanto. Profesinya tak ada hubungan sama sekali dengan seni menggambar atau mewarnai. Sehari-hari, dia bekerja sebagai staf Subdirektorat Keamanan dan Keselamatan Direktorat Lalu Lintas, Polda Metro Jaya.

“Saya mulai mewarnai foto pada November 2016. Waktu itu sudah ramai di Facebook. Saya kemudian mencoba ke media lain, yakni Twitter dan Instagram,” kata Heru, ketika saya temui di dalam lingkungan Polda Metro Jaya, Senin (17/9).

Foto pertama yang dia warnai, dengan teknik masih sangat standar, yakni foto persiapan baris-berbaris pasukan RI pascaperundingan Renville di Bangil pada 8 Februari 1948, foto Mohammad Hatta bersama pengurus Perhimpunan Indonesia pada 1925, foto serdadu Belanda yang dibebaskan usai Jepang menyerah pada Sekutu di Palembang pada 1945, dan foto proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.

“Foto yang membuat saya dikenal orang adalah foto situasi Jalan Malioboro tahun 1948. Itu saya warnai pada 2016, dan diunggah ulang oleh (fotografer) Arbain Rambey,” ujar Heru, yang terinspirasi seniman digital asal Brasil, Marina Amaral.

Heru mengaku, awalnya hanya iseng mewarnai foto. Perangkat lunak yang digunakan Adobe Photoshop. Dia hanya ingin menghidupkan foto, yang awalnya hitam putih menjadi berwarna. Ketertarikannya itu juga didorong, karena Heru menyukai sejarah.

Selain Heru, pegiat sejarah asal Bandung Andrias Arifin pun memiliki hobi serupa. Sama seperti Heru, Andrias pertama kali mencoba mewarnai foto monokrom pada 2016. Mulanya, dia mencari foto-foto sejarah berdasarkan penelusurannya di mesin pencarian Google. Lantas, terpikir di benaknya, untuk mewarnai foto hitam putih itu.

Andrias terinspirasi seniman asal Rusia, Klimbim. Kemudian, dia belajar teknik mewarnai secara otodidak, dan mencoba ngoprek aplikasi Adobe Photoshop. Andrias mengakui, tujuannya mewarnai foto sejarah hanya senang-senang dan hobi. Namun, lama-lama malah jadi bisnis sampingan.

Foto pertama yang dia warnai adalah foto Sukarno dan keluarga Belanda tempo dulu. Sama seperti Heru, Andrias kemudian menyebarkan foto sejarah yang sudah diberi warna tersebut di akun media sosialnya.

Tentara Belanda di Balongbendo, Sidoarjo pada 1949. (Nederlands fotomuseum dan Tukang Pulas).

Masalah kredibilitas

Era internet yang kian terbuka, memudahkan orang mencari dan mengambil foto-foto sejarah. Lantas, seniman digital mengubah foto-foto hitam putih tadi menjadi berwarna. Para pengguna internet pun antusias luar biasa, saat melihat hasil karya seniman digital yang menyulap foto itu menjadi lebih hidup.

Namun, bagaimana dengan masalah kredibilitas foto sejarah? Bisa saja seniman digital salah menduga warna objek dalam foto monokrom.

Mengenai masalah autentik dan kredibilitas foto sejarah itu, menurut Iman sudah ada perdebatan di luar negeri, sebelum ramai di Indonesia.

“Dulu ada fotografer Matthew Novak. Dia bilang, apakah mewarnai foto hitam putih bisa mengubah sejarah? Artinya, penulisan sejarah bisa berubah,” kata Iman, yang pernah mempresentasikan makalahnya berjudul “Sumber Sejarah bagi Era Milenial; Pewarnaan Foto dan Meme Sejarah” dalam Seminar Sejarah Nasional, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, akhir tahun lalu.

Sebab, menurut Iman, hal itu sangat berpengaruh terhadap pemahaman sejarah. Novak, kata Iman, mencontohkan sebuah foto yang sudah diwarnai, yakni foto jembatan di Inggris pada 1940.

Di jembatan tersebut ada sebuah mobil. Setelah diwarnai seniman digital, ada ketidaktepatan warna untuk mobil itu. Dari pihak seniman digital sendiri mengeluh, mereka bukan sejarawan.

Heru pun pernah ditegur seseorang, lantaran salah memberi warna seragam seorang tentara. Menurut orang yang menegur Heru, salah satu figur dalam foto tersebut bukan tentara Indonesia, tapi anggota tentara Belanda, yang berasal dari Indonesia.

“Sekarang sama orang itu jadi teman. Malah jadi narasumber saya soal pewarnaan seragam tentara,” katanya.

Perihal foto digital, menurut Iman, sejarawan akademik di Indonesia masih konservatif. Mereka memandang artefak foto digital belum bisa dianggap sumber sejarah.

“Saya termasuk yang optimis, foto sejarah digital itu bisa menjadi artefak digital. Solusinya, sejarawan harus kerja sama dengan orang-orang IT (informasi dan teknologi),” katanya.

Iman mengatakan, artefak foto digital, meski berubah dari hitam putih ke warna, jejak digitalnya masih bisa terlacak. Itu sebabnya Iman menyarankan sejarawan bekerja sama dengan orang-orang IT.

“Jadi, kalau ada orang salah mengunggah foto yang sudah diedit, kan sejarawan bisa tahu. Artinya, proporsi sejarawan tidak bakal tergerus zaman digital. Justru malah tidak masalah orang keliru, nanti kita bakal mengoreksi. Tugas sejarawan kan di situ,” kata dia.

Heru mengaku, kini tak sembarangan memberi warna. Dia memang menduga warna yang akan dipoles, terutama objek-objek foto yang sudah umum. Tapi, dugaan itu dia perkuat dengan riset.

“Saya menonton film-film perjuangan. Di film-film itu, saya melihat warna untuk warga saat itu seperti apa. Begitu pun seragam militernya,” ujar Heru.

Menurut Heru, dia sebisa mungkin membuat warna seragam militer yang sesuai aslinya. Selain dari film, dia pun rajin bertanya kepada temannya yang paham betul warna-warna seragam militer era Perang Dunia II.

Hak cipta dan ketertarikan anak muda

Baik Heru maupun Andrias, keduanya mendapatkan foto-foto monokrom dari hasil penelusurannya di internet. Mereka mengunduh, lalu memberikan warna di foto digital tersebut. Pengambilan foto semacam ini rentan sekali tersandung hak cipta.

“Pasti kepikiran masalah hak cipta. Saya dapat foto-foto itu terkadang lihat posting-an orang. Sudah umum. Dan mudah diambil,” kata Heru, menyiasati soal hak cipta foto.

Heru kerap berselancar ke situs-situs Belanda, seperti Gahetna.nl untuk mencari foto yang akan diwarnai. Menurutnya, situs-situs asing itu lebih banyak menyimpan arsip foto sejarah, ketimbang situs-situs dalam negeri.

Sementara itu, Iman sendiri tak mempermasalahkan soal pewarnaan foto sejarah. Menurutnya, bila mampu mendekatkan orang dengan sejarah, masalah perdebatan autentik atau tidak itu tidak penting lagi.

Iman mencontohkan anak didiknya, yang lebih senang melihat foto sejarah yang sudah diberi warna, karena lebih nyata dan dekat dengan sejarah. Iman pun kerap menampilkan foto asli, hitam putih, untuk memberikan perbandingan dengan foto yang sudah diwarnai.

Perdebatan autentik atau tidak foto sejarah sebagai artefak sejarah, menurut Iman, hanya ada di kalangan akademis. Sedangkan di ranah publik, orang-orang bisa menerima dan tak ada masalah.

Heru pun yakin, orang yang melihat foto berwarna akan lebih tertarik kepada sejarah. Pengikut Heru di media sosial juga kebanyakan anak muda.

“Minat untuk tahu sejarah lebih ada ketimbang dia lihat hitam putih. Kalau kita sajikan dengan bentuk yang lain, jadi lebih asyik. Saya pun jadi terasa dekat dengan zaman dahulu,” ujarnya.

Pewarnaan foto oleh seniman digital seperti Heru dan Andrias sebenarnya bisa membantu merestorasi foto-foto sejarah digital yang sudah rusak. Atau, memberikan kesan elegan, ketimbang foto monokrom. Heru sendiri belum lama ini bekerja sama dengan dua orang penulis buku biografi Pierre Tendean, Ahmad Nowmenta Putra dan Agus Lisna.

Buku berjudul Jejak Sang Ajudan itu baru saja terbit. Di buku ini, Heru memoles sekitar 20 foto hitam putih menjadi berwarna.

Iman mengingatkan, sejarawan harus peka terhadap perkembangan zaman. “Perkembangan teknologi tidak bisa ditawar. Mau tidak mau, sejarawan harus menghadapi dunia digital,” kata Iman.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid