sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menjelajahi Mazhab Bandung lewat modernisme

Seni rupa di Bandung cepat bergeser pada aliran modernisme.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Minggu, 03 Mar 2019 03:06 WIB
Menjelajahi Mazhab Bandung lewat modernisme

Sebanyak 22 perupa yang bekerja di lingkungan seni rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar sebuah pameran di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Berlangsung sampai 31 Maret 2019, pameran bertajuk ‘Poros’ itu menampilkan 26 karya. Terdiri atas 12 lukisan, 6 patung, 2 drawing, dan 6 grafis.

Kurator pameran, Rizki A. Zaelani, mengatakan pameran ini sebagai ajang mengumpulkan seniman besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Mulai dari senior hingga junior. Adapun tajuk ‘Poros’ dipilih sebagai tanda dimulainya studi penggalian seni yang didasari oleh modernisme. Rizki beserta kawan-kawannya berencana membuat pameran yang lebih besar lagi pada 2020, di mana bertepatan pada 100 tahun berdirinya ITB,. 

Sementara dalam acara ini, karya-karya yang dipamerkan menunjukkan jejak-jejak perkembangan seni rupa di Bandung yang cukup panjang. Karya-karya perupa seperti Ahmad Sadali, But Mochtar, Umi Dachlan, pun ikut ambil bagian dalam pameran ini.

“Tema besarnya ini tentang poros Bandung. Seni yang berkembang di Bandung, dimulai dari seni lukis abstrak,” kata Rizki. 

Pameran ini juga diikuti dengan kegiatan seminar dan diskusi yang akan diadakan setiap Kamis sepanjang bulan Maret 2019 di Serambi Salihara.

Menggali Mazhab Bandung

Seni rupa di Bandung terus mengalami perkembangan. Khusus di lingkungan ITB, karena pengajarnya banyak berasal dari Belanda, seni rupa di sana cepat bergeser pada aliran modernisme.

“Mereka mengajar langsung seni seperti di Eropa. Saat itu yang sedang ngetop kan seni abstrak, jadi langsung diperkenalkan dan perkembangannya cepat sekali mahasiswa itu belajar sampai ke seni lukis abstrak,” ujar Rizki.

Mandala Gitalita karya Wiyoso Yudosaputro
 
Sementara perkembangan seni di luar Bandung, kata Rizki, lebih banyak berbicara tentang nasionalisme, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan kemerdekaan. Misalnya, ketika berbicara seni berkaitan dengan perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta ketika itu. Hampir semua seniman lantas berkumpul di Yogyakarta.

“Seni rupa modern ini dianggap aneh. Jadi sejarah seni rupa modern di Indonesia, modernisme memang tidak terlalu banyak dikenal dalam peta sejarah Indonesia secara umum,” kata Rizki.

Rizki melanjutkan, seni rupa modern berdampingan dengan sejarah pengetahuan karena menggunakan prinsip abstraksi. Oleh sejarawan Claire Holt dalam bukunya Art in Indonesia: Continuities and Change (1967) gerakan seni rupa modern Bandung ini diberi nama ‘Bandung School’ atau yang kini dikenal sebagai Mazhab Bandung. Menurutnya, Mazhab Bandung berusaha membebaskan lukisan mereka dari aspek narasi.

Sebelum 1965, membuat lukisan abstrak tidaklah mudah. Bukan karena tingkat kesulitannya, namun dilarang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu juga dialami oleh orang-orang yang menandatangani Surat Kepercayaan Gelanggang pada 1950.
 
Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, menurut Rizki, langsung dikonfrontasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) milik PKI. Isi surat yang menyatakan ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia,’ menjadi masalah bagi Lekra.
 
Namun, keadaan berbalik ketika Orde Lama runtuh. Seluruh seni yang berorientasi pada rakyat dilarang karena dinilai kental dengan nuansa Partai Komunis Indonesia (PKI). Orientasi seni kemudian langsung berubah ke seni modern.
 
“Patung-patung di MPR misalnya, yang tadinya patung Ganefo diubah jadi seni rupa modern. Dari situ berubah Bandung. Bandung yang enggak pernah kedengaran karena kecil itu, jadi naik namanya,” ujarnya.
 
Dalam perkembangannya, kehadiran Mazhab Bandung menimbulkan pertentangan dari seniman-seniman Mazhab Yogyakarta pada dekade 1970-an.

Jim Supangkat dalam “Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, yang diarsipkan oleh ivaa-online.org, menyebut pertentangan muncul karena perbedaan pendapat mengenai cara berkarya, khususnya melukis.

5 Officials karya Nyoman NuartaSeni Kaligrafi

Salah satu karya yang juga terinspirasi dari Bandung yakni karya seorang seniman bernama Abay D. Subarna. Dalam acara tersebut, Abay memamerkan karyanya berjudul Binar Cahaya Illahi Menyinari Alam Mayapada. Sebuah kaligrafi berisi potongan ayat suci Al-Quran dari Ayat Kursi atau Surat Al-Baqarah 2:255. 

Menurut Abay, ketertarikannya pada kaligrafi bermula saat Bandung menggelar Konferensi Islam Asia-Afrika pada 6 sampai 14 Maret 1965. Tiga tahun kemudian atau pada 1968, Abay lantas memilih kaligrafi Islam sebagai tesisnya di Seni Rupa ITB.

“Waktu tahun 1968 saya bikin tesis soal kaligrafi Islam. Di mana-mana belum ada yang bikin soal kaligrafi,” kata Abay di Galeri Salihara, Sabtu (2/3).

“Saya kebetulan waktu itu sedang membuat tesis dan melihat gaya tulisan arab itu bermacam-macam. Itu yang merangsang saya membuat tesis tentang kaligrafi.”

Menurut Abay, pameran ini adalah pameran pendahuluan atau perkenalan. Rencananya, di akhir Desember nanti, dia bersama rekannya bakal membuat pameran yang lebih besar lagi di Bandung, Jawa Barat.

Berita Lainnya
×
tekid