

Membaca masa depan taksi terbang di Indonesia

Uji coba transportasi udara otonom EHang 216-S (EH2 16-S) di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Tangerang, Rabu (25/6), sukses terbang membawa penumpang.
EH2 16-S adalah electric vertical take-off and landing vehicle (eVTOL) atau kendaraan udara lepas landas dan mendarat vertikal, yang dirancang tanpa pilot dan bertenaga listrik. Kendaraan ini bisa mengangkut dua penumpang, dengan kecepatan maksimal 130 kilometer per jam, jarak tempuh mencapai 30 kilometer, dan waktu terbang hingga 25 menit per sekali pengisian daya.
Uji coba ini dilakukan Prestige Aviation. Sebelumnya, perusahaan tersebut juga melakukan uji coba pada 2021 di beberapa lokasi strategis. Pada Desember 2023 juga dilakukan uji coba terbang di Bandara Budiarto, Curug, Tangerang.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, sebaiknya pemanfaatan taksi terbang untuk manusia ditunda. Dia menyoroti persoalan infrastruktur dan keselamatan.
“Apalagi kita di Indonesia ini dengan regulasi yang belum siap dan ruang udara yang masih semrawut,” kata Djoko kepada Alinea.id, Kamis (3/7).
Dia menganggap, solusi kemacetan, terutama di Jakarta, belum bisa dipecahkan dengan kehadiran taksi terbang. Lebih baik, kata dia, jika sudah beroperasi, penggunaan taksi terbang difokuskan untuk mengangkut barang, bukan manusia.
“Untuk (mengangkut) hasil pertanian di daerah-daerah terpencil. Jalannya buruk, tapi hasil pertaniannya bagus. Itu bisa pakai drone atau taksi terbang dulu,” ujar Djoko.
Selain itu, taksi terbang kemungkinan juga dapat digunakan di daerah-daerah wisata, dengan batas ketinggian tertentu. “Tapi perlu regulasi yang ketat untuk mencapai keselamatan,” tutur Djoko.
Djoko pun mengingatkan, untuk melihat lebih detail penggunaan taksi terbang di luar negeri. “Apakah di luar negeri sudah mengangkut orang? Daerahnya mana?” ucap Djoko.
Kelebihan dan kelemahan
Berbeda dengan Djoko, pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu melihat potensi teknologi ini dalam jangka panjang. Dia melihat sejumlah kelebihan EHang 216-S.
“Desainnya sudah sepenuhnya otonom, tidak perlu pilot, sehingga mengurangi risiko human error,” kata Yannes, Rabu (2/7).
Di samping itu, kata Yannes, kendaraan tersebut telah diuji lebih dari 10.000 jam, serta dilengkapi sistem artificial intelligence (AI), global positioning system (GPS), dan sensor untuk navigasi. Bahan bakarnya yang menggunakan listrik pun mendukung target Indonesia menuju nol emisi pada 2060, serta lebih murah dibandingkan helikopter dari sisi biaya operasional maupun perawatan.
Desain kabinnya juga dapat menjadi lebih ringan dan efisien karena tak memerlukan instrumen penerbangan konvensional. Kemudian, biaya produksi produk China itu lebih rendah dibanding berbagai pesaingnya. Sistem take off vertikalnya, kata dia, memungkinkan pula operasional di area padat, tanpa landasan panjang.
“eVTOL ini juga dapat menghindari kemacetan lalu lintas darat karena beroperasi di udara, sehingga mempersingkat waktu perjalanan secara signifikan,” ujar Yannes.
“Ini sangat relevan di kota-kota besar seperti Jakarta yang sering mengalami kemacetan parah.”
Untuk Indonesia, menurut Yannes, kehadiran taksi terbang bisa meningkatkan pencitraan sebagai salah satu negara pemimpin dalam teknologi transportasi modern di Asia Tenggara. Usai beroperasinya kereta cepat Bandung-Jakarta Whoosh.
Meski begitu, masih ada banyak catatan. Menurut dia, jangkauan terbang eVTOL masih terbatas—hanya sekitar 35 kilometer per pengisian daya, kapasitas penumpangnya hanya bisa dua orang, dan regulasi belum matang.
Keterbatasan kapasitas ini, ujar Yannes, artinya untuk memindahkan jumlah penumpang yang sama dengan bus atau kereta api diperlukan unit EHang 216-S yang jauh lebih banyak. Implikasinya pada kebutuhan ruang untuk pangkalan, lalu lintas udara yang lebih padat, dan potensi peningkatan biaya operasional secara keseluruhan.
“Butuh pengembangan vertiport, sistem navigasi udara, hingga 5G yang merata. Masih banyak pekerjaan rumah 5–10 tahun ke depan,” ujar Yannes.
Lebih lanjut, Yannes merinci beberapa hal untuk memastikan taksi terbang aman bagi masyarakat umum. Pertama, harus diterapkan standar dan peraturan keselamatan yang ketat. Kedua, harus menggabungkan sistem redundan untuk komponen penting yang memastikan jika satu sistem gagal, sistem lain dapat mengambil alih.
Ketiga, sistem canggih untuk mengelola lalu lintas udara. Keempat, sistem harus dilindungi dari peretasan atau manipulasi yang dapat mengganggu operasional.
Kelima, sistem seperti GPS, light detection and ranging (lidar), dan radar yang ketahanannya teruji dan terjamin untuk jalur penerbangan. Keenam, dukungan jaringan 5G yang stabil.
Ketujuh, kesiapan sejumlah besar titik vertiport untuk lepas landas dan mendarat, stasiun pengisian daya, dan fasilitas pemeliharaan. Terakhir, pengawasan secara ketat terkait keamanan operasional, lisensi, dan standar keselamatan oleh pemerintah.
Dengan banyaknya pekerjaan rumah tadi, Yannes mengatakan, untuk tahap awal kemungkinan taksi terbang baru dapat menjadi alternatif terobosan besar transportasi layanan premium yang efisien bagi kalangan kelas atas tertentu, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
“Di Indonesia, regulasi untuk taksi terbang komersial belum ada, meskipun uji coba sudah dilakukan. Tanpa aturan jelas dan infrastruktur yang memadai, sulit membayangkan layanan ini bisa melayani banyak orang dalam waktu dekat,” ujar Yannes.


Tag Terkait
Berita Terkait
Ruwet upaya Bandung mengurai kemacetan
Dilema penertiban truk ODOL: Mustahil tertib tanpa insentif?
Problem parkir liar dan mimpi transportasi umum gratis di DKI
Saat pegawai Pemprov Jakarta wajib naik transportasi umum

