sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa ada orang tua yang menyesal punya anak?

Di negara-negara maju, sebanyak 5%-14% orang tua menyesali keputusannya memiliki anak.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Kamis, 02 Nov 2023 10:20 WIB
Mengapa ada orang tua yang menyesal punya anak?

Tahun 2013, seorang ibu dengan dua anak asal Inggris bernama Isabella Dutton, 57 tahun, membuat kehebohan dengan tulisannya yang dimuat di Daily Mail berjudul “The mother who says having these two children is the biggest regret of her life”. Dutton mengakui, saat anak pertamanya baru berusia lima hari, ia punya perasaan bersalah yang besar karena sudah memiliki anak. Ia baru berusia 22 tahun ketika melahirnya anak pertamanya. Namun, ia tak pernah merasakan kehangatan sebagai seorang ibu.

“Perasaan saya bukan karena kelelahan, juga bukan karena depresi pascapersalinan, atau bahkan gejala singkat dari baby blues,” kata Dutton.

“Sederhananya, saya selalu membenci gagasan menjadi seorang ibu.”

Menurut Anne Kingston dalam “I regret having children” yang dimuat di Macleans, pada 2018 pemikiran Dutton itu tak lagi aneh. Penyesalan menjadi orang tua, tulis Kingston, telah menjadi topik yang dibahas berbagai pihak.

“Diskusi ini dipicu oleh karya ilmiah pertama tentang penyesalan menjadi orang tua oleh sosiolog Israel, Orna Donath dengan bukunya Regretting Motherhood: A Study pada 2015,” kata Kingston.

Sejumlah alasan

Dalam tulisan berjudul “I should not have a child: Development and validation of the parenthood regret scale” di Journal of Family Psychology yang terbit pada Oktober 2023, Konrad Piotrowski, Moira Mikolajczak, dan Isabelle Roskam menyoroti riset sebelumnya bahwa di negara-negara maju, sebanyak 5%-14% orang tua menyesali keputusannya memiliki anak.

“Jika mereka bisa memutar waktu, mereka akan memilih tak memiliki anak,” tulis Piotrowski dan kawan-kawan.

Sponsored

Tim peneliti ini pun mencatat, ketidaksetujuan sosial terkait hal itu dengan ketiadaan cara untuk menilai penyesalan orang tua adalah faktor relatif sedikitnya penelitian soal masalah tersebut. Piotrowski dan kawan-kawan lantas menguji metode penelitian yang disebut skala penyesalan orang tua.

“Dalam penelitian menggunakan metode tadi, mereka menemukan hubungan antara penyesalan menjadi orang tua dan kelelahan, depresi, serta kepuasan dengan kehidupan seseorang,” tulis psikolog dan dosen di Harvard University, Holly Parker dalam “If you regret parenthood, researchers say you’re alone” di Psychology Today.

“Secara khusus, penyesalan orang tua yang lebih banyak terkait dengan kebahagiaan hidup yang lebih rendah dan kelelahan atau depresi.”

Parker menyebut, tim peneliti itu menunjukkan tekanan menjadi orang tua bisa membuat seseorang merasa kelelahan, ketika sumber daya secara pribadi dan sosial tak cukup untuk menyeimbangkan beban menjadi orang tua.

Tim peneliti itu mengomentari bagaimana hubungan antara penyesalan menjadi orang tua, depresi, dan kepuasan hidup punya nuansa-nuansa tertentu. “Sebagai contoh, mereka menyatakan bahwa penyesalan menjadi orang tua mungkin berhubungan dengan depresi dan kurangnya kepuasan, tetapi itu tidak selalu terjadi,” tulis Parker.

“Mungkin saja seseorang yang tidak merasa bahagia dengan hidupnya, merasa puas dengan keputusannya memiliki anak. Sebaliknya seseorang mungkin merasa menyesal menjadi orang tua, tetapi merasa puas dengan kehidupan mereka.”

Di sisi lain, dalam sebuah penelitian yang dilakukan profesor Kristina M. Scharp dari Rutgers School of Communication and Information, Amerika Serikat dan penulis di Journal of Social and Personal Relationships terungkap, satu dari setiap 14 orang tua di Amerika Serikat atau 7%, menyatakan menyesal memiliki anak. Tingkat penyesalan seperti itu, tulis Scharp, bahkan lebih tinggi di Jerman (8%) dan Polandia (13,6%).

“Salah satu alasan utama mengapa orang tua menyesal memiliki anak mungkin karena takut ketinggalan, yang lebih dikenal dengan istilah FOMO,” ujar Scharp, dikutip dari Science Daily.

FOMO atau fear of missing out merupakan rasa takut tak masuk dalam kelompok orang-orang yang merasakan pengalaman, perjalanan hidup, dan aktivitas tertentu. “Dalam konteks menjadi orang tua, FOMO dapat menjadi pertimbangan yang berharga,” kata Scharp.

Sebelumnya, untuk memahami apa yang mendorong orang tua yang menyesal memiliki anak, para peneliti mengumpulkan narasi dari subreddit /r/childfree. Ini adalah bagian dari sebuah komunitas daring dengan 1,5 juta pengguna yang memilih tak punya anak. Lalu, terkumpul 85 kesaksian penyesalan orang tua memiliki anak antara 2011-2021.

Beberapa alasan dari mereka muncul, antara lain soal investasi waktu, pengorbanan pada hubungan, dan tugas yang membutuhkan banyak modal. Lantas, muncul tiga topik dari penyesalan orang tua, yakni tentang mengasuh anak sebagai suatu kesenangan, mengasuh adalah sesuatu yang sukar, dan tak ada pilihan lain selain mengasuh.

Terakhir, para peneliti mengkaji bagaimana topik-topik tadi berinteraksi sebagai panduan mengambil keputusan memiliki anak. Hasilnya, pemicu baru yang sebelumnya tak terpikirkan, yakni FOMO.

Potensi penyesalan orang tua, ujar Scharp, sebaiknya dimasukkan dalam layanan konseling reproduksi. Apalagi di Amerika Serikat, akses aborsi semakin dipersempit. Lebih lanjut, Scharp mengingatkan agar tak menghakimi orang-orang yang memilih untuk tak punya anak.

Terlepas dari itu, Holly Parker pun mengingatkan, tak ada yang salah dari rasa menyesal. Emosi penyesalan atas suatu keputusan bukan berarti seseorang itu buruk. Hal yang sama berlaku terhadap penyesalan memiliki anak.

“Penting untuk menghapus stigma dari perasaan ini dan memahaminya lebih baik, serta menemukan cara memberikan belas kasih dan dukungan kepada para orang tua, baik untuk diri mereka sendiri maupun anak-anak mereka,” tulis Parker.

Berita Lainnya
×
tekid