close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi mode./Foto Viktor Talashuk/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi mode./Foto Viktor Talashuk/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 09 Mei 2025 06:10

Masa depan busana virtual

Peneliti dari Unviersitas Portsmouth menemukan alasan mengapa konsumen tertarik membeli pakaian virtual.
swipe

Busana virtual—pakaian dan aksesori yang didesain secara digital tanpa wujud fisik, digunakan di dunia maya, seperti media sosial, gim daring, dan metaverse—tengah menjadi tren dunia. Busana seperti ini memungkinkan pengguna untuk mengekspresikan diri di dunia digital, tanpa memerlukan bahan fisik.

Menurut Strike Magazines, munculnya busana virtual secara tak langsung merupakan akibat dari pandemi Covid-19, yang memaksa orang membatasi interaksi tatap muka. Karena keadaan yang tak terduga ini, industri mode dituntut mengadopsi pencitraan ulang digital agar bisa melanjutkan operasionalnya secara efektif. Pendekatan virtual membuat mode lebih mudah diakses karena peluang dan ruang baru telah lahir.

Pertunjukan mode berbasis virtual pun digelar. Misalnya, pada New York Fashion Week 2022, para peserta menyaksikan penggunaan elemen virtual yang dipadukan dengan elemen tradisional dalam suasana peragaan busana. Desainer Maisie Wilen memperagakan presentasi holografik dengan para model yang diperankan oleh Yahoo.

“Para peserta peragaan busana Fall 2022 diantar ke galeri tempat para model virtual memperagakan gerakan berulang, seperti GIF,” tulis Strike Magazines.

“Beberapa label telah mulai melangkah ke metaverse, dunia digital sepenuhnya yang ada di luar realitas kita, dan berencana untuk merevolusi dunia realitas virtual dan mode.”

Ketika mode cepat terus memenuhi lemari pakaian dan tempat pembuangan sampah dengan kecepatan yang mengejutkan, penelitian terbaru dari Universitas Portsmouth berjudul “Will consumers pay for e-fashion? A multi-study investigation” yang terbit di International Journal of Retail & Distribution Management mengungkap, di masa depan mode mungkin bukan terletak pada kain, tetapi pada piksel.

Para peneliti telah menyelidiki fenomena e-fashion—pakaian digital yang dikenakan di lingkungan virtual—yang sedang berkembang bahwa barang-barang tidak berwujud ini bisa membantu menjembatani kesenjangan antara mode cepat dan keberlanjutan lingkungan.

“Merek fesyen kini melangkah lebih jauh, menawarkan koleksi digital yang hanya ada di layar,” tulis situs University of Portsmouth.

Pakaian ini dapat berubah warna, berubah bentuk, dan bahkan “berkomunikasi” dengan pakaian fisik melalui chip komunikasi jarak dekat. Yang terpenting, pakaian ini tidak memiliki beban lingkungan, seperti produksi, pengiriman, atau limbah. Produksi, konsumsi, dan pembuangannya tak memerlukan penggunaan bahan mentah dan sulit didaur ulang seperti poliester.

Penelitian ini mempelajari bagaimana konsumen menanggapi daya tarik unik pakaian digital dan apa yang mendorong keinginan mereka untuk membayar pakaian yang tidak dapat mereka sentuh, coba, dan miliki secara fisik.

“Temuan menunjukkan, konsumen yang sangat menyukai pengalaman baru dan taktil—segala sesuatu yang berkaitan dengan indera peraba atau sentuhan—sangat tertarik pada e-fashion, menghargai kreativitas, kustomisasi, dan interaktivitasnya,” tulis situs University of Portsmouth.

“Bagi mereka, busana virtual bukanlah kompromi, tetapi tambahan batas baru dalam gaya pribadi.”

Ada anggapan, konsumen dengan kebutuhan kuat terhadap sentuhan, yang senang memeriksa dan mencoba pakaian secara fisik, cenderung tidak menganggap e-fashion menarik.

Namun, penelitian ini menemukan, konsumen dengan kebutuhan sentuhan yang tinggi dan pencari sensasi yang tinggi adalah target pasar yang ideal untuk pakaian virtual. Penelitian ini pun menemukan, konsumen dapat secara mental mensimulasikan fitur taktil e-fashion, sebuah proses yang semakin layak dan nyata dengan adopsi headset realitas virtual.

“Tidak seperti ketergantungan mode cepat pada bahan berbiaya rendah, sering kali tidak dapat didaur ulang dan banyak dibuang ke tempat pembuangan sampah, pakaian digital dapat diproduksi, dikonsumsi, dan dibuang dengan satu penekanan tombol—atau mungkin beberapa penekanan tombol,” kata salah seorang peneliti sekaligus dosen senior pemasaran di Universitas Portsmouth, Kokho Jason Sit dalam situs University of Portsmouth.

“Tidak ada bahan mentah, perbudakan modern, pengiriman, mengurangi penggundulan hutan, kondisi kerja yang tidak manusiawi, jejak karbon, dan tempat pembuangan sampah.”

Sit mengatakan, penelitian ini menunjukkan, e-fashion bukan sekadar gimik bagi para gamer atau influencer. Namun juga berpotensi mengganggu model fast fashion dengan cara yang menguntungkan bagi merek-merek fesyen, menarik bagi konsumen, dan lebih baik bagi planet kita.

“Meskipun mungkin tidak sepenuhnya menggantikan mode fisik, studi menunjukkan, e-fashion dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan kita pada pakaian bervolume tinggi, bernilai rendah, dan membantu mengekang dampak lingkungan dari industri yang sangat membutuhkan perubahan,” tulis University pf Portsmouth.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan