Para ahli primata dari Universitas Warwick, bekerja sama dengan Institut Max Planck menemukan, orangutan muda belajar membangun sarang malam melalui pembelajaran sosial observasional. Mereka melakukannya dengan cara mengamati orangutan lain secara saksama, lalu menirukan dan mempraktikkan keterampilan rumit tersebut.
Meski kerap dianggap sepele, membangun sarang adalah perilaku penting bagi kera besar, khususnya spesies arboreal seperti orangutan. Sarang yang kokoh membantu mereka bertahan hidup: melindungi dari predator, menjaga tubuh tetap hangat, memberi tempat aman untuk beristirahat di ketinggian, bahkan diyakini memiliki efek anti-nyamuk.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications Biology mengungkap, orangutan Sumatera yang masih muda memperoleh kemampuan tersebut dengan cara “mengintip” pekerjaan induknya maupun orangutan lain, lalu berlatih mengikuti langkah-langkah yang mereka lihat.
Ani Permana dari Departemen Psikologi Universitas Warwick, yang memimpin penelitian ini menjelaskan, sarang memiliki peran vital dalam kelangsungan hidup orangutan. Namun, hingga kini perilaku tersebut justru jarang menjadi fokus kajian ilmiah.
“Kami sebelumnya menemukan, orangutan muda membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar mahir membangun sarang. Berdasarkan data observasi selama 17 tahun, penelitian terbaru ini menunjukkan, proses belajar tersebut sangat bergantung pada pengamatan cermat anak orangutan terhadap cara orangutan lain membangun sarang,” ujar Permana, dikutip dari Science Daily.
Meski dorongan untuk membangun sarang kemungkinan bersifat bawaan, detail teknik serta keterampilan penyusunan struktur harus dipelajari secara sosial sejak usia dini. Anak orangutan belajar dengan mengamati, mencoba, lalu memperbaiki kesalahan mereka seiring pertumbuhan. Penelitian ini juga menjadi bukti pertama yang menunjukkan mekanisme pembelajaran sosial tersebut secara langsung pada kera liar.
Di habitat aslinya, orangutan Sumatera membangun dua jenis sarang. Sarang siang hari biasanya berbentuk sederhana, hanya berupa kerangka praktis untuk beristirahat sejenak. Sebaliknya, sarang malam jauh lebih rumit—dibangun setinggi 20 meter di tajuk pohon, lengkap dengan pelapis menyerupai kasur, bantal, selimut dari dedaunan, bahkan atap untuk melindungi diri dari hujan dan angin.
Selama bertahun-tahun mengamati orangutan di alam liar, para peneliti menemukan pola menarik dalam cara orangutan muda belajar membangun sarang. Anak orangutan ternyata tidak sekadar berada di dekat induknya saat proses berlangsung, melainkan benar-benar mengamati dengan sengaja setiap langkah yang dilakukan. Setelah itu, mereka akan mencoba sendiri, menirukan apa yang baru saja dilihat.
Menariknya, jika anak orangutan kebetulan berada di dekat induknya tetapi tidak memperhatikan—misalnya karena teralihkan—mereka biasanya tidak melanjutkan latihan membangun. Hal ini menunjukkan, pengamatan aktif adalah kunci penting dalam penguasaan keterampilan tersebut, memperkuat bukti kalau proses belajar ini merupakan bentuk pembelajaran sosial observasional.
Para peneliti juga mencatat, orangutan muda memberi perhatian ekstra pada bagian konstruksi yang lebih rumit, seperti menambahkan lapisan kenyamanan atau membangun sarang yang ditopang beberapa pohon sekaligus. Setelah menyaksikan proses ini, mereka cenderung berlatih lebih intensif.
Seiring bertambah usia, anak orangutan mulai memperluas sumber belajarnya, tidak hanya bergantung pada induk. Mereka mulai mengamati individu lain di kelompoknya, memilih panutan baru untuk memperkaya pengetahuan—misalnya mengenai jenis pohon yang tepat atau bahan terbaik untuk membuat sarang. Temuan ini menegaskan, keterampilan membangun sarang tidak hanya diwariskan secara naluriah, tetapi dipelajari dan dipertajam melalui proses sosial yang kompleks.
Peneliti senior dari Max Planck Institute of Animal Behavior, Caroline Schuppli menjelaskan, orangutan muda tidak hanya belajar cara membangun sarang, tetapi juga memperoleh pengetahuan tentang bahan yang tepat untuk digunakan. Pemilihan jenis pohon, misalnya, sangat penting. Bayi orangutan yang banyak mengamati induknya cenderung memilih spesies pohon yang sama seperti yang digunakan sang induk.
Namun, seiring bertambahnya usia, orangutan mulai mencari jalannya sendiri. Layaknya manusia remaja, mereka mulai memperhatikan cara orangutan lain membangun sarang dan bereksperimen dengan bahan dari spesies pohon yang berbeda.
Menariknya, saat sudah dewasa, mereka sering kembali pada pilihan pohon yang digunakan induknya—seolah menyadari metode itu adalah yang paling efektif. Konsistensi ini menunjukkan, perilaku membangun sarang memiliki dimensi budaya, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Temuan ini menambah pemahaman baru tentang betapa pentingnya pembelajaran sosial bagi orangutan. Sebelumnya, perilaku sosial semacam ini lebih banyak didokumentasikan pada penggunaan alat, seperti memancing rayap dengan tongkat.
Namun, penemuan bahwa pembangunan sarang—perilaku mendasar dan kompleks—juga dipelajari secara sosial membawa implikasi besar, seperti sarang adalah kunci kelangsungan hidup, sehingga pembelajaran sosial terbukti berperan penting sejak awal perkembangan; proses membangun sarang yang terdiri dari banyak tahap menunjukkan betapa kuatnya kemampuan orangutan untuk mempelajari keterampilan rumit hanya dengan mengamati dan berlatih; serta karena perilaku membangun sarang sudah ada sejak nenek moyang kera jutaan tahun lalu, temuan ini memberi petunjuk kalau akar pembelajaran sosial pada kera besar berasal dari masa evolusi yang sangat jauh.