sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menelisik modernitas dan kecantikan perempuan era Sukarno

Majalah Puspa Wanita (1964) menggambarkan banyak perempuan yang berpakaian kebarat-baratan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 08 Sep 2020 12:25 WIB
Menelisik modernitas dan kecantikan perempuan era Sukarno

Mode pakaian memiliki sejarah. Mode pakaian bukan hanya terkait busana dan make up, tetapi juga tentang makna sosial dan mencerminkan kelas sosial perempuan. Lantas seperti apa perkembangan model pakaian perempuan di Indonesia, khususnya di era orde lama?

Berbagai sumber sejarah (1950-1960-an), seperti majalah Puspa Wanita (1964) menggambarkan banyak perempuan yang berpakaian kebarat-baratan.

Tetapi politik kebudayaan rezim orde lama menganggap fenomena tersebut sebagai krisis moral. Dalam pidatonya, Soekarno menggelorakan politik kebudayaan yang menciptakan konsep modernitas hingga standar kecantikan perempuan.

Misalkan saja pada buku yang berjudul Revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita: Amanat Presiden Sukarno pada pembukaan Konggres ke-V Wanita Demokrat Indonesia pada 16 Juli1964.

Buku tersebut lumayan banyak menggambarkan model pakaian yang dipergunakan perempuan Indonesia pada saat itu. Sejarawan University of Michigan Charley Sullivan mencatat, setidaknya dua kali Sukarno memberikan gambaran busana perempuan Indonesia yang sedang menjadi tren. 

“… kalau saja melihat wanita-wanita berkumpul dengan badju kebajanja jang pantjawarna atau aneka warna, melihat kain batiknja jang bagus-bagus, melihat mukanja yang berseri-seri, melihat sinar matanja jang laksana sinar bintang dilangit jang abadi, pada waktu itu saja berkata, saja mempunjai perasaan bahwa saja ini berjoang dalam taman-sari jang indah …. Melihat sana ada warna biru, sana malahan ada lukisan bunga, Kartini,

…saja amat…bergembira… bahwa Kongres Wanita Indonesia djuga akan aktif sekali dalam memberantas imperalisme kulturil. Ja rambut sasak, ja rambut beetle, ja spanrok-spanrokan, ja twist-twist-an, ja rock-and-roll rock-and-roll-an, ja Elvys Presley Elvys Presley-an, ja Nat King Cole Nat King Cole-an, matjam-matjam saudara-saudara. Tetapi terutama sekali harus waspada kepada intervensi dan subversi politik. Waspadalah, waspadalah!"

“Artinya, apakah ini menjadikan bangsa Indonesia modern di era pascakolonial? Itu pertanyaan yang bukan hanya berkembang di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Kalau dalam era penjajahan, maaf orang yang kulitnya tidak putih dia pasti tidak pada tingkat yang sama dengan orang Eropa. Jadi, ketika tiba-tiba merdeka, (berpikir) kita harus modern (sekaligus) bisa menjadi bangsa Indonesia (identitas),” tutur Charley dalam diskusi virtual, Selasa (8/9).

Sponsored

Pidato Sukarno tersebut dinilainya juga terkait dengan berubahnya standar kecantikan perempuan. Hal tersebut, turut dikonfirmasi majalah saat itu, seperti yang tertera pada artikel Ruang Rantjak dalam majalah Wanita (1949).

"…Kebanjakan wanita memakai berbagai alat-alat untuk menambah atau memelihara ketjantikannja, misal crème, bedak, merah-bibir dsb. Tetapi mereka tidak ingat, jang djauh lebih penting daripada segala perhiasan lahir ini ialah batin yang murni. Ketjantikan batin djauh lebih penting daripada segala make-up. Batin yang murni dan baik itulah sjarat dan alat penambah kecantikan jang benar, kekal dan abadi. Dan siapa tidak berbatin demikian, berusahalah!"

"Pada saat itu, kaum perempuan mulai memakai istilah lahir dan batin, tentu ini bukan dalam hal Islam. Tetapi sesuatu yang dipunya sendiri. Kalau lahirnya rusak dan batinnya cantik sekali, batinnya pasti bisa dilihat,” kata penulis disertasi berjudul Do Western Clothes Fit Me: Women, Modernity, National Identity and Moral Crisis in Soekarno's Indonesia 1945-1966 ini.

Di era orde lama, mode pakaian erat pula kaitannya dengan kepribadian nasional. Pakaian batik, adalah simbol modernitas, kebanggaan kultural, dan sumber ekonomi nasional.

Bahkan, Sukarno turut memperkenalkan pakaian batik ke dunia internasional ketika Konferensi Asia-Afrika di Gedung Merdeka, Bandung pada 1955. Pada kegiatan itu, terdapat batikshow yang diisi istri-istri pejabat.

“Itu untuk menunjukkan bagaimana perempuan Indonesia berpakaian pada saat tertentu. Ini menunjukkan masih bisa memilih. Batikshow pakaian asli Indonesia,” ujar Charley.

Selain itu, sejumlah majalah saat itu mengonfirmasikan bagaimana perempuan Indonesia berpakaian. Prija Chandra dalam artikel ‘Pakaian Wanita Kita’ di majalah Wanita (1955) menulis, pakaian yang juga terkait sejarah, kebudayaan, ekonomi, politik, dan kesenian.

“Dia (telah menulis pemikiran terkait itu) dua puluh tahun sebelum pemikir feminis dari eropa. Perempuan Indonesia ini harus memikirkan bangsanya dan tentang kewanitaannya,” ucapnya.

Berita Lainnya
×
tekid