sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Seberapa efektif menangkal dampak game online dari aturan klasifikasi usia?

Game online dianggap berpengaruh negatif terhadap anak-anak. Beberapa kasus dinilai muncul berawal dari permainan digital itu.

Stephanus Aria
Stephanus Aria Jumat, 19 Apr 2024 13:52 WIB
Seberapa efektif menangkal dampak <i>game online</i> dari aturan klasifikasi usia?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) resah terhadap game online karena dinilai berdampak buruk terhadap anak. Anggota KPAI Kawiyan, seperti dikutip dari Antara, menegaskan sudah banyak kasus dengan korban anak yang disebabkan game online, seperti kasus pornografi anak di Bandara Soekarno-Hatta yang dalam perkembangannya mengarah sebagai kejahatan perdagangan orang.

“Selain kasus di Soetta (Bandara Soekarno-Hatta), ada kasus anak membunuh orang tuanya, semua berawal dari game online. Dan masih banyak lagi kasus-kasus kriminal karena dampak dari game online,” katanya, seperti dikutip dari Antara.

Game bertema perang, dinilainya juga berdampak negatif. “Sekarang ini banyak anak kita berkata kasar karena game online. Sungguh sangat berbahaya game online itu bagi anak-anak kita,” tutur dia.

Berdasarkan alasan tadi, KPAI pun mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) segera menerbitkan aturan, sehingga game online yang mengandung kekerasan dan seksualitas dapat diblokir atau membatasi penggunaannya.

Di samping segala alasan tadi, anggota KPAI lainnya, Diyah Puspitarini mengatakan, lembaganya merasa resah karena akhir-akhir ini beberapa kasus perundungan dan kekerasan, salah satunya disebabkan lantaran anak-anak mendapat insight dari game online yang mereka mainkan.

“Hal ini menjadi kajian yang mendalam bagi kami, sekaligus mengkategorisasikan jenis game yang mengandung unsur kekerasan tersebut,” ujar Diyah kepada Alinea.id, Kamis (18/4).

Diyah menjelaskan, kajian yang muncul di KPAI tentang game online karena ada kasus yang ditangani dengan latar belakang persoalan pribadi, tetapi insight kekerasan didapatkan dari game online. 

“Jadi, bukan penyebab kekerasan tersebut adalah game online-nya, itu dua hal yang berbeda,” kata Diyah.

Sponsored

Game online sebagai pencetus kedua bentuk kekerasan yang dilakukan dan adanya anggapan pembiasaan hal-hal seperti ini.”

Ia pun mengingatkan agar dipilah dan deteksi jenis-jenis game yang mendandung kekerasan. Meski sebenarnya di beberapa game sudah ada pengaturan usia, kata Diyah, namun akan berbeda bagi orang dewasa di sekitar yang tidak mengedukasi anak-anak. Terlebih, anak-anak juga diberikan kebebasan dalam mengakses game tanpa kontrol orang tua maupun orang dewasa di sekitarnya.

“Persoalan muncul jika anak-anak dengan mudahnya menangkap, dan bahkan ada beberapa kasus bullying atau kekerasan karena yang dilakukan anak, sudah menganggap kekerasan adalah hal biasa. Apalagi mereka mendapat insight dari game tersebut,” tutur Diyah.

Soal klasifikasi game berdasarkan kelompok usia, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Usman Kansong menegaskan, sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Klasifikasi Gim. Aturan tersebut, jelas Usman, mewajibkan penerbit atau publisher game untuk melakukan klasifikasi secara mandiri berdasarkan kelompok usia.

“Jadi, kelompok usia itu ada tiga tahun ke atas, enam tahun ke atas, 13 tahun ke atas, 15 tahun ke atas, dan 18 tahun ke atas,” ucap Usman ketika dihubungi, Rabu (17/4).

Setiap klasifikasi di dalam beleid tersebut, ujar Usman, ada peraturannya masing-masing. Untuk game yang mengandung unsur kekerasan, hanya diizinkan pada pemain berusia 18 tahun ke atas.

“Tapi juga ada catatan, dengan hanya diperbolehkan dalam bentuk animasi saja. Kemudian, kalau harus ada senjata di dalam game itu juga tidak boleh sama dengan bentuk aslinya,” kata Usman.

Di dalam Pasal 8 ayat (2) Permenkominfo 2/2024 disebutkan pula kelompok usia pengguna game online ditentukan berdasarkan kategori konten yang terdiri atas rokok dan/atau rokok elektronik, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika, dan/atau zat adiktif lainnya; kekerasan; darah, mutilasi, dan kanibalisme; penggunaan bahasa; penampilan tokoh; pornografi; simulasi dan/atau kegiatan judi; horor; dan interaksi daring.

Lantaran klasifikasi tersebut dilakukan secara mandiri oleh penerbit game online, maka Kemenkominfo hanya bisa mengambil langkah yang sifatnya administratif, seperti peneguran hingga pemutusan akses bila penerbit tak melakukan klasifikasi. Selanjutnya, kata Usman, jika penerbit melakukan klasifikasi, tetapi tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan Kemenkominfo, maka kementerian bisa mengambil tindakan administratif.

“Misalkan game untuk anak usia tiga tahun itu masih terdapat unsur kekerasan,” tutur Usman.

“Nah, sekarang kita harus lihat dulu, apakah penerbit yang tidak melakukan klasifikasi atau malah masyarakat yang mengakses game yang tidak sesuai dengan klasifikasi yang sudah ditentukan.”

Oleh karenanya, Usman menegaskan, perlu partisipasi masyarakat. Orang tua harus mengawasi anak-anaknya dalam bermain game. Perlu pula memperhatikan, apakah game yang dimainkan itu masih masuk ke dalam klasifikasi usianya atau tidak.

“Aturan ini kan baru dibuat pada tahun 2024, maka masih ada proses-proses yang harus dilalui, juga sosialisasi,” ujar Usman.

Menurut asisten profesor bidang media dan masyarakat di Hobart and William Smith Colleges Amerika Serikat sekaligus peneliti budaya digital global, Iskandar Zulkarnain, untuk usia dini, game yang berunsur kekerasan memengaruhi kehidupan anak-anak. Ia mengatakan, di Amerika Serikat, jika ada anak baru saja melakukan kasus penembakan, biasanya polisi bakal melakukan penyelidikan dari apakah si anak pernah memainkan game yang berbau kekerasan.

“Tapi harus diperhatikan juga bahwa bukan hanya game saja yang mendorong anak untuk menjadi anarkis,” ujar Iskandar, Rabu (17/4).

“Ada banyak faktor lainnya juga yang ikut mendukung, seperti kurangnya perhatian dan pengawasan pada anak.”

Ia mengatakan, aturan klasifikasi game oleh pemerintah adalah keputusan yang baik untuk pembeli aplikasi dan pengembang game. Dengan begitu, memudahkan orang tua untuk mengawasi. Akan tetapi, karena peraturan klasifikasi bersifat mandiri dari penerbit game, maka tak terlalu efektif membatasi pengguna game, seperti anak-anak.

“Bahkan, walaupun peraturannya diperketat, misalnya melalui semacam badan pengawas, masih tetap tidak efektif,” ujar Iskandar.

“Dari pengalaman saya dengan mahasiswa saya, mereka tidak terlalu peduli dengan kasus (klasifikasi) ini. Jika mereka suka game-nya, ya mereka akan memainkan.”

Iskandar juga mencermati, beleid Permenkominfo 2/2024 tidak terlalu ketat. Sebab, pengembang game diberi waktu dua tahun untuk mengajukan klasifikasi ilmiah. “Itu cukup lama, ya,” ucap Iskandar.

Aturan itu terdapat dalam pasal 22 ayat (1), yang menyebut penerbit game wajib melakukan klasifikasi game paling lambat dua tahun sejak peraturan menteri diundangkan. Dalam pasal 22 ayat (2) disebut, game yang telah diklasifikasikan di luar wilayah Indonesia dan dipasarkan di Indonesia, wajib memenuhi klasifikasi game berdasarkan ketentuan dan peraturan menteri paling lambat dua tahun sejak peraturan menteri diundangkan.

Di Amerika Serikat, kata dia, ada peraturan soal game, semisal Entertainment Software Rating Board (ESRB) yang sifatnya sukarela. Namun, peraturan itu tidak begitu efektif karena longgarnya kebebasan di negara itu. 

“Jadi peraturan ini tidak begitu mereka perhatikan, sebatas kalau mereka mau atau suka dengan game tersebut ya akan mereka mainkan,” ucap dia.

Terlepas dari itu, Iskandar sepakat, banyaknya peraturan bakal menurunkan angka peminat game di Indonesia. “Dan ini sangat disayangkan sekali karena memang banyak peminat game di Indonesia,” ujar Iskandar.

“Jadi semua harus berjalan dengan smooth antara penyedia game dan juga pemainnya. Dibutuhkan sosialisasi yang baik.”

Berita Lainnya
×
tekid