close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang bersin./Foto AI ChatGPT
icon caption
Ilustrasi orang bersin./Foto AI ChatGPT
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Senin, 04 Agustus 2025 18:00

Melihat orang sakit bisa merespons sistem imun

Studi ini menggunakan teknologi virtual reality (VR) atau realitas virtual.
swipe

Pernahkah Anda menjauh, saat berada di dalam kereta dan melihat seseorang bersin di dekat Anda? Menurut penelitian yang dimuat di jurnal Nature Neuroscience baru-baru ini, refleks alami untuk menghindari orang sakit ternyata bukan hanya reaksi psiologis, tetapi juga reaksi biologis.

Studi yang menggunakan teknologi virtual reality (VR) atau realitas virtual ini menemukan, hanya dengan melihat gejala penyakit pada orang lain, otak kita bisa menyalakan alarm perlindungan tubuh. Bahkan, tanpa adanya kontak fisik.

Dalam studi ini, 248 peserta sehat mengenakan headset VR dan menjalani lima eksperimen, masing-masing melibatkan minimal 32 orang. Mereka diperlihatkan tiga wajah avatar berjenis kelamin sama, muncul secara bergantian dengan ekspresi netral.

Kemudian, peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok yang masing-masing diperlihatkan versi berbeda dari wajah tersebut: ada yang tetap netral, ada yang tampak sakit (dengan ruam menyerupai gejala infeksi), dan ada pula yang menunjukkan ekspresi takut.

Dalam salah satu percobaan, peserta diminta menekan tombol secepat mungkin setelah mereka merasakan sentuhan ringan di wajah—saat salah satu avatar ditampilkan di layar. Hasilnya, ketika yang muncul adalah avatar yang tampak sakit, peserta merespons sentuhan lebih cepat, bahkan saat wajah tersebut tampak berada pada jarak yang lebih jauh dibanding wajah netral atau takut.

Temuan ini diperkuat hasil pemeriksaan electroencephalogram (EEG)—pemeriksaan yang berfungsi untuk mendeteksi berbagai macam penyakit serta kelainan pada otak dan saraf—dan functional magnetic resonance imaging (fMRI)—pencitraan untuk mengukur aktivitas otak dengan mendeteksi perubahan yang berkaitan dengan aliran darah.

Otak menunjukkan aktivasi khusus di area yang mendeteksi dan menyaring ancaman, terutama ketika avatar sakit muncul. Aktivasi tersebut terjadi bahkan ketika wajah tampak jauh, dan berbeda dengan respons terhadap ekspresi takut atau netral.

Yang lebih mengejutkan, aktivasi otak ini berhubungan langsung dengan hipotalamus—bagian otak yang mengatur fungsi tubuh, seperti stres, suhu tubuh, dan respons imun.

Bukan hanya otak yang bereaksi. Tes darah peserta juga menunjukkan peningkatan aktivitas invasive lobular carcinoma (ILC) atau sel limfoid bawaan—jenis sel imun yang biasanya bereaksi dalam tahap awal saat tubuh menghadapi ancaman penyakit.

“Secara keseluruhan, data ini menunjukkan, ILC bereaksi terhadap infeksi tidak hanya ketika terdteksi di dalam tubuh, tetapi juga ketika diproses sebagai ancaman potensial yang mendekati tubuh,” ujar imunolog dari Universitas Lausanne yang juga salah satu peneliti, Sara Trabanelli, dikutip dari Science Alert.

Selama ini, kita memahami sistem kekebalan diaktifkan oleh paparan langsung terhadap patogen. Namun, penelitian ini menunjukkan, bahkan persepsi visual tentang penyakit bisa memicu reaksi imun. Para peneliti juga menemukan aktivasi ILC yang serupa ketika memeriksa darah peserta yang telah menerima vaksi influenza, tetapi tidak terpapar pengaturan VR.

Peneliti dari Universitas Hamburg, Esther Diekhof, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, studi tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya. Termasuk penelitian yang dilakukan timnya, yang diterbitkan dalam jurnal Brain, Behavior, and Immunity (Maret, 2025).

“Studi ini memberikan contoh bagus lainnya tentang keberadaan mekanisme yang merespons potensi ancaman penularan, bahkan sebelum sistem kekebalan tubuh bersentuhan dengan patogen,” ujar Diekhof kepada The Guardian.

Sementara itu, peneliti dari Universitas College London, Benedict Seddon mengatakan, masih ada pertanyaan, termasuk apakah respons yang diamati membantu sistem kekebalan tubuh benar-benar melawan infeksi.

"Ketika kita terinfeksi, misalnya oleh Sars-CoV, perlu waktu satu atau dua hari bagi infeksi untuk terbentuk dan bagi sistem kekebalan tubuh untuk menyadarinya dan meresponsnya, lama setelah pertemuan awal yang memicu mobilisasi jangka pendek ini," ujar Seddon kepada The Guardian.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan