Mencampur tembakau dengan ganja bisa mengacaukan struktur kimia otak manusia. Demikian temuan riset yang dilakoni sejumlah di McGill University, Kanada. Hasil riset telah dipublikasikan di jurnal Drug and Alcohol Dependence Reports, belum lama ini.
Menurut para peneliti, penggunaan tembakau bersamaan dengan ganja berkaitan dengan kenaikan kadar enzim otak bernama FAAH (fatty acid amide hydrolase)—enzim yang berperan mengatur endocannabinoid, zat kimia alami yang memengaruhi suasana hati, motivasi, dan keseimbangan emosi.
“Ini adalah bukti pertama pada manusia tentang mekanisme molekuler yang mungkin menjelaskan kenapa orang yang menggunakan ganja dan tembakau secara bersamaan mengalami efek yang lebih buruk,” kata Rachel Rabin, penulis utama studi itu, seperti dikutip dari Psychiatrist, Senin (27/10).
Baik ganja maupun tembakau punya hubungan erat, baik secara "perilaku" maupun biologis. Sekitar 80% pengguna ganja juga mengonsumsi produk tembakau, sering kali dalam satu sesi—dengan cara mencampur keduanya atau bergantian merokok.
Penelitian sebelumnya menunjukkan, penggunaan kronis salah satu dari kedua zat itu saja sudah bisa mengganggu sistem endocannabinoid, sistem yang membantu tubuh mengatur stres dan rasa senang.
Kadar rendah anandamide—molekul otak yang disebut sebagai “molekul kebahagiaan”—dan peningkatan aktivitas enzim FAAH telah dikaitkan dengan kecemasan, depresi, dan risiko adiksi yang lebih tinggi.
Namun, hingga kini, belum ada penelitian pada manusia yang benar-benar menelusuri bagaimana efek gabungan ganja dan tembakau memengaruhi aktivitas FAAH di otak.
Tim Rabin merekrut lebih dari selusin orang dewasa muda yang menggunakan ganja minimal empat hari seminggu. Dari jumlah itu, lima orang juga merokok setiap hari (disebut co-users), sementara delapan lainnya hanya menggunakan ganja.
Dengan bantuan pemindaian positron emission tomography (PET), para ilmuwan mengukur aktivitas FAAH di enam area otak penting: korteks prefrontal, hipokampus, talamus, striatum, substantia nigra, dan serebelum.
Sebelum pemindaian, semua peserta diminta tidak menggunakan ganja semalaman, namun mereka diperbolehkan tetap merokok tembakau. Tim peneliti juga mempertimbangkan variasi genetik pada gen FAAH yang dapat memengaruhi kadar enzim tersebut.
Hasilnya mencolok: kelompok co-users menunjukkan aktivitas FAAH yang jauh lebih tinggi dibanding pengguna ganja saja—terutama di substantia nigra dan serebelum, dua wilayah otak yang berperan penting dalam pengaturan gerak dan emosi.
Menariknya, kadar FAAH di serebelum meningkat seiring jumlah rokok yang diisap per hari, menunjukkan hubungan langsung antara paparan tembakau dan gangguan sistem endocannabinoid.
Tak ada hubungan yang ditemukan antara aktivitas FAAH dan jumlah ganja yang dikonsumsi. Artinya, tembakau—bukan ganja—yang kemungkinan menjadi pemicu utama perubahan biokimia ini.
“Yang mengejutkan kami adalah betapa kuat efeknya, dan betapa berbeda hasilnya antara pengguna ganja saja dan mereka yang menggunakan keduanya,” ujar Romina Mizrahi, profesor psikiatri di McGill sekaligus rekan penulis studi ini.
Ilustrasi. Foto: Pixabay
Jejak ke arah gangguan mental
Mereka yang menggunakan ganja dan tembakau secara bersamaan cenderung mengalami gejala putus zat yang lebih berat, kecemasan yang lebih parah, dan ketergantungan yang lebih kuat dibanding pengguna ganja tunggal.
Kenaikan kadar FAAH bisa menjadi salah satu penjelasan ilmiahnya. Aktivitas enzim ini yang meningkat berarti otak memecah anandamide lebih cepat, sehingga kemampuan alami tubuh untuk menenangkan diri dan menjaga kestabilan suasana hati pun berkurang.
Rabin menduga, tembakau mungkin memperkuat sistem endocannabinoid terhadap ganja, memaksa otak memproduksi lebih banyak FAAH sebagai bentuk kompensasi. “Tarik-menarik kimiawi ini bisa membuat pengguna lebih rentan terhadap gangguan mood dan kekambuhan adiksi," imbuh dia.
Rabin dan timnya mendorong agar penelitian berikutnya melibatkan sampel lebih besar dan membagi peserta ke dalam empat kelompok: pengguna ganja saja, pengguna tembakau saja, pengguna keduanya, dan non-pengguna.
Di sejumlah negara di Asia, konsumsi ganja mulai dilegalkan. Thailand sempat melegalkan konsumsi ganja untuk rekreasi sebelum akhirnya membatasi hanya untuk kebutuhan medis. Di Indonesia, baik ganja untuk rekreasi maupun medis dilarang.