Anda suka makan kentang goreng? Hati-hati, penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal The BMJ menemukan, makanan produk olahan seperti kentang goreng bisa memicu risiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2.
Dalam penelitian bertajuk “Potatoes and risk of type 2 diabetes” peneliti dari Aarhus University Daniel B. Ibsen dan Albert Einstein College of Medicine Yanbo Zhang menyelidiki lebih dari 150.000 partisipan selama beberapa dekade. Mereka menemukan, orang yang sering mengonsumsi kentang goreng lebih mungkin terkena diabetes tipe 2 dibanding mereka yang jarang memakannya. Studi ini mengungkap, orang yang memakan tiga porsi atau lebih kentang goreng per minggu terkait peningkatan risiko sebesar 20%.
“Kentang goreng adalah bentuk makanan ultra olahan yang tinggi karbohidrat olahan, lemak (sering kali berasal dari minyak tak sehat karena dipanaskan dan digunakan berulangkali), dan kalori,” ujar ahli gizi dan penulis buku How Not to Eat Ultra-Processed, Nichola Ludlam-Raine kepada Healthline.
Penelitian lain terhadap 1,1 juta orang yang terbit tahun 2022 menemukan, konsumsi sedang makanan ultra-olahan dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena diabetes tipe 2 sebesar 12%, dan hingga 31% jika konsumsinya tinggi.
Tak ada yang salah dengan kentang. Sebab, makanan ini kaya akan serat, kalium, vitamin C, dan vitamin B6. Namun, cara pengolahannya yang membuat berbahaya.
“Menggoreng kentang meningkatkan kepadatan energi (kalori per gram) dan sering kali menghasilkan senyawa berbahaya seperti lemak trans atau produk akhir glikasi lanjut, terutama ketika minyak digunakan berulang kali,” ujar Ludlam-Raine.
“Menggoreng juga mengurangi sebagian serat alami dan meningkatkan respons glikemik.”
Terapis nutrisi di Integral Wellness, Caroline Roberts menjelaskan, kentang goreng yang diproduksi secara industri melalui banyak tahapan bisa meningkatkan indeks glikemik—ukuran yang menunjukkan seberapa cepat makanan yang mengandung karbohidrat dapat meningkatkan kadar gula darah dalam tubuh.
“Untuk restoran cepat saji besar dan kentang goreng beku yang dibeli di supermarket, kulit kentang biasanya dihilangkan, sehingga sebagian besar seratnya ikut hilang dan langsung meningkatkan indeks glikemik,” kata Roberts.
“Setelah dipotong dan dicuci, gula ditambahkan sebagai bagian dari proses persiapan sebelum digoreng, yang membuat kentang goreng berwarna cokelat keemasan seperti yang kita kenal, tetapi juga semakin menaikkan indeks glikemik.”
Roberts menambahan, proses merebus dan menggoreng sebagian meningkatkan kadar lemak serta membuat pati mengalami gelatinisasi. Hal ini bisa memicu lonjakan cepat kadar gula darah. Selain itu, ada juga bahan tambahan lain yang perlu diperhatikan.
“Makanan ultra-olahan seperti kentang goreng sering mengandung aditif, pengawet, emulgator, dan minyak olahan yang biasanya tidak digunakan dalam masakan rumahan,” kata Ludlam-Raine.
“Bahan-bahan ini dapat berdampak negatif pada mikrobioma usus, memicu peradangan, dan berkontribusi pada resistensi insulin seiring waktu.”
Namun, jika Anda menyukai kentang goreng, tak perlu harus benar-benar berhenti mengonsumsinya. Sebab, kata Roberts, diet sehat dengan cukup protein, serat, dan lemak sehat bisa membantu meminimalkan risiko diabetes tipe 2. Karena itu, Roberts menekankan, sesekali makan kentang goreng tetap boleh sebagai bagian dari pola makan seimbang. Ludlam-Raine sepakat, kentang goreng sebaiknya dikonsumsi sesekali, bukan rutin.
“Sekali-sekali makan kentang goreng mungkin tidak menimbulkan bahaya, tetapi konsumsi yang terus-meneruslah yang menjadi masalah,” kata Ludlam-Raine.
“Saya merekomendasikan untuk membatasi konsumsi kentang goreng dan makanan sejenisnya tidak lebih dari sekali setiap dua minggu, serta memastikan makanan tetap seimbang agar gula darah stabil.”